Arab Spring di Tunisia, Tak Perlu Dikhawatirkan
Oleh: Fahmi Huwaedi*
Kolomnis Al-Jazeera
Walau skenario Mesir menghantui situasi politik di Tunisia, namun perbedaan antara kita di Mesir dengan mereka di Tunisia adalah mereka sudah melihat cahaya di ujung terowongan. Sementara kita di Mesir, masih dan tengah mencari terowongan tersebut.
(1)
Apa yang penulis maksud dengan Tunisia adalah respon atas perkembangan terbaru di kawasan Timur Tengah setelah Arab Spring terseok-seok. Sebelumnya penulis sampaikan bahwa penulis akan mengajak dialog kepada tiga pihak; Pusat Ibn Rushd untuk Kajian Barat Afrika, Pusat Al-Fadhel Ben Ashur untuk Pencerahan dan Pusat Euro-Mediterania untuk Kajian dan Pengembangan.
Penulis serius membawa pesan ini. Dengan kemampuan yang dimiliki, penulis mempersiapkan perbekalan agar panitia dan pendengar tidak kecewa. Namun sejak menginjakkan kaki di lapangan terbang Carthage dan selama tiga hari di Tunisia, penulis tidak berbicara negara lain selain Mesir. Karena penulis juga tidak mendengar pertanyaan yang diajukan selain soal Mesir. Bahkan terkadang pertanyaannya yang bukan bidang yang digeluti penulis. Contoh misalnya tentang twit harian yang ditulis dengan banyolan Mesir dan nyanyian yang menjadi tempat saling serang antara kelompok pendukung dan kontra. Bahkan dalam beberapa pertemuan, penulis mengarahkan jawaban pertanyaan kepada saluran-saluran televisi Mesir atau TV Aljazeera live. Dengan alasan, masing-masing stasiun televisi itu menampilkan dua pihak dari dua sisi yang berbeda.
Istilah skenario Mesir banyak disebut dalam diskusi. Penulis menyaksikan bahwa perbandingan antara apa yang terjadi di kedua negara selalu didengungkan dalam setiap pertemuan. Sebuah perbandingan antara apa yang terjadi di nenek moyang dunia (Mesir) dan di pendahulu revolusi (Tunisia). Karena Tunisia lebih dulu dari pada Mesir dalam mengobarkan Arab Spring.
Penulis tidak pungkiri, bahwa penulis bisa mengambil manfaat dari berbagai perbandingan yang terus dilakukan antara apa yang terjadi di Mesir dan Tunisia. Bukan hanya dari sisi informasi yang detail, akan tetapi penulis menemukan bahwa mayoritas, walaupun bukan semuanya, fenomena demo anti Morsi, hampir dijiplak langsung di Tunisia. Kecuali peristiwa campur tangan petinggi militer yang memakzulkan Presiden Morsi. Dari demo-demo di jalan, pembuatan kemah di jalan, pembentukan front penyelamat, peresmian gerakan tamarrud (pembangkangan), penarikan dari dewan konstituante yang bertugas membuat konstitusi. Hingga peta jalan yang diumumkan pada tanggal 3 Juli lalu di Mesir mendorong di Tunisia mengikuti jejak itu dengan mengumumkan peta jalan pengganti, menandingi pihak pemerintah.
Ketika penulis menyebutkan gaung peristiwa Mesir di media Tunisia, sebagian dari mereka mengingatkan penulis bahwa revolusi di Mesir adalah akibat dari gaung peristiwa di Tunisia. Revolusi itu mengingatkan semuanya akan kerapuhan rezim otoriter dan kekuatan rakyat yang bertekad dan meneriakkan suara lantangnya. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa pemuda-pemuda Tunisia berbagi pengalaman kepada pemuda Mesir tentang bagaimana caranya menghadapi tindakan represif pihak kepolisian. Dan bagaimana caranya menghindari efek buruk dari serangan gas air mata yang dilemparkan ke keremunan pengunjuk rasa.
Intinya, saat penulis menghadapi berbagai pertanyaan dan komentar seputar kondisi Mesir, penulis segera melipat kerta-kertas yang penulis persiapkan untuk berbicara tentang tantangan yang dihadapi oleh Arab Spring. Lalu penulis konsentrasi menjawab semua pertanyaan tersebut. Namun penulis memberikan syarat untuk sedikit bicara tentang kondisi Tunisia, melalui perbandingan apa yang sudah terjadi pada revolusi di kedua negara.
(2)