[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Membaca Buku/Admin (Kompas.com)"][/caption]
‘Bunda, ini Caca kenapa susah sekali ya kalo disuruh baca? Padahal sudah tak belikan buku cerita lo. Tapi cuma diliat gambarnya trus udah. Dibuang bukunya,’ keluh seorang ibu muda pada saya satu ketika. Saya tersenyum menatapnya dan balik bertanya, ‘Emang Caca sering liat bunda dan ayahnya membaca?’ Ibu itu nyengir sambil berkata, ‘Heheee, aku repot, bunda. Bapaknya juga sama.’ Ealah.
.
Banyak diantara para ibu yang saya kenal rata-rata mengeluhkan perilaku putra-putri kecil mereka yang kurang suka membaca. Alih-alih menumbuhkan minat membaca pada anak-anaknya, mereka malah sibuk mencari alasan yang diharapkan dapat mendukung opininya. Mulai dari menyalahkan beragam acara kartun di tivi-lah, gadget-lah, harga buku yang terlalu mahal-lah, dan lain sebagainya. Masing-masing alasan dipilih seolah benar hal itu yang melatarbelakangi mengapa buah hati mereka tak juga gemar jika disuruh membaca.
Dilahirkan dalam keluarga yang tak bergelimpangan harta, saya merasa bahwa masa kecil saya sangat bahagia. Saat usia saya memasuki kelas TK (Taman Kanak-Kanak), ibu selalu membawa kami (saya dan kakak) pergi ke toko buku. Ibu saya sangat suka membaca. Kalo sedang ada rejeki, kami diijinkan untuk memilih satu judul buku untuk dibeli. Jika tidak, ya terpaksa tidak beli. Jaman kecilan saya dulu nggak ada itu namanya perpustakaan seperti sekarang. Kalo sekarang sangat banyak pilihan mulai perpustakaan umum sampai berbagai macam jenis taman bacaan. Jadi harusnya gak ada lagi alasan bagi orangtua yang mengeluhkan tak bisa membeli buku lantaran harganya mahal. Selain itu sebelum tidur, ibu biasa menceritakan sebuah dongeng. Dari malam ke malam selalu sama ceritanya, Batu Badaon. Cerita yang hingga hari ini selalu melekat di hati dan membuat saya berjanji pada diri sendiri agar tak pernah durhaka pada orangtua.
Memasuki usia SD, perekonomian keluarga tak juga membaik. Saat itu masih ingat betul saya bahwa ibu tak lagi pernah mengajak kami ke toko buku. Meski demikian tak berarti kami berhenti membaca sama sekali. Ibu malah jadi sering mengajak kami ke tempat persewaan buku. Tak lagi dapat membeli, menyewa pun jadi. Saat SMP, persewaan buku dekat rumah kami tutup. Saat itu yang sering saya lakukan adalah membaca apa saja termasuk sobekan kertas yang saya temui. Yang tak mungkin saya lupa adalah sempat saya jadi kerajingan membaca kertas pembungkus nasi atau bungkus bumbu dapur yang dibeli ibu saat belanja di pasar.
Melewatimasa-masa yang demikian itu mungkin yang akhirnya membentuk kesukaan saya akan membaca. Dari pengalaman tersebut beberapa yang menurut saya dapat memupuk kebiasaan membaca yang bisa dimulai dari rumah adalah :
1.Saya sering melihat orangtua saya membaca (satu kebiasaan yang tanpa sadar membuat saya ‘kecil’ jadi suka ikut-ikutan membaca). Ingatlah bahwa anak-anak adalah patron sempurna orangtuanya.
2.Jaman dulu saya tak punya pilihan lain selain membaca. Sebab jaman dulu channel tivi tak sebanyak sekarang jumlahnya. Film kartun pun nyaris tak pernah saya lihat bagaimana rupanya. Jika diaplikasikan dengan hari sekarang memang sangat jauh berbeda. Namun orangtua bisa menyikapinya dengan bijaksana. Atur jam nonton tivi di rumah. Jangan televisi menyala terus tanpa henti. Sadari bahwa kebiasaan anak berlama-lama nonton tivi menyebabkan mata anak hanya bergerak di satu titik saja. Kebiasaan buruk ini akan sangat mempengaruhi enggan atau tidaknya anak saat membaca. Bagaimana tidak, saat membaca mata akan dipaksa untuk bergerak dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah, sebaliknya tidak demikian jika menonton televisi. Kebiasaan mata terdiam di satu titik saja menyebabkan saat membaca mata mudah lelah dan anak jadi malas untuk membaca. Hal ini berlaku juga saat bermain game atau gadget yang sangat sering kita temui berada dalam genggaman tangan mereka.
3.Kebiasaan orangtua yang sering mengajak saya ke toko buku bahkan ke tempat persewaan buku. Seperti yang tertulis di atas tadi, jangan jadikan harga buku yang mahal sebagai alasan tak mampu menyediakan buku terbaik untuk dibaca. Jaman sekarang perpustakaan umum tak lagi tertutup seperti dulu. Coba datangi perpustakaan kota atau perpustakaan daerah setempat. Banyak perpus sudah berbenah sekarang. Anak-anak termasuk sasaran pembaca utama. Hal itu dibuktikan dengan disediakannya ruangan khusus atau paling tidak sebuah pojok baca untuk kelas usia mereka. Belum cukup? Coba kunjungi taman-taman kota. Meski tak di semua tempat ada, namun kadang tersedia mobil-mobil pustaka yang disebar di sana. Koleksinya? Beragam. Untuk anak-anak ada banyak juga. Jika akses menuju tempat-tempat itu nyaris tak dapat dijangkau, ada baiknya mengajak putra-putri anda ke toko buku terdekat. Tak perlu beli kok. Melihat saja boleh. Yang penting frekuensi serta tujuannya jelas dan anak-anak dapat menangkap maksudnya mereka diajak ke sana.
4.Katakan cinta dengan buku. Biasakan memberi buku sebagai hadiah dan rasakan manfaatnya.
Beberapa tips diatas mungkin hanya sedikit dari beribu cara yang bisa dilakukan orangtua agar putra-putrinya jadi suka membaca. Satu hal yang perlu disadari adalah perilaku yang diulang-ulang dapat menjadi penguatan yang bisa memupuk kebiasaan. Kebiasaan baik itu tak hanya bisa dimulai dari lingkungan atau sekolah loh, tapi asalnya dari rumah juga. Sebab seperti sistem tata surya, rumah adalah pusatnya. Jika di rumah ada ‘hawa’ baik yang bisa dicontoh oleh mereka, tak akan lagi anda dibuat kecewa oleh sikap putra-putri anda. Sebab anak anda adalah siapa anda.
.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI