Doa, ini di atas segalanya
‘Berdoalah : Jadilah kehendakMu, bukan kehendakku,’ ujar kakak saya di ujung telepon. Betapa saya seperti terlempar ke planet lain seketika. Biasanya saat menghadapi persoalan yang sedemikian beratnya, doa saya justru dipenuhi dengan harapan-harapan saya pribadi. Betapa ingin saya mengakhiri masalah menurut cara saya, bukan cara yang Di Atas Sana. Alih-alih meminta ini itu, dalam sujud saya pasrah berkata, ‘Jadilah kehendakMu, Tuhan. Bukan kehendakku.’ Dalam kepasrahan ini saya mulai bisa melihat permasalahan secara jernih. Bahwa sedahsyat apapun permasalahan yang kita hadapi, jika kita percaya bahwa segala sesuatu untuk kebaikan kita, maka Dia Yang Di Atas Sana akan bertindak yang terbaik untuk kita. Percaya atau tidak, justru dalam kepasrahan ini saya lebih bisa menerima apabila jawaban doa saya adalah ‘Tidak’ alias ditolak. Percayalah bahwa seburuk apapun keadaan, segala sesuatu pasti ada yang dapat ditarik sebagai pelajaran.
Karma(?)
Yang namanya ‘karma’ tak pernah terlintas dalam benak saya. Namun satu ketika saat terjebak di tengah hujan banjir dan diberi pertolongan oleh seorang tukang becak, saya jadi teringat kata-kata ibu, ‘Makanya selalu ingat berbuat baik, supaya saat dalam keadaan tersulit sekalipun tetap ada seseorang yang datang dan memberi pertolongan. Meski cuma sebagai penunjuk jalan.’ Tabur tuai? Mungkin iya. Meski tak selalu demikian adanya. Namun satu hal yang bisa saya pelajari bahwa untuk berbuat kebaikan tak perlu menunggu ada banyak keberuntungan. Saling bertolong-tolongan sudah menjadi kewajiban. Menangis dengan orang yang menangis memiliki pengertian bahwa kita harus peduli kepada sesama. Bukan berbuat kebaikan untuk menuai kebaikan pula. Sebaliknya, selama masih ada waktu berbuat baik marilah kita berbuat baik. Itu saja.
Saat menulis ini bukan berarti saya sedang berada dalam kondisi sempurna. Tidak. Saat menulis ini saya berusaha mengingatkan diri sendiri bahwa seburuk apapun masalah tak akan bisa menenggelamkan saya. Semoga.
Salam Kompasiana.