Mohon tunggu...
LELO YOSEP
LELO YOSEP Mohon Tunggu... profesional -

Guru Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Universitas Bunda Mulia Jakarta. Sekretaris Eksekutif Paroki Santo Kristoforus Jakarta. Peneliti Kepariwisataan Daerah Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Wakil Sekretaris DPD HANURA DKI Jakarta. Berasal dari desa kecil dan terpencil di Flores. Sehari-hari berkeyakinan orang menajamkan sesamanya dengan caranya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

SBY-Demokrat Kecolongan 2014 Mulai dari Yogya

30 November 2010   09:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:10 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SBY melakukan diskriminasi atas Yogyakarta dengan pernyataannya mengingat bahwa tiga propinsi, yaitu DKI Jakarta, Aceh, dan Papua jelas menabrak konstitusi dan nilai demokrasi yang diyakini oleh SBY sendiri. Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi”.

Pernyataan SBY (26/11/10) ini berkaitan dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY secara implisit mengabaikan sejarah Yogyakarta untuk RI.Yogyakarta telah menyelamatkan RI di masa-masa sulit tatkala penguasa negeri ini lahir saja belum (SBY & Demokrat-Red). Saat baru berdiri, Republik hampir ambruk karena Belanda datang lagi. Sultan menawarkan ibu kota pindah ke Yogyakarta dan Republik terus berlanjut (Wignyosoebroto, Kompas 30/11/10).

”Jasmerah” dari Soekarno menampar SBY dalam konteks pernyataan tersebut. Persoalannya mengapa komunikasi politik SBY itu kontraproduktif dengan harga diri rakyat Yogyakarta dan berbagai model pencitraaan SBY-Demokrat selama ini? SBY berpijak pada nilai demokrasi hasil reformasi 1998 dengan tergesa-gesa sehingga mengesampingkan peransejarah Yogyakarta yang ikut menyelamatkan cikal bakal demokrasi RI dari penjajahan Belanda 350 tahun.

Sikap SBY memberikan dampak politis bagi SBY-Demokrat. Pertama, SBY tidak menyadari bahwa Yogyakarta adalah miniatur kebudayaan Indonesia Melukai Yogyakarta berarti melukai NKRI (Bendhoro Saut, 2010). Kedua, Yogyakarta adalah propinsi yang bebas dari konflik pilkada yang telah merusak tatanan sosio-ekonomi-budaya masyarakat lantaran money politicsnya membuat nilai-nilai demokrasi itu sendiri babak belur (Hendry Iskandar, 2010). Ketiga, keistimewaan DIY yang berlatar belakang sejarah panjang bukan hanya milik Yogyakarta semata, tapi NKRI. Pernyataan SBY jelas-jelas melukai hati rakyat DIY dan rasa kebangsaan NKRI (Wira Yudi, 2010). Keempat, harus diakui bahwa sentral budaya Jawa adalah Yogyakarta. Orang Jawa yang bukan orang Yogyakarta pun pasti akan merasa tersinggung pula (Dewo Zero, 2010). Basis kekuatan pemilih Partai Demokrat pada Pemilu 2004 dan 2009 adalah Pulau Jawa. Pernyataan SBY telah membelahYogyakarta dan Pulau Jawa sebagai pusat multikulturalisme. Kelima, pernyataan SBY itu seolah-olah membuat luka baru di atas luka penderitaan rakyat Yogyakarta yang porak-poranda oleh bencana letusan Merapi. SBY sebagai pemimpin tidak peka terhadap situasi dan kondisi penderitaan rakyat setempat. Padahal kepekaan seorang pemimpin dalam situasi darurat merupakan nilai yang sangat diharapkan oleh rakyatnya di mana pun. Keenam, pernyataan SBY merupakan diskriminasi atas Yogyakarta mengingat bahwa tiga propinsi, yaitu DKI Jakarta, Aceh, dan Papua jelas menabrak konstitusi dan nilai demokrasi yang diyakini oleh SBY sendiri.

Dari sisi penegakan nilai demokrasi, yang harus bersifat universal, misalnya, DKI Jakarta adalah paling tidak demokratis. Wali kota dipilih oleh gubernur. Sudah begitu, tidak ada DPRD Kota yang bisa melakukan kontrol terhadap wali kota dalam mekanisme checks and balances. Lalu soal penegakan konstitusi, ideologi negara kita adalah Pancasila. Tapi, Aceh boleh menerapkan hukum Islam sebagai representasi keistimewaan ideologis. Majelis Rakyat Papua (MRP) boleh duduk di legislatif karena kekhususannya. Lalu apa masalahnya jika keistimewaan eksekutif di Yogyakarta berarti Sultan HB dan Paku Alam secara otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur? (Sukardi Rinakit, Kompas 30/11/10). Praksis demokrasi macam apa ini SBY-Demokrat? (Lelo Yosep, Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Ketua Atlasia Stata)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun