Mohon tunggu...
LELO YOSEP
LELO YOSEP Mohon Tunggu... profesional -

Guru Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Universitas Bunda Mulia Jakarta. Sekretaris Eksekutif Paroki Santo Kristoforus Jakarta. Peneliti Kepariwisataan Daerah Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Wakil Sekretaris DPD HANURA DKI Jakarta. Berasal dari desa kecil dan terpencil di Flores. Sehari-hari berkeyakinan orang menajamkan sesamanya dengan caranya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kontroversi Kata "Sakti" Ahok

28 Juli 2012   12:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:31 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama kerap gunakan kata “kampungan” dan “jadul” untuk rem gempuran program Foke-Nara.  Tidak ada masalah memang dengan misi pasangan “kotak-kotak” itu, tapi pilihan kata-kata komunikasi politik Ahok, menurut saya, cenderung arogan. Di sisi lain, kata-kata itu juga kurang santun untuk heterogenitas warga Jakarta, yang mayoritas adalah pendatang atau berasal dari kantong-kantong perkampungan seluruh Indonesia.

Komunikasi politik yang arogan bisa saja meredam popularitas Foke-Nara, tetapi mungkin juga membangkitkan resistensi dari kalangan tertentu, misalnya partai berlabel Islam seperti PKS, yang masih bimbang menentukan dukunganya antara Foke atau Jokowi.

Resistensi terhadap Ahok bisa mempengaruhi elektabilitas Jokowi-Ahok saat putaran kedua pada 20 September mendatang. Alasannya sederhana bahwa koalisi parpol besar telah terbukti tak menjamin kemenangan Foke-Nara pada putaran pertama kali lalu. Foke-Nara, yang didukung oleh partai-partai besar, bisa terguling oleh popularitas Jokowi. Koalisi parpol pun tak akan signifikan pada putaran kedua nanti. Pendulumnya justru pada gaya dan cara komunikasi politik Foke-Nara vs Jokowi-Ahok.

Komunikasi politik Jokowi berhasil membuat tim sukses dan sukarelawan lintas SARA melakukan apapun yang mereka bisa untuk memenangkan Jokowi-Ahok saat putaran pertama Pemilukada DKI Jakarta 11 Juli lalu.  Jokowi dan semua karakternya yang tumbuh dan berkembang di Solo berhasil “dijual” kepada warga Jakarta.  Tidak ada yang merasa disakiti oleh cara dan gaya komunikasi politik Jokowi. Berbeda sekali dengan Ahok. Komunikasi politiknya justru telah terbukti dalam kegagalannya mengumpulkan suara untuk maju sebagai independen.  Realitas pasti berbicara lain kalau Ahok tidak berpasangan dengan Jokowi.

Komunikasi politik Ahok sampai tahap ini membawa kita berpikir kalau Ahok bukanlah ikon politisi santun dan diplomatis dalam situasi penuh tekanan. Ahok….belajarlah dari Jokowi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun