Mohon tunggu...
Nurlaila Sopamena
Nurlaila Sopamena Mohon Tunggu... -

Biasa dipanggil dengan nama lela. Masih melanjutkan kuliah di salah satu universitas di Bandung. Senang di ajak diskusi atau sekedar 'ngobrol' ringan dengan siapapun. Apalagi dengan tema-tema yang disukainya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan Perjalanan: Goa Buni Ayu

28 Juni 2011   13:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sore itu sekitar pukul 16.05, saya tiba di leuwi panjang untuk melanjutkan perjalanan ke sukabumi dengan menggunakan bis umum AC. Hujan lebat tiba-tiba mengguyur kota Bandung di daerah terminal tersebut. Dengan sedikit terengah-engah karena setengah berlari, saya segera menerjang masuk ke dalam bis yang sedang berjalan pelan menuju pintu keluar terminal.
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat dan saya masih tetap menikmati pemandangan yang sudah biasa saya lewati ini. Perjalanan berubah menjadi membosankan karena kemacetan lalu lintas yang berkisar antara satu hingga dua jam lebih sehingga membuat perjalanan ini begitu terasa lama dan menjengkelkan. Mungkin ini pun dikarenakan semakin meningkatnya produksi kendaraan roda dua ataupun roda empat oleh orang-orang yang ingin lebih menikmati perjalanannya dengan lebih nyaman pula. Entah siapa yang harus dikambinghitamkan jika sudah begini. Masing-masing pihak dengan berdalih saling membutuhkan mempunyai alasan tersendiri untuk menanggapi komentar-komentar tentang kemacetan tersebut.
Tiga jam lagi ke arah tengah malam, saya pun sampai juga di kota tujuan, Sukabumi, Jawa Barat. Kebetulan seharian tadi saya sedang shaum (puasa), maka ketika kaki melangkah turun dari bis yang saya tumpangi, saya pun segera memasuki salah satu rumah makan yang berada dekat dengan masjid alun-alun. Menyantap nasi ikan kuah yang sangat gurih membuat lidah terus bergoyang dengan lahapnya sampai butir nasi terakhir.
Selesai melahap makanan, Suleng, teman saya yang berumur sepuluh tahun dibawahku datang menjemput untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan yang sebenarnya, Goa Buni Ayu. Suleng, sebenarnya hanya nama panggilan pemberian oleh panitia pada saat mengikuti kegiatan Pendidikan dan Latihan Dasar di organisasi pencinta alam yang dia ikuti. Nama sebenarnya adalah Riza Fahlevi Ramdhan.
Saya dan Suleng pun beranjak pergi dari rumah makan tersebut menuju daerah Goa Buni Ayu. Bulan purnama yang sangat indah di langit yang menghiasi malam ini. Jam sudah menunjukkan pukul 21.25. Laju motor tidak terlalu kencang dan pula tidak terlalu lamban. Tapi entah kenapa perasaan was-was agak merasuki hati dan pikiranku. Karena ketika akan memulai perjalanan ke arah goa, saya dan Suleng sempat mampir untuk isi bensin dan sholat di mushola di tempat tersebut. Setelah menunaikan ibadah wajib tersebut, saya mengenakan jaket yang tebal yang katanya sebagian orang menamakan jaket gunung. Dua orang bapak yang sedang duduk-duduk di teras masjid sempat menasehati kami untuk beristirahat dahulu di masjid dan melanjutkan perjalanan ke goa keesokan harinya. Berpikir dan merasa tidak nyaman, akhirnya saya menjelaskan kepada dua orang separuh baya tersebut, bahwa teman-teman kami telah menunggu malam ini juga, jadi kami merasa tidak enak juga jika membuat teman-teman yang lainnya khawatir. Salah satu dari bapak tersebut, hanya mengingatkan kami bahwa nanti sepanjang perjalanan diusahakan jangan sendirian dan untuk tetap mengikuti mobil atau motor orang lain. Dengan mengiyakan ucapan bapak itu dan mengucapkan terima kasih, kami pun segera berangkat.
Baru saja sekitar lima belas menit laju motor meninggalkan pom bensin. Baru saja aku menikmati keindahan bulan purnama yang begitu sempurna dan indah dimata saya yang menyinari pemandangan alam perbukitan. Baru saja saya merasakan udara yang dingin nan segar, udara pedesaan yang sangat berbeda dengan udara di perkotaan besar yang entah harus dengan cara seperti apa lagi membersihkannya. Ketika motor kami berada di suatu tikungan belok kiri dan agak menanjak, tiba-tiba aku seperti melihat sesuatu benda di tengah jalan, semakin mendekat, oh ternyata itu adalah seekor kucing yang sedang kebingungan untuk menyeberang jalan, apakah dia mau ke arah kanan atau kiri. Hanya beberapa detik saja dalam kebingungannya, tiba-tiba muncul pula sebuah mobil pick up berwarna putih dari arah tikungan berlawanan kami. Tepat ketika motor berada disamping kucing tersebut, saking kagetnya motorpun agak oleng ke kiri menghindar binatang kecil tersebut. Dan, krek…krek… astaghfirullah, allahu akbar, kucing itu berakhir naas digeleng oleh mobil itu. Hanya suara itu yang saya dan Suleng dengar tanpa melihatnya lagi. Entah kenapa tiba-tiba saya merasa berat untuk menggelengkan kepala ke arah belakang dan melihat keadaan kucing tersebut. Mungkin dikarenakan perasaan takut yang tiba-tiba muncul di benak.
Motor tetap melaju menghantam kegelapan malam yang semakin mencekam. Sejenak kami berdua hanya terdiam mengingat kejadian secepat kilat tadi. Jujur, sepintas pun saya langsung teringat omongan kedua bapak yang di pom bensin dan menghubungkannya. Ah, tidak tidak, jangan suka menghubungkan yang tidak tidak, pikir saya dalam hati. Menggubris kesunyian, “leng, kucing tadi kegeleng mobil teu?”, “muhun teh.” Jawabnya. “kumaha atuh, berhenti teu mobilna?” saya bertanya lagi. “Nteu sigana teh, langsung pergi mobil teh.” Dengan perasaan was-was dan aneh, saya berkata lagi pada Suleng, “kan kucing mah lamun kitu harus dikubur.” Suleng pun menjawab dengan sedikit bingung juga, “muhun teh, tapi nya duka atuh kumaha jadina.” Sedikit menarik napas, saya hanya bisa berbicara dalam hati dan berdoa semoga tidak terjadi apa-apa.
Jam menunjukkan pukul setengah sebelas ke arah tengah malam. Cahaya bulan masih tetap menerangi perjalanan kami. Sudah terlihat pepohonan karet di samping kanan dan kiri. Akhirnya kami belok pada suatu jalan yang terdapat gerbang pos penjagaan dan diatasnya bertuliskan goa buni ayu. Hmm, ternyata sampai juga kami di tempat tujuan.
Tak langsung berhenti ketika masuk gerbang tersebut. Perjalanan masih berlanjut dengan jalan penuh bebatuan serta licin. Maklum musim saat ini bisa dikatakan musim hujan walaupun sebenarnya menurut kalender bulan ini sudah masuk musim kemarau. Perubahan musim yang tidak menentu mengakibatkan banyak prediksi yang meleset ketika merencanakan sesuatu di luar ruangan. Salah satunya seperti perjalanan kami ini. Awan rendah pun segera muncul menghadang kami. Jarak pandang semakin pendek. Laju motor pun semakin melambat seiring terpaan kabut yang semakin lama semakin tebal.
Akhirnya kami pun sampai di base camp, suatu rumah seorang nenek yang telah berumur senja. Saya menamakan saja rumah itu base camp karena mungkin cocok dinamakan seperti itu. Rumah panggung dengan berbilik bambu, bertiangkan kayu, dan beralaskan dipan. Sangat cocok dan nyaman untuk jenis rumah di pedesaan yang jauh dari keramaian dan kepenatan kota.
Melepaskan lelah sejenak dalam rumah yang sesak dengan teman-teman yang sebelumnya telah tiba dengan obrolan ringan seputar keadaan masing-masing yang baru saya jumpai lagi setelah beberapa tahun tidak bertemu. Rumah berukuran sekitar 4 x 5 meter persegi itu bisa menampung sekitar dua puluh satu orang. Tujuh belas orang adalah teman-teman saya, empat orang adalah seorang guide dan tiga orang lainnya adalah teman dari guide tersebut.
Tak lama beristirahat, kami pun kedatangan seorang yang bisa dikatakan pengelola Goa Buni Ayu ini. Kami pun diberikan materi seputar Goa dan tata cara pelaksanaan serta aturan-aturan yang harus dipatuhi ketika akan melaksanakan caving pada esok hari nanti. Tak luput pula sejarah ditemukannya goa tersebut. Banyak ilmu yang kami dapatkan dari beliau, entah siapa namanya, saya sudah tidak ingat lagi nama beliau. Hanya yang pasti, saya dan teman-teman selalu memanggil beliau dengan ‘kang’. Bentuk panggilan dalam bahasa sunda ke orang yang lebih tua dari kita.
Pada tahun 1983 bapak Daeng menemukan goa Buni Ayu. Bapak Daeng adalah penduduk asli Desa Cipicung Sukabumi. Dua tahun kemudian, goa tersebut dieksplorasi oleh anggota spleologi goad an data tersebut diserahkan kepada Perhutani.
Pada tahun 1990-an dilaksanakan pula eksplorasi 40 pintu goa dengan panjang 3,6 km. Goa tersebut dapat digunakan untuk travelling sepanjang 200 m dengan tanpa menggunakan peralatan caving. 200 m selanjutnya menelusuri goa dengan menggunakan peralatan.
Goa siluman dinamakan juga goa icung. Di dalam goa siluman masih terdapat ornamen-ornamen sepanjang 200 m. Ornamen-ornamen tersebut seperti dinding chimney vertikal, horizontal, dan lain-lain. Terdapat pula danau sekitar 100 hektar dibawah goa, goa tersebut dinamakan goa gombong.
Goa diklasifikasikan dalam dua bagian, goa hidup dan goa mati. Goa hidup setiap hari terdapat perubahan pada stalaktit dan stalaknitnya. Setiap hari pula terdapat rekahan-rekahan. Di atas goa hidup terdapat tumbuh-tumbuhan. Sedangkan goa mati biasanya jarang ditumbuhi tetumbuhan sehingga mengakibatkan tidak adanya perubahan dibawah goa tersebut. Walaupun ada, jumlahnya sedikit, oleh karena itu, ada dan tidak adanya tetumbuhan memang mempengaruhi keadaan dalam goa tersebut.

Hari semakin larut dan telah memasuki hari lainnya. Kantuk pun menyerang saya dan menginstruksikan tubuh untuk segera merebahkan diri di atas dipan bambu yang selalu berbunyi jika saya menggerakkan tubuh. Suara obrolan teman-teman masih terdengar ditelingaku. Tapi semua itu bukan hambatan bagi saya untuk akhirnya tertidur lelap. Walau sebelumnya saya sempat setengah berteriak dalam setengah tidur saya untuk mengingatkan mereka yang berbicara satu sama lainnya dengan suara keras karena dikhawatirkan menganggu teman-teman yang sudah beristirahat untuk melakukan kegiatan keesokan harinya.
Subuh yang dingin seakan malas beranjak dari nyenyaknya tidur dan balutan sarung di tubuhku. Adzan subuh pun mulai terdengar entah dari surau atau masjid yang ada di desa itu. Dengan masih terkantuk-kantuk, saya pun bangun karena harus melaksanakan sholat shubuh. Untungnya kamar mandi tepat berada di depan base camp ini, sehingga tidak perlu jauh berjalan untuk sekedar mengambil air wudhu atau mandi.
Matahari mulai menyinari pagi yang masih saja dingin. Teman-teman pun segera mempersiapkan peralatan yang harus dibawa dan perbekalan makanan minuman sepanjang perjalanan dalam goa. Setelah selesai sarapan dan beres sana beres sini lagi, kami pun berjalan ke arah pintu goa. Disana, kami harus melakukan pemanasan untuk perenggangan otot terlebih dahulu selama lima belas menit.
Webbing pun segera dipasang di masing-masing tubuh teman-teman. Satu dengan lainnya saling membantu dalam persiapan masuk ke goa tersebut. Tak lupa pula wire pack, sepatu boot, dan head lamp dipasangkan pula sebagai pelengkap dan pengaman ketika menjelajah goa Buni Ayu ini. Sepatah dua kata tentang aturan-aturan dan nasehat tentang goa pun diberikan oleh salah satu teman kami, Arya Kamandanu alias Lahang yang juga kenal dekat dengan para pengelola goa Buni Ayu.
Perjalanan pun dimulai dengan berjalan beriringan menuju pintu masuk goa. Goa tersebut dinamakan goa kerek. Kami pun satu persatu memasuki goa dengan cara rappelling atau turun vertikal. Setelah seluruh teman-teman menginjak kakinya di dasar tanah, perjalanan dilanjutkan dengan menapaki bebatuan karang dan aliran air. Memang banyak sekali aliran air di goa ini.
Menit berganti jam, seakan tak terasa menikmati keindahan alam bawah tanah ini. Sungguh, saya sendiri begitu takjubnya melihat ornamen-ornamen yang sangat unik dan indah. Walaupun perjalanan ini sering kaki kami dalam aliran air yang terkadang deras ataupun tenang. Licin menginjak bebatuan dan mudah sekali terpeleset apabila tidak hati-hati.
Sampai pada suatu jalan yang agak sempit, sehingga teman-teman harus berjalan beriringan satu persatu. Saya sempat bingung juga, sebenarnya ada apa didepan sana, sehingga jalanan mendadak sangat lambat. Oh ternyata, saya harus melewati dinding dengan cara seperti memanjat menyamping kemudian menginjak batu tebing tersebut sebagai poin pegangan. Adapun bahu belakang harus benar-benar dirapatkan di batu yang besar dan agak seperti melengkng, karena itu menjadi tumpuan tubuh saya untuk bisa memegang batu tebing di arah kanan saya. Otomatis, pada saat itu kedua tangan tidak memegang apapun, sementara dibawah sana ada sebuah kolam yang berdiameter kurang lebih dua meter. Sempat terpikir, kalau jatuh ya tidak masalah sepertinya, kan ada kolam tersebut. Tetapi setelah pemandu itu mengatakan kepada kami, bahwa dalamnya kolam tersebut belum bisa dipastikan kedalamannya, saya pun sempat ciut nyali beberapa saat. Bahkan salah satu teman saya yang sudah pernah ke goa tersebut mengatakan bahwa kalau kita tenggelam di kolam tersebut, kita akan muncul di salah satu sungai yang ada di luar goa di desa tersebut dan kemungkinan besar sudah tidak bernyawa lagi.
Alhamdulilah setelah pemandu tersebut membuat poin tersendiri dengan menggunakan paha dan tangannya, karena tanganku tidak bisa mengenai dinding sebelah kanan, saya pun sampai juga dibawah. Lumayan, membuat jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Saya rasa pemandu tersebut pahanya kesakitan karena saya harus menginjak dan membebankan seluruh berat tubuh saya pada kakinya.
(bersambung…)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun