Satu hal menggelitik ketika membaca Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Saat ini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020) Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Pada Bagian Penutup yang terrmuat dalam Bab V Pasal 27 Ayat (2) berbunyi “Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada Itikad Baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Selain itu pada Ayat ke (3) isinya: “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”.
Intinya, semua perbuatan atas dasar “Itikad Baik” yang yang dilakukan oleh pejabat dalam peraturan di atas tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana saat melaksanakan kegiatan.
Setelah saya analisis, tujuan pemerintah menerbitkan Perpu tersebut sangat baik adanya. Banyak hal-hal yang dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan tersebut. Harapannya ialah, jangan sampai kebijakan yang dibuat oleh tim pelaksana tugas dituntut secara hukum dikemudian hari.
Sedangkan Tim Satgas Covid tersebut hanya menjalankan kewajiban dan mengikuti hati nurani saja. Jangan sampai, hal tersebut malah mencelakakan mereka. Jangan sampai pula, hanya gara-gara birokrasi yang rumit, proses pengadaan barang dan jasa tidak dapat atau terlambat dilaksanakan sehingga menimbulkan korban yang lebih banyak lagi.
Dalam kondisi pandemi seperti ini, semua hal berada dalam posisi ketidakpastian. Stok yang terbatas, permintaan barang yang sama dalam jumlah besar (khususnya alat Kesehatan), harga yang melambung tinggi, risiko penyedia yang sudah bersepakat melakukan kartel dan lain sebagainya sehingga mau tidak mau kita harus mengikuti alur yang ada. Jadi, misalkan barang yang dibeli tidak sesuai dengan harga pasar dan berkali-kali lipat dari harga biasanya, demi keselamatan rakyat, barang tersebut pun tetap harus dibeli.
Jangan sampai, tujuan baik pemerintah yang diwakili oleh Tim Satgas Covid, disalah artikan oleh oknum-oknum. Apalagi jika sudah mendekati pemilihan kepala daerah. Lawan politik akan mencari kesalahan-kesalahan dari Tim Satgas. Sekecil apapun kesalahannya akan diungkit-ungkit. Khususnya jika kepala daerah yang ada, statusnya sebagai incumbent dalam pemilihan.
Kepala LKPP telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan atas Pelaksanaan Barang/Jasa Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Kebijakan tersebut telah menyederhanakan proses PBJ sehingga mendukung Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2020 untuk melakukan angkah-langkah cepat, tepat, fokus, terpadu dan sinergi.
APIP didorong untuk melakukan pengawasan baik dalam kegiatan consulting maupun assurance terkait kegiatan PBJ dimasa pandemi. Selain itu, LKPP membuka ruang komunikasi melalui para narahubung untuk konsultansi PBJ.
Selain itu, Ketua KPK RI melalui Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Terkait Dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
Menekankan bahwa dalam proses PBJ, pihak-pihak tetap memperhatikan perturan yang berlaku, mendorong keterlibatan APIP dalam mengawal dan mendampingi proses pelaksanaan PBJ, pelaku PBJ tetap berpegang pada prinsip efektif, transparan, akuntabel dan berpegang pada konsep harga terbaik (value for money), serta para pelaku PBJ tetap menghindari perilaku tipikor seperti: persekongkolan/kolusi, memperoleh kisckback dari penyedia, ada unsur penyuapan, gratifikasi, benturan kepentingan, kecurangan, mal-administrasi, berniat jahat, dan membiarkan tindak pidana korupsi terjadi.