“Jogjakarta, emang istimewa tenan”. Begitu ambu Gambreng bicara dalam hati. Coba aja kita renungkan bersama. Di Jogjakarta inilah kota yg hampir semua pendatang nya adalah pelajar dan mahasiswa, sebab banyak orang tua dari luar kota Jogja menyekolahkan anaknya di Jogjakarta, baik SMA maupun Ke Perguruan Tinggi. Nggak percaya Itu Bu Susi Mentri Kelautan Kita Juga dulu sekolah di SMA MUHI Jogjakarta. Selain itu Jogjakarta juga disebut Kota Budaya. Di Jogja ini masyarakat nya terdiri dari berbagai suku yg ada di IND, Para pelajar dan Mahasiswa yg berasal dr luar Provinsi memiliki Asrama sendiri, masing masing provinsi bahkan untuk jawa barat, hampir semua kabupaten di Jawa barat memiliki asrama sendiri, walaupun ada juga asrama mahasiswa yg di miliki oleh provinsi jabar yaitu asrama Kujang. budaya dari daerah manapun hidup dan berkembang melalui kegiatan silaturahmi mereka diantara keluarga besar masing masing mahasiswa.
Dulu Ketika Ambu Gambreng masih berstatus mahasiswa pun demikian, masih segar dlm Ingatan ambu Gambreng Gedung kesenian yg ada di ujung malioboro sebelah selatan Gedung agung. Dulu selalu di gunakan oleh mahasiswa dari berbagai provinsi memperkenalkan budaya masing2 provinsi dalam setiap minggunya, tapi sekarang ambu gambreng sdh tdk mengikuti kegiatan tersebut. Jadi nggak bisa bicara banyak untuk sa’at ini.
Pada masa tahun 70 an sampai 80 an Jogjakarta penuh dengan berbagaihal yg menurut pemikiran Ambu Gambreng bersipat pisioner, gambaran masyarakat Jogja yg kreatif,berpendidikandan berbudaya mengemuka, sampai pada suatu masa gambaran masyarakat tersebut berkembang dan berganti dengan hal lain, yaitu di setiap sudut kota Jogja kita selalu temukan pengemis dan gelandangan. Bahkan anak2 kecil sekalipun pada jam jam tertentu menghiasi lampu merah di setiap perempatan dan pertigaan. Dengan kardus, dan kaleng nya mereka membisu tanpa bicara, dan tangan tangan kecil itu selalu mengacung kepada setiap pengendaran di jalan raya.Sementara orang tua mereka berlindungdi bawah pohon sambil menanti hasil kerja mereka.Walaupun tdk semua pengemis adalah anak kecil, tetapi kenyataan yg sering di jumpai Ambu Gambreng adalah anak2 kecil usia sekolah.
Tetapi Kreatifitas yg dimiliki masyarakat Jogjakarta tetap ada hanya kreatifitas itu kalo dulu disalurkan lewat karya yg membanggakan, atau hal2 yg menghibur orang lain, tetapi setelah gambaran masyarakat berganti, kreatifitas pun berganti mengikuti kegiatan masyarakatnya.“Sampai kreatif nyadi sebuah warung Mie jawa yg biasa buka di sudut alun2 utara Jogja yg cukup terkenal, anak2 usia sekolah tersebut akan menyodorkan amplop yg bertuliskan mohon sumbangan sekedarnya untuk makan”. Amboisungguh sebuah kreatipitas yg benar benar tepat guna hahahahaha. Jogjakarta ku memang istimewa, begitu kata hati Ambu Gambreng mengemuka kembali setelah merenungkan hal hal yg terjadi dan berkembang di masyarakat Jogjakarta.
Ada sesuatu yg menghentak Ambu Gambreng ketika Awal tahun baru 2015. Di setiap sudut kota Jogjakarta selalu tertulis ajakan dari Sri Sultan Hamengku Buwono ke X agar menjadikan Jogja lebih bersih lingkungan. Tulisan tersebut disampaikan dalam bentuk baliho2 sehingga setiap warga akandapat membaca nya. Tentu saja ajakan itu mengandung maksud agar masyarakat berpartisipasi menjaga kebersihan lingkungan kota Jogjakarta, dengan cara tdk ikut memelihara dalam tanda petik, gelandangan dan pengemis, ambu Gambreng pun terhenyak. dan berkata lirih Alhamdulillah, berarti aman kalo makan lesehan tdk ada lagi yg mengganggu. Sebab biasanya belum lagi makan, kita sudah di antri untuk mengeluarkan kocek. Bukan anti atau tidak mau berbagi, bukan, tetapi kadang mengurangi kenyamanan kita dalam menyantap makanan yg sudah kita bayangkan bakal nikmat. belum lagi kalo uang kita pas pasan mendingan nggak usah pergi ke lesehan dah.
Sudah bukan rahasia umum Jogjakarta ini memang seperti di drop pengemis dan gelandangan, bisa di bayangkan setiap kali ada penertiban mereka akan muncul kembali secara periodic.Padahal, Pemerintah Pemprov DIY memiliki program membumikan para pengemis dan gelandangan dengan cara menjaring mereka, lantas memberi fasilitas mereka agar bisa berdiam di dalam sebuah rumah, tdk menggelandang lagi dan di bina untuk mendapat penghasilan. Seberapa banyak nya pun anggaran pemda untuk tujuan tersebut, nggak akan mampu menghilangkan kerumitan dan keruwetan kota Jogja dari para pengemis dan gelandangan, sebab setiap periode para pengemis dan gelandangan tersebut akan ada yg ngedrop entah siapa dan dari mana, yg pasti klo kita mau mengamati dengan seksama, maka akan selalu ada pengemis dan gelandangan baru.
Kemudian setelah sosialisasi tersebut dilaksanakan dengan memberi tahukan kepada halayak ramai. Perda Istimewa no 01 tahun 2014 ini akan di berlakukan pada bulan Februari 2015untuk lebih jelas bagaimana perda Istimewa tersebut berikut LINK nya
ini perda istimewa yg Luar biasa dalam perda itu di atur siapapun juga bila kedapatan memberikan uang kepada pengemis akan di denda dengan uang Tunai 1.000.000 rupiah.Hemmm bukan uang yang sedikit, bagi Ambu Gambreng uang satu juta bisa di gunakan untuk membayar uang kuliah anaknya di perguruan tinggi Negri di Jogjakarta.
Kembali ke masalah kreatifitas masyarakat Jogjakarta. Dlm masalah mengemis pun demikian seperti di ceritakan di atas. Nah ada lagi kreatifitas pengamen yg di lakukan secara berkelompok. Pengamen klo menurut Perda Istimewa no 1 thn 2014 tetap kena pasal pelanggaran. Mereka melakukan kegiatan meminta minta baik secara perseorang maupun berkelompok dengan menggunakan alat apapun dan berharap belas kasian dari orang lain. Sanksi nya adalah kurungan tiga bulan atau denda paling banyak 20 juta rupiah.
Permasalahan nya apakah Mengamen yg sekarang di lakukan oleh sekelompok orang dan memiliki nama komunitas seni dan namanya terpampang di sepanduk yg mereka pasang bahkan sampai mencantumkan nomor HP tersebut bisa di katagorikan sebagai pengamen yg identik dengan peminta minta ? Mereka sengaja bermain music di perempatan jalan seperti layak nya orchestra , tetapi di satu sisi mereka mengasongkan tempat uang meminta kepada setiap pengendaran, seperti peminta minta.
Bahkan cara mengemis di sebuah lesehan bakmi Jawa di sudut alun2 utara Jogja pun sudah berubah, dengan cara si penjualseperti berceramah, mengucapkan salam, lantas berkata saya tdk memaksa ibu dan bapa untuk membeli dagangan saya, tetapi saya menawarkan, setelah pembeli tdk berniat membeli maka dia pun pergi, tetapi ketika pembeli berniat membeli terjadi lah sesuatu yg menurut Ambu Gambreng sungguh tidak etis di lakukan tetapi akhirnya membuat si pembeli hrs mengilhlaskan nya.Gimana tidak ketika perhitungan atas transaksi berjalan, misalnya total penjualan Rp 35.000 rupiah, kemudian ambu gambreng memberi uang Rp 50.000 mestinya kan kembali RP 15.000. tetapi si penjual bukannya mencari kembalian, melainkan langsung berdiri akan berlalu pergi di sertai kata2 yg terburu buru yaitu kata “terima kasih , Ibu telah membeli jajanan yg kami jual, dan terima kasih atas kelebihan uang nya”. Diucapkan tanpa rasa salah dan risih. Pada waktu kejadian itu terjadi ambu Gambreng melongo tdk mampu bicara sepatah katapun. Setelah orang itu berlalu Ambu Gambreng berguman “ini cara baru mengemis agar tidak kena pasal PERDA ISTIMEWA no 1 Thn 2014”.
Pada akhirnya manusia selalu memiliki cara untuk melakukan apapun baik kegiatan baik maupun buruk. Tetapi semoga kita menjadi orang terhormat karena tangan kita di atas
Jogjakarta 19 February 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H