Perhitungan strategis dan populasi bukanlah tema diskusi. Karena tidak ada hubungannya membandingkan jumlah populasi antara masyarakat yang berjumlah 90 juta di Mesir dan 10 juta di Tunisia. Kemudian tantangan yang dihadapi Mesir, yang perbatasannya dirongrong oleh Israel, terlalu sulit untuk dibandingkan dengan tantangan jihad salafi atau perpanjangan tangan Alqaedah di bagian selatan Tunisia.
Mungkin peran peradaban yang dimainkan Tunisia di bagian barat kebalikan dari kepentingan strategis Mesir di wilayah timur. Akan tetapi orang yang memperhatikan kedua negara dari kejauhan akan menemukan keduanya memiliki sejumlah kesamaan. Kedua bangsa masing-masing melakukan revolusi melawan penguasa otoriter. Kedua bangsa berhasil menjatuhkan kepala rezim otoriter tersebut walaupun tubuh keduanya masih ada yang tersisa.
Begitu juga keberhasilan yang direalisasikan oleh kedua revolusi itu meningkatkan harapan yang tinggi yang didambakan oleh kedua bangsa tersebut.
Dalam menghadapi kebobrokan yang ditinggalkan oleh kedua rezim, kedua penguasa revolusioner di kedua negara merasakan akan beratnya warisan tersebut. Keduanya belum bisa memenuhi harapan yang diharapkan oleh masyarakat di kedua negara itu. Sehingga muncul ketidakstabilan di keduanya.
Diluar prediksi dan perkiraan, kelompok Islam akhirnya memenangkan secara mayoritas dalam pemilu yang digelar di kedua negara. Sehingga kedua pemerintah hasil pemilu itu berusaha untuk mencarikan solusi kesenjangan antara harapan masyarakat dengan minimnya potensi riil (ada data resmi di Tunisia yang menyebutkan bahwa negara telah menyaksikan 35 ribu aksi mogok selama 18 bulan, yang berarti rata-rata ada sekitar 2 ribu aksi mogok setiap bulannya).
Di kedua negara, elemen-elemen sipil, kalangan liberal, sosialis dan nasionalis, juga memimpin sebagai oposisi bagi pemerintah melalui kegiatan-kegiatan yang sudah disebutkan sebelumnya. Hal ini yang kemudian bisa memicu munculnya polarisasi di masyarakat dan merubah wilayahnya menjadi dua barak, yang saling berseberangan satu dengan yang lainnya. Dari sisi lain, kejadian-kejadian itu membuktikan bahwa kelompok Salafi diperhitungkan di kedua negara. Hanya saja di Mesir, kelompok ini berkoalisi dengan Ikhwan dan faksi-faksinya terjun ke dunia politik jauh dari aksi-aksi kekerasan selama kekuasan Presiden Morsi.
Sementara di Tunisia berbeda, karena Salafi disana tidak ikut terjun ke dunia politik. Mereka sangat berhati-hati dengan pemerintahan Gerakan Nahdhah. Tapi kemudian terbongkar bahwa Alqaedah berhasil menyusup ke organisasi tersebut melalui gerakan yang kemudian disebut dengan nama “Ansor Syariat”. Beberapa penyelidikan membuktikan bahwa anggota-anggotanya terlibat dalam pembunuhan dua petinggi oposisi.
Orang pun tidak bisa menutup mata akan sebuah fakta yang mengatakan bahwa pemerintahan kudeta menilai Ikhwan berikut koalisinya adalah teroris setelah aksi-aksi demo dan bentrokan yang terjadi di Mesir. Sedangkan di Tunisia, Nahdhah menuding Ansor Syariat sebagai kelompok teroris.
(3)
Jika perbedaan-perbedaan itu nampak dari jauh, maka jika pemandangan tersebut dilihat dari dekat akan nampak sejumlah rincian dan perbedaan di peta politik, yang susah terlihat oleh kasat mata untuk pertama kalinya.
Dalam kaitan ini, penulis berani mengklaim bahwa analisa dari sisi rincian akan menjadikan timbangan berpihak kepada Tunisia. Dimana disana ada beberapa elemen yang tidak terlihat dan tidak terdeteksi di Mesir.