Hampir setiap malam, siaran radio wayang kulit selalu menemani aktifitas malam saya. Malam adalah waktu terbaik untuk bekerja. Saat sedang menulis artikel, bikin desain, coret-coret bikin lukisan, atau mengedit foto, siaran audio wayang kulit dan tembakau wajib ada.
Kebiasaan ini dimulai sejak masa kecil, saat Simbah selalu mendengarkan wayang di radio tua-nya. Radio Simbah merk National yang masih memakai 2 batu (baterai) ABC besar, yang jika sudah mulai kehilangan dayanya akan dijemur di bawah terik mentari. Suara noise dari radio dan kualitas rekaman audio yang agak “kemresek” menjadi ciri khas utama dari pentas wayang kulit via radio pada waktu itu. Saat dalang sulukan dengan diiringi gender, gambang, rebab dan suling, suaranya yang terdengar sayup bercampur dengan bebunyian serangga malam, itulah bagian yang paling magis dari sebuah siaran radio wayang kulit
Di tahun-tahun yang lalu, siaran wayang kulit selalu menampilkan Ki Anom Suroto dan Ki Nartosabdo, kadang ada variasi dengan menampilkan juga Ki Manteb Sudarsono, Ki Warseno Slenk dan Ki Purbo Asmoro. Sekarang ini, siaran wayang kulit hampir selalu menampilkan Ki Seno Nugroho, kadang masih ada yang memutar rekaman lama dari Ki Anom Suroto dan Ki Nartosabdo. Siapapun Dalang yang ditampilkan, yang tak pernah ketinggalan adalah iklan “jamu tetes super ajaib” yang diklaim bisa menyembuhkan segala macam penyakit yang ada di bumi dan seluruh galaksi bima sakti.
Kesan pertama mendengarkan Ki Seno adalah keprak-nya yang berbunyi “ting-ting-ting” khas wayang kulit gagrak Yogyakarta. Pementasan wayang Ki Seno menurut saya, adalah pementasana yang padat, cerita difokuskan pada permasalahan utama dalam lakon sehingga waktu untuk Limbukan dan Goro-goro bisa lebih leluasa. Akan sangat berbeda nuansa dengan wayang-wayang yang tampil secara lebih klasik, yang menyajikan Jejer Pisowanan dan adegan-adegan lain secara lebih panjang. Ki Seno Nugroho membawakan kisah wayang dengan lebih segar dan lucu, namun tetap ada pakem yang dipegang, seperti contohnya, hanya memainkan lagu/langgam yang bisa diiringi oleh perangkat gamelan saja.
Saya pribadi kurang begitu menikmati kelucuan-kelucuan yang ditampilkan di Limbukan dan Goro-Goro. Saya lebih menikmati humor-humor yang masuk ke dalam dialog antar tokoh-tokoh, misalnya percakapan kocak antara Bagong dan Batara Narada, kelucuan saat Durmogati berdialog dengan Patih Sengkuni. Bahkan dialog antara Baladewa dengan Kresna, bisa dikemas dalam perincangan yang lucu oleh Ki Seno Nugroho.
***
Malam itu, Selalsa 3 November 2020, saya lewati malam-malam seperti biasa dengan mendengarkan wayang kulit. Saat mengintip sebentar di sosial media, ada berita mengejutkan bahwa Ki Seno Nugroho telah meninggal dunia. Berita yang sangat mengagetkan ini saya baca bersamaan ketika radio sedang menyiarkan rekaman Ki Seno Nugroho yang mementaskan lakon Kangsa Adu Jago. Apakah semesta menorehkan kisah perjalanan Ki Seno Nugroho di Pakeliran Kehidupan ini, sebagaimana Ki Seno mementaskan wayang-wayangnya? Sebuah kisah yang seolah singkat namun sangat padat isinya, sangat membekas di benak para penyimaknya.
Ada beberapa catatan dari pementasan wayang kulit Ki Seno Nugroho, yang paling utama terlihat adalah sebuah gerakan untuk wayang yang tampil secara lebih demokratis. Jika biasanya dalang diposisikan sebagai tokoh tertinggi dalam pementasan, Ki Seno memposisikan dirinya lebih sejajar dengan sekitarnya. Waranggono bisa bebas bercanda dengan Sang Dalang, demikian juga para Pengrawit, Bintang Tamu, bahkan para crew video shooting-nya. Dalam semua bercandaannya yang sangat “ngleleng”, terselip pesan-pesan dari Ki Seno Nugroho tentang semangatnya terhadap pelestarian budaya tradisi, kecintaannya terhadap keberagaman dan toleransi, perhatiannya terhadap kaum marginal transgender maupun difabel.
Setelah Ki Seno Nugroho tiada, dalam kekosongan tersebut, yang tersisa hanyalah harapan-harapan. Semoga akan segera ada penerus beliau yang bisa mementaskan wayang secara segar sesuai zaman, tanpa terlalu menghancurkan pakem-pakem dasarnya. Semoga inspirasi dari beliau mampu menumbuhkan semangat untuk lebih mencintai budaya lokal dan menghidupkannya dalam gerak keseharian. Semoga para pengrawit, crew video, Mbak Tatin, Bu Prastiwi, Oriza, Agnez, Elisa dan Dek Hana Pratiwi masih terus bisa berkarya lagi. Matur sembah nuwun Ki Seno Nugroho, mugi kabyagyan ing kasuwargan langgeng kang tinampi. Rahayu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H