Tumbuh di sebuah perkampungan kecil pinggiran Kota Subang, Jawa Barat, 26 Januari 1985. Darah seni mengalir begitu saja dalam diri seorang Chandra Kudapawana, padahal tidak ada darah seni dari kedua orang tuanya. Hal itu dibuktikan dengan membentuk sebuah kelompok sandiwara kecil bersama teman-teman di kampungnya. Dengan melanjutkan sekolah menengah atas di Bandung, membuat Chandra terpacu untuk mendalami ketertarikannya di bidang seni khususnya seni pertunjukan teater.
Setelah selesai sekolah menengah ia melanjutkan ke perguruan tinggi UNIKOM Bandung yang dan mulai bergabung dengan Teater Lakon UPI sebagai tempat menyalurkan kreativitasnya di bidang seni pertunjukan teater di Kota Bandung. Di kelompok inilah seorang Chandra seperti menemukan jiwa nya yang sangat mencintai dunia teater dan tenggelam didalamnya.
Pada tahun 2003, ia sempat mendirikan Forum Lingkar Pena Subang dan menjabat sebagai sekertaris umum dalam dua periode kepengurusan. Selama mendalami dunia teater ini, ia sering ikut bermain bersama teater-teater professional seperti Mainteater, Studiclub Teater Bandung (STB), Teater Tarian Mahesa, Teater Tujuh Damar, Teater Satu Lampung, Laskar Panggung Bandung, serta tengah aktif berkesenian dengan Teater Studio Indonesia yang berdomisili di Serang-Banten.
Bersama Teater Lakon, Chandra Kudapawana banyak mementaskan naskah-naskah teater baik itu karya pengarang Indonesia maupun luar negeri. Misalnya saja Arwah-arwah (W.B Yeats), Orang Kasar (Anton P Chekov), Umang-Umang (Arifin C Noer), Maaf.Maaf.Maaf (Nano Riantiarno) dan banyak lagi.Â
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya jaman yang lebih modern serta diringi dengan tekhnologi yang canggih, kini berbagai macam seni dan budaya mulai berkompetisi lagi. Budaya dari segala penjuru dunia yang dapat masuk dengan bebas ke Indonesia dibantu dengan kecanggigan tekhnologi media membuat seni dan budaya yang dimiliki Indonesia harus bersaing ketat.
Namun, menurut Kang Ochan, biasa ia disapa, perkembangan seni di Indonesia ini menurun. Ketertarikan, kecintaan terhadap seni asli Indonesia ini bahkan kesadaran untuk melestarikannya nampak tak tidak terlihat dari generasi sekarang. Kurangnya kesadaran bahwa seni yang dimiliki Indonesia ini kaya akan keberagaman Indonesia.
Tak heran jika Negara lain ingin memiliki seni budaya maupun hasil karya kesinian khas Indonesia. Jika sudah terjadi barulah masyarakat Indonesia ramai menyebutkan bahwa itu milik Indonesia dan harus kembali menjadi kepunyaan Indonesia yang sah.
Kesadaran yang dimilki masyarakat bisa dianggap telat, karena harus ada hal yang seharusnya tidak terjadi bahkan jangan sampai terjadi malah menajdi besar dahulu barulah ada respon dari berbagai pihak dari dalam Negara Indonesia itu sendiri untuk mengambil kembali apa yang telah dilupakan sebelumnya.
Itulah resiko terhadap perkembangan jaman dan tekhnologi saat ini. Perkembangan media yang dapat dengan mudahnya menyebarluaskan segala hal kepada khalayak bukan lah hal yang salah, namun sangat bermanfaat apalagi untuk pelesarian seni dan budaya khas Indonesia. Namun kembali lagi kepada pribadi masing-masing, bagaimana memulai untuk mencintai kesenian kebudayaan Indonesia yang beragam ini mulai sedari dini.
Karena sejatinya, tekhnologi yang berkembang saat ini khususnya media massa sangat bermaafaat untuk memperkenalkan kesenian khas Indonesia yang begitu kaya akan keberagamannya di mata dunia. Sehingga dapat membuat Negara Indonesia ini pun dikenal oleh dunia luar karena kualitas dan kekayaan yang dimiliki.
Sebagai pelaku seni yang mencintai kesenian Indonesia khususnya mengembangkan kecintaannya itu di bidang seni pertunjukan, ia berharap semoga generasi muda saat ini mulai mencari tahu, mengenal dan memilki keinginan unuk mencintai kesenian yang dimilki oleh Negara nya sendiri. Kesenian Indonesia itu sangat beragam. Karena sesungguhnya, pribadi sebuah Negara itu dilihat dari bagaimana masyarakatnya bisa mencintai dan menghargai kesenian yang dimiliki oleh negaranya sendiri.