‘Whoooiiiii!!’ Demikian umpatan amarah saya pada satu dua pengendara motor yang tiba-tiba berjalan dari arah berlawanan saat giliran lampu lalu lintas saya menyala hijau. Terkejut? Sangat. Beruntung tak sampai jatuh terjengkang karena mendadak menginjak pedal rem. Hari itu menjadi hari yang bersejarah sebab pertama kalinya saya ngamuk-ngamukdi jalan raya.
Padahal beberapa bulan sebelumnya dalam sebuah pertemuan rutin di kantor, sebuah pertanyaan ditujukan kepada kami semua, ‘Jika terjebak kemacetan di sebuah jalan kecil yang diakibatkan oleh kelalaian seseorang di depan anda, apa yang anda lakukan?’ Pilihan jawabannya : diam saja, memukul-mukul setir mobil, membuka kaca dan meneriaki pengendara mobil di depannya, atau mengomel tapi tetap berada di dalam mobil.Waktu itu pilihan jawaban yang saya anggap merepresentasikan diri sendiri adalah jawaban terakhir. Betapa terbahaknya saya saat mendengar seseorang berkata, ‘Ini kalo si A pasti nggak cuma buka kaca jendela, tapi buka pintunya sekalian, turun, trusdimaki-maki itu sopir mobil di depannya.’ Tak disangka dalam hitungan bulan, pilihan jawaban yang saya anggap menggambarkan diri sendiri itu bisa naik setingkat lebih tinggi menjadi hampir sama dengan celetukan teman tadi. Memaki (widih).
Saat pertama kali mendapat SIM dan mengapdet status saking gembiranya di facebook, seorang sahabat menulis komentarnya ‘haduh, nambah lagi satu penyebab bencana di jalan raya.’ Dianggap sebagai public enemy, mencak-mencak saya menjawab komentarnya. Meski tak mahir-mahir amat mengendarai motor, namun saya adalah satu dari sekian ratus juta pengendara motor di jalan raya yang baik hati dan tidak sombong (eh). Maksudnya, masa iya saya yang biasa nyetir cuma 40-50 di jalan itu bisa jadi salah satu musuh publik juga? Tapi kemudian saya sadari bahwa bukannya tanpa alasan mengapa sahabat saya menuliskan kalimat seperti itu, sebab sejatinya memang ada begitu banyak pengendara kendaraan bermotor yang saat menyetir suka semaunya sendiri. Contohnya banyak, mulai memotong jalan dari belakang dan tau-tau sudah ada di depan, atau kebiasaan bergerombol saat berhenti di lalin lajur kiri tapi tiba-tiba beralih mengambil lajur kanan, atau kebiasaan menerobos tiang perlintasan kereta api padahal palang pintu sudah tertutup, hingga menyerobot lampu lalu lintas seperti kasus saya tadi.
Saat usia TK, masih ingat ketika ibu sering menanyakan warna dan arti lampu lalu lintas. Waktu itu berasa jadi orang jenius saat bisa menjawab bahwa merah itu artinya berhenti, kuning itu hati-hati, dan hijau artinya jalan. Bahkan jika ditanyakan pada anak-anak sekarang, saya yakin pasti jawabannya juga demikian, apalagi yang tua-tua. Satu kenyataan menyedihkan jika menyandingkan perilaku pengendara bermotor jaman ini yang seolah sama sekali lupa ato benar-benar tak memahami masing-masing arti warna lampu lalu lintas dan rambu-rambu di jalan raya.
Melihat banyaknya pengendara motor yang ‘war weerrr’ seenak udelnya di jalanan menggambarkan betapa pengendara tak peduli akan keselamatan dirinya sendiri. Dan celakanya keselamatan orang lain juga. Sing penting aku selamet, yang penting aku duluan nyampe. Lah, itu kalo pikiran satu orang, gimana kalo banyak orang yang juga berpikiran demikian? Bisa rusak tatanan. Tata tertib yang dibuat untuk dipatuhi malah dicari celahnya untuk bisa menguntungkan diri sendiri. Jadi teringat pertanyaan seorang teman, ‘Ngajar PAUD ya? Haduuh, gimana repotnya mengatur anak-anak kecil begitu?’ Satu pertanyaan yang keliru menurut saya, sebab menertibkan orang dewasa di jalan raya jauh lebih susah daripada sekedar mengatur puluhan anak-anak di kelas saya.
Mengendarai motor sambil santai di pagi ini berulangkali saya berusaha menyakinkan diri sendiri bahwa‘hei, i’m not your enemy.’ Saya adalah pengendara yang santun di jalan raya. Jika anda tidak melakukan hal yang sama, mungkinkah saya akan meneriaki anda lebih kencang dari teriakan saya yang sebelumnya, ‘Whoooiiii!! Kalo nyetir yang bener dooongg!!’ Dih, jangan bayangkan wajah saya yang galak dengan mata mendelik dan rambut jabrik yang naik ke awang-awang, sebab itu cuma khayalan. Gak kebayang kalo harus selalu marah-marah tiap bertemu tipe pengendara yang sakpenake dhewe gitu di jalan raya. Biar bagaimana toh saya harus banyak belajar supaya nggak norak dan tetep bisa bersikap elegan saat berkendara. Jadi yaa, jika ada yang tiba-tiba motong dan ‘wuuussss’ gitu aja, saya cuma bisa menarik nafas dan mengelus dada. Eee, yang sabar yaa. Sabar.
Selamat liburan!
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H