Mohon tunggu...
Lejar Pribadi
Lejar Pribadi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Bangunlah perpustakaan pribadi di rumah kita. Biarlah anak-anak kita menjadi gemar membaca.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Tak Jalan yang Tak Berlubang : Sebuah Upaya Mencari Peribahasa Baru

29 Maret 2012   02:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:19 3732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Ingatkah dengan peribahasa ‘tak ada gading yang tak retak’? Betul. Peribahasa ini mengandung arti tak ada suatu pekerjaan yang tak ada cacatnya, atau tak ada yang sempurna di dunia ini.

Mengapa demikian?

Pertama, gading adalah ciptaan Tuhan dan Tuhan menciptakannya dengan sebaik-baik penciptaan. Yang diciptakan Tuhan saja bisa retak, apalagi kalau itu buatan manusia.

Kedua, gading adalah benda yang super kuat yang dimiliki oleh gajah, kegunaannya sebagai senjata atau alat perlindungan diri. Benda yang super kuat saja bisa retak, apalagi hal lainnya.

Dari kedua hal tersebut, peribahasa ‘tak ada gading yang tak retak’ digunakan untuk menunjukkan bahwa hal yang dibuat oleh Tuhan sekalipun dapat rusak atau retak, apalagi pekerjaan manusia. Dengan peribahasa ini, manusia ingin membuat alasan pembenar setiap kali suatu pekerjaan dilaksanakan. “Lah, Tuhan saja membuat gading yang bisa retak, apalagi kalau manusia membuat suatu pekerjaan?”

Siapakah pemilik gading?

Gajahlah yang dianugerahi Tuhan dengan gading. Gading menjadikan gajah sebagai hewan terkuat. Bukan saja badannya yang besar, tetapi dengan adanya gading pada dirinya, gajah menjadi hewan yang menakutkan.

Tapi benarkah gading itu menjadi anugerah bagi gajah?

Tidak! Adanya gading pada dirinya, gajah menjadi hewan yang malang. Gading menjadi incaran manusia untuk banyak hal, baik itu asesoris maupun ramuan obat atau alasan lainnya. Untuk bisa mendapatkan gading, maka harus membunuh gajah terlebih dahulu. Inilah awal kemalangan sang gajah. Ia menjadi hewan buruan dan nasibnya sekarang di ujung kepunahan.

Mungkin arti sesungguhnya dari ‘tak ada gading yang tak retak’ adalah untuk menunjukkan kepada nasib gajah atas keberadaan gading pada dirinya, yang bisa berarti adanya gading membawa kemalangan pada gajah itu sendiri.

Punahnya peribahasa ‘tak ada gading yang tak retak’.

Populasi gajah semakin berkurang seiring waktu berjalan. Gajah bisa jadi telah berada di ambang kepunahan. Di titik ini, peribahasa ‘tak ada gading yang tak retak’ bisa pula berarti ‘tak ada gajah yang tak punah’.

Seiring dengan kepunahan gajah, layak kita pertanyakan keberadaan peribahasa ‘tak ada gading yang tak retak’. Anak cucu kita di masa depan akan kebingunan manakala dihadapkan pada peribahasa ini. Mereka akan mempertanyakan kenapa peribahasa ini mengandung arti ‘tak ada kesempurnaan dalam suatu pekerjaan’. Apa bukti kalau gading itu kuat dan apa bukti kalau ada retakan pada gading? Semua itu tak bisa dijelaskan jika sang pemilik gading telah punah. Rasa penasaran inilah yang bisa jadi menjadi jawaban kenapa gajah bisa punah. Bisa jadi banyak orang yang penasaran dengan peribahasa ini dan ingin membuktikan sendiri kebenaran ‘retakan pada gading’.

Sesungguhnya, kepunahan gajah menjadi keprihatinan kita bersama. Terkait dengan peribahasa ‘tak ada gading yang tak retak’, perlu dicari penggantinya. Bukan saja karena sang gajah yang menghadapi kepunahan, juga untuk kepentingan pelestarian sang gajah sendiri.

Peribahasa pengganti.

Benar adanya jika ‘tak ada pekerjaan yang tak ada cacatnya’. Namun, hal ini tak enak diucap dan didengar. Tak ada keindahan dalam ungkapan frasanya. Tetap diperlukan peribahasa yang mampu menggambarkan ‘tak ada pekerjaan yang tak ada cacatnya’.

Sepanjang jalan saya berpikir, peribahasa apa yang tepat sebagai pengganti. Rasanya sepanjang jalan yang sering kita lewati, tak asing bagi kita pemandangan lubang-lubang di jalan. Sepanjang pengetahuan saya, tak bosan-bosannya jalanan ini diperbaiki dan diaspal, tapi kenapa tetap saja berlubang. Tak adakah pekerjaan jalan yang sempurna di negeri ini? Tak adakah jalan yang tak berlubang di negeri ini? “Aha...”

‘Tak ada jalan yang tak berlubang’ adalah peribahasa yang tepat untuk menggantikan ‘tak ada gading yang tak retak’. Ya, benar adanya, di negeri ini tak ada jalan yang tak berlubang. Sepanjang jalan yang kita lewati, rasanya tak ada jalan yang tak berlubang. Sering kita dengar keluhan masyarakat tentang jalanan yang rusak, yang berlubang, yang lubangnya bisa dijadikan kolam ikan atau untuk ditanami pohon pisang.

Peribahasa yang tepat.

Pertama, jalan adalah buatan manusia. Rasanya lebih tepat untuk menggambarkan perbuatan manusia dengan hasil perbuatannya sendiri.

Kedua, fakta yang menyedihkan adalah tak ada jalan di negeri ini yang tak berlubang. Bahkan ada jalan yang kembali rusak dalam hitungan bulan setelah diperbaiki.

Dari kedua hal tersebut, peribahasa ‘tak ada jalan yang tak berlubang’ dapat digunakan untuk menggantikan peribahasa lama ‘tak ada gading yang tak retak’. Peribahasa baru ini terasa lebih manusiawi, bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh manusia itu tak ada kesempurnaan dan tak ada kepuasannya. Peribahasa baru ini juga untuk menjadi cambuk bagi pihak-pihak terkait untuk bangkit memperbaiki kinerjanya agar ‘tak ada lagi jalan yang berlubang’. Sebagaimana nasib gajah dengan gadingnya yang mulai punah, diharapkan kelak jalan-jalan yang berlubang juga ‘punah’ dan yang tertinggal hanyalah jalanan yang mulus dan lancar dilalui.

[-22-03-20-12-23-56-]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun