Beragam reaksi ditunjukkan masyarakat selepas wabah Covid-19 yang kian turun signifikan pada sepertiga tahun 2022. Hal ini ditunjukkan dengan izin Presiden Joko Widodo dalam persnya untuk melepas masker di ruang terbuka.
Hal ini sedikit banyak mengundang adu mulut di tengah masyarakat. Baik secara digital maupun gamblang, berbagai macam pendapat diutarakan oleh warga Indonesia. Pro-kontra terus beradu, bertujuan menggerakkan roda kehidupan di tengah pandemi.
Selain izin menanggalkan masker, beberapa wisata mulai kembali menerima pelancong. Tak terkecuali juga adalah wisata bahari yang dahulu selalu menjadi salah satu elu-eluan besar dalam sektor pariwisata.
Sektor pariwisata bahari di Indonesia tergolong menjanjikan. Boleh dibilang, tiap sudut provinsi di Indonesia pasti memiliki pantai dengan keunikan tersendiri. Keunikan inilah yang kemudian menjadi sasaran objek pengunjung.
Sayang, Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Rofi Alhanif, menyatakan bahwa jumlah sampah plastik Indonesia di laut mencapai 6,8 juta ton per tahun. Hal ini selaras dengan akuan beberapa masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung menyaksikan onggokan sampah plastik di wisata bahari Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) juga berasumsi bahwa setiap hari penduduk Indonesia menghasilkan 0,8 kg sampah per orang atau secara total sebanyak 189 ribu ton sampah per hari. Asumsi ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang bergantung pada penggunaan plastik karena banyak membantu dari segi ekonomis dan praktisnya.
Namun, apakah hanya ada dampak positif yang datang jika kita terus menerus mengabaikan permasalahan sampah plastik di wisata bahari? Ternyata, dampak negatif juga terus mengikuti perilaku gemar plastik ini, seperti kerusakan ekosistem mangrove, padang lamun, terumbu karang, kehidupan dari jenis-jenis biota laut yang hidup di dalamnya, dan abrasi (UNEP, 2011).
Lalu, jika kerusakan sudah terjadi, apakah wisata bahari akan tetap laku? Jika tidak, apakah sektor pariwisata akan terus menjanjikan? Apakah kita baru akan menyesal saat itu?
Akan perlu diadakan rekonsiliasi lanjutan untuk mengelola kembali kerusakan wisata bahari. Biayanya tentu tidak kecil. Lagi-lagi, Pemerintah harus memutar strategi untuk mengelola keuangan Indonesia tanpa harus membebani rakyat. Bukankah ini namanya penyiksaan? Belum lepas masalah perekonomian, kita sudah menambah masalah baru.
Jadi, hingga kapan kita sebagai warga Indonesia senantiasa acuh menyikapi hal ini? Bukankah pencegahan selalu lebih baik daripada pengobatan? Mengapa kita harus memilih jalan yang lebih merugikan di kemudian hari?
Oleh karenanya, diperlukan pupukan karakter yang kuat dari dalam diri tiap orang. Pupukan karakter baik tersebut telah ada sejak kecil dan akan dibuktikan dalam masa pendewasaan diri seperti sekarang, yakni sebagai mahasiswa, khususnya mahasiswa UNAIR.