Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang awalnya 11% menjadi 12% yang direncanakan akan berlaku pada 1 Januari 2025 telah menjadi topik yang ramai diperbincangkan di kalangan masyarakat dan pengamat ekonomi. Kebijakan ini dinilai akan meningkatkan penerimaan negara, tetapi di sisi lain, dikhawatirkan akan muncul dampak yang besar bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Siapa saja yang terdampak dengan kebijakan ini? Apakah benar kebijakan ini tidak akan berdampak pada masyarakat menengah ke bawah?
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah jenis pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang dan/atau jasa. Dengan kenaikan PPN artinya harga barang yang akan dibeli juga akan ikut naik. Awalnya, kenaikan PPN ini hanya akan diberlakukan pada barang-barang mewah saja. Namun, faktanya di lapangan, barang kebutuhan yang kerap dikonsumsi oleh kelas menengah ke bawah juga dikenakan tarif kenaikan PPN.
Kenaikan PPN akan membuat harga barang dan jasa meningkat, bahkan kebutuhan pokok sekali pun. Meskipun barang mewah dikenakan PPN, banyak pula barang sehari-hari seperti makanan, minuman, dan produk rumah tangga ikut terpengaruh. Contohnya adalah sabun, deterjen, dan makanan olahan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Tentu saja barang-barang tersebut tidak hanya digunakan oleh masyarakat berpenghasilan tinggi saja, tetapi juga masyarakat dengan berpenghasilan rendah. Hal ini sangat memberatkan masyarakat terutama yang penghasilannya masih di bawah upah minimum regional (UMR). Dalam jangka Panjang, keadaan ini dapat memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia. Jika keadaan ini terus terjadi, masyarakat berpenghasilan rendah tidak dapat melanjutkan kehidupan mereka.
Kenaikan PPN menjadi 12% diperkirakan akan memberikan efek domino bagi perekonomian di Indonesia, yaitu:
- Peningkatan Harga Barang
Meskipun kenaikan tarif pajak terlihat kecil, yaitu 1% dari 11% menjadi 12%, tetapi sebenarnya terdapat peningkatan 9% pada nilai pajaknya. Begini perhitungannya:
Misalkan harga suatu barang adalah Rp100.000
- PPN 11%: Harga total = Rp 100.000 + (100.000 x 11%) = Rp 111.000
- Â PPN 12%: Harga total = Rp 100.000 + (100.000 x 12%) = Rp 112.000
- Kenaikan harga yang terjadi adalah Rp1.000 atau sekitar 9% lebih tinggi dari pajak yang sebelumnya, yaitu dari Rp11.000 menjadi Rp12.000.
- Menurunnya Daya Beli Masyarakat
Dengan harga barang dan jasa yang semakin meningkat, daya beli masyarakat akan semakin menurun. Contohnya, orang-orang yang awalnya mampu membeli barang dan/atau jasa tersier sekarang harus mengurangi pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Hal ini dapat menurunkan kualitas hidup seseorang karena tidak dapat menikmati barang dan jasa yang sebelumnya mereka anggap penting.
- Pengurangan Kualitas dan Kuantitas Konsumsi
Ketika harga barang meningkat, banyak orang yanag akan lebih memilih untuk mencari alternatif yang harganya lebih rendah. Pengurangan kualitas konsumsi ini dapat berdampak buruk bagi masyarakat karena akan berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan jangka Panjang.
- Penurunan Pendapatan Perusahaan
Dengan menurunnya daya beli masyarakat, pendapatan dari perusaahan juga akan terdampak secara signifikan. Banyak usaha, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang tidak mampu bertahan untuk menghadapi tantangan untuk mempertahankan operasional mereka.
- Pengurangan Tenaga Kerja
Penurunan pendapatan perusahaan mengharuskan perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya, yang sering kali membuat perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini tentu berdampak pada meningkatnya angka pengangguran di Indonesia, yang sudah menjadi masalah bagi perekonomian.
Kenaikan PPN yang hanya 1% dari 11% menjadi 12% memiliki dampak yang besar bagi perekonomian Indonesia. Menurut pakar, PPN adalah pajak yang paling tidak adil karena semua orang akan menerima dampaknya, tidak melihat antara yang kaya dengan yang miskin. Dengan upah minimum regional (UMR) Indonesia yang tergolong rendah di dunia, tidak seharusnya pemerintah menerapkan kebijakan ini. Jika kita bandingkan dengan negara lain, banyak negara yang upahnya lebih tinggi dari Indonesia, tetapi nilai PPN-nya lebih rendah dari Indonesia. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan kembali mengenai kebijakan ini atau setidaknya mempertimbangkan langkah-langkah pencegahan agar dampak dari kebijakan ini tidak menyulitkan kehidupan masyarakat terutama bagi kaum menengah ke bawah