‘Memang di situ ada temennya?’
‘Ya ada-lah.’
‘Kenal sebelumnya?’
‘Ya enggak. Udah nyante aja, biar gak punya teman juga yang penting bisa corat coret sepuasnya. Yuk.’
Dan tak seorang pun mau mengikuti jejak saya.
.
Saya bukanlah tipe seorang sales marketing yang baik. Saat berpromosi mengenai Kompasiana kepada teman-teman, hanya satu-dua yang tertarik dan rata-rata berakhir dengan pertanyaan yang sama, ‘Memang di situ ada temennya? Temen yang kenal sebelumnya?’ Saat kepala saya menggeleng, pendapat mereka sama sekali tak berubah, ‘Kalo nggak ada teman yang kenal sebelumnya ya ogah’. Lah.
Saat pertama bergabung di Kompasiana, saya seperti masuk ke dalam rimba yang begitu luas. Tak satupun orang yang saya kenal. Modal saya waktu itu cuma satu, menulis apa saja yang saya mau. Seperti lone rider, saya harus mempelajari semuanya sendiri. Terbiasa memegang manual untuk alat elektronik apapun mengakibatkan saat bergabung yang pertama kali saya lakukan adalah membaca tata tertib (sepintas), FAQ, setelah itu baru mempelajari dasbor dan mengenal berbagai kanal. Yang tak bisa saya lupa, pernah satu ketika saya menulis artikel yang bertanya bagaimana membuat emoticon tertawa, menangis, nggegek, nyengir, dan lain-lain yang banyak digunakan teman-teman saat berkomentar. Dan bersyukur meski saat itu belum banyak memiliki kenalan, ada orang-orang baik yang bersedia memberikan jawaban.
Entah karena saya yang sudah putus urat malunya, tapi saat memutuskan bergabung di Kompasiana saya bahkan tak memikirkan harus memiliki seorang teman yang sudah saya kenal di sebelumnya di dunia nyata dan membuka akun bareng pada saat yang sama. Pendapat bahwa kita tak selalu membutuhkan tepuk tangan membahana hanya untuk menyemangati, benar-benar saya amini. Bahkan saat jatuh bangun menulis tanpa ada yang berkomentar atau memberikan dukungan bisa jadi cambuk yang melecut saya supaya bisa belajar menulis jauh lebih baik lagi. Bukankah kadang kita perlu merasakan bagaimana rasanya berjalan sendirian untuk membuktikan bahwa kita tetap bisa berjalan? Demikian juga dalam hal menulis.
Jangan berkecil hati jika di blog keroyokan ini kita tak juga memiliki ‘bolo-bolo’ yang riuh menyemangati dan menyoraki kita dari pinggir lapangan. Jangan pernah menggantungkan harapan pada satu-dua atau sekelompok orang secara berlebihan, sebab satu saat nanti ada waktunya bagi kita untuk melangkah sendirian. Jangan terlalu fanatik mengikat diri pada salah satunya. Ingatlah bahwa berteman baik itu tak selalu harus setuju pada semua yang dikatakan oleh ‘bolo’ kita. Tak selalu saat si A berkata A itu selalu benar lalu kita mentah-mentah menerima kemudian mengekor saja di belakangnya. Ada saat dimana si A mengatakan hal yang tak sesuai dengan pemikiran pada umumnya dan kita diijinkan untuk mengungkapkannya secara terbuka. Jangan fanatik. Pikirkan semuanya baik-baik.
Meski tak menampik bahwa dukungan teman adalah satu hal yang indah melebihi permata, namun saat harus berada sendiri saja di rimba Kompasiana, quote ini yang selalu menyemangati saya, ‘You call it being alone.. But i callit enjoying my own company.’
Intinya, tak perlu gundah saat tak juga memiliki sekelompok ‘bolo’ yang siap sedia membela kita. Toh ada begitu banyak teman yang baik dan yang begitu peduli meski tak kasat mata terlihat memberi semangat dengan gelegar suaranya yang membahana serta celoteh yang riuh rendah bunyinya.
Salam jabat erat, sahabat. Salam Kompasiana.
.
'bolo' yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bala kurawa alias teman yang selalu mendukung kita (wink)..
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H