[caption id="attachment_317360" align="aligncenter" width="600" caption="beraneka sepeda (dok.pri)"][/caption]
Rabu pagi kemarin saya dan dua orang sahabat bermaksud pergi ke Museum Angkut, Batu-Malang (Jalan Terusan Sultan Agung No.2, Batu-Malang). Pagi benar, pukul tujuh, kami berangkat dari rumah. Surabaya di hari ke-tiga Lebaran sudah sedemikian sepi. Jalanan kota lengang seperti tanpa penghuni. Memasuki pintu tol Dupak mobil membawa kami pergi menyusuri jalan menuju museum yang resmi dibuka bulan Maret lalu.Â
Â
Mendekati pintu keluar tol Kejapanan, mobil mulai antri, begitu seterusnya hingga Purwodadi. Mobil memang tidak berhenti total, namun dikatakan bergerak juga hanya sebatas hembusan nafas lalu berhenti lagi. Demikian seterusnya hingga memasuki kota Batu. Luar biasa memang. Perjalanan normal Surabaya-Batu seharusnya hanya ditempuh selama dua setengah jam saja. Namun kondisi kemarin jalur sudah sedemikian padatnya hingga butuh waktu hampir lima jam perjalanan baru bisa tiba di depan Museum Angkut sana.Â
Â
Sesungguhnya diantara kami tak satupun yang pernah berkunjung ke Museum Angkut ini. Sempat sekali tiga kali berhenti untuk bertanya arah, akhirnya nasib baik mengantar kami tiba di tempat tujuan. Memasuki jalanan menuju Jatim Park I, antrian kendaraan sudah tak terbendung lagi. Semua mobil rata-rata mencari area parkir menuju museum. Sungguh perjalanan yang sangat melelahkan. Kami sempat berputar dua kali melewati bagian depan Museum Angkut. Saat berputar ke dua kali tanda ‘Parkir Penuh’ di depan museum sudah dipindahkan dan syukurlah, kami bisa memarkir mobil pas di depan loket penjualan tiket masuk.
[caption id="attachment_317351" align="aligncenter" width="300" caption="Museum Angkut Movie Star Studio, Batu-Malang (dok.pri)"]
Tepat pukul 2 siang kami menginjakkan kaki pertama kali di depan lokasi. Penjualan tiket sudah sedemikian mengular. Untungnya saat bermaksud mencari toilet, saya bertemu dengan seseorang yang sudah membawa tiket keluar dari barisan jendela kantor marketing. AHA! Rupanya untuk mengantisipasi jumlah pengunjung yang membludak kemarin, pihak museum membuka loket kantor pemasarannya untuk memecah antrian. Saya termasuk yang beruntung tak perlu berjam-jam berdiri mengantri hanya untuk mendapat empat lembar tiket masuk ke tempat itu.Â
[caption id="attachment_317352" align="aligncenter" width="300" caption="antrian tiket mengular, Museum Angkut, 30 Juli 2014 (dok.pri)"]
Menurut aturan museum, harga tiket masuk weekdays sebesar Rp 50.000,- dan weekend seharga Rp 75.000,- Jam buka museum mulai pukul 12.00 - 20.00 WIB. Karena kemarin masih dihitung sebagai libur hari raya, maka kami harus merogoh kocek sebesar Rp 75.000,- per orangnya. Untuk kamera, ada biaya tambahan bagi mereka yang membawa kamera seharga Rp 30.000,- Demikian dan petualang memasuki museum fenomenal ini pun dimulai.
[caption id="attachment_317349" align="aligncenter" width="300" caption="tiket masuk Museum Angkut (dok.pri)"]
Memasuki pintu utama, kumpulan banyak orang sudah banyak menyebar, modelnya sudah seperti kerumunan. Sebenarnya memasuki museum dengan segitu banyak orang memang sangat tidak nyaman. Namun kami nyaris tak punya banyak pilihan mengingat upaya mencapai lokasi itu sangat tidak mudah dan membutuhkan waktu perjalanan berjam-jam lamanya. Satu kata, mau tidak mau, terima.
Â
Pertama masuk, saya segera mencari petugas museum untuk menanyakan rute mana yang harus dilalui lebih dulu. Menurut petugas, alur masuk museum dari lantai dasar yang sudah beraroma banyak alat angkutan mulai kereta kuda hingga mobil balap beserta patung Michael Schumacer, bisa dilanjutkan ke lantai 2. Di lantai 2 kami disarankan untuk menikmati view alam kota Batu dari satu tempat yang bernama Appolo. Butuh kesabaran untuk menikmatinya sebab harus antri menaiki satu spot tertinggi di situ. Berhubung penuh, kami melewatkan kesempatan itu.Â
Â
Dari Appolo, rute selanjutnya membawa kami menuju pameran koleksi mobil-mobil jaman dahulu. Menyusuri jalanan itu kami dibawa ke sebuah tempat yang bernama Batavia. Ini seperti replika kota tua di Jakarta. Ada sketsel Pelabuhan Sunda Kelapa dan Stasiun Jakarta Kota di sana. Di tempat ini pengunjung harus banyak mengantri untuk berfoto di spot-spot unik yang tersedia. Berbagai alat transportasi mulai dari kereta roda yang ditarik sapi, sepeda, hingga mobil tua ada di sana.
[caption id="attachment_317353" align="aligncenter" width="300" caption="Batavia, Indonesia tempoe doloe (dok.pri)"]
Dari situ, rute selanjutnya mengantar kami menuju pameran koleksi sepeda dari jaman bahela. Begitu seterusnya hingga memasuki dimensi benua Eropa sebagai negara penghasil mesin otomotif terbesar dunia. Ada sketsa ruangan Italia, Jerman, Inggris, yang dipenuhi dengan koleksi kendaraan keluaran mereka lengkap dengan spot foto yang mewakili ikon masing-masing negara.Â
[caption id="attachment_317358" align="aligncenter" width="300" caption="jadul (dok.pri)"]
[caption id="attachment_317365" align="aligncenter" width="300" caption="vespa Italia (dok.pri)"]
Setelah melalui itu semua, tibalah kami di tempat yang bernama Gangster Town. Di sini banyak pengunjung sudah sedemikian kalapnya mengambil gambar. Arena kota digambarkan mirip seperti sebagian jalan dalam Universal Studios yang pernah saya kunjungi di Singapura. Tidak semua. Hanya sebagian jalan saja. Pengaturan tiap set dibuat sedemikian menarik hingga panasnya matahari tak membuat kami berhenti, namun ingin semakin mengeksplor lebih banyak tempat lagi dan lagi dan lagi.Â
Â
[caption id="attachment_317362" align="aligncenter" width="300" caption="narsis, Gangster Town (dok.pri)"]
Gangster Town merupakan sket terakhir dari seluruh rangkaian yang dimiliki oleh Museum Angkut. Keluar dari situ kami digiring untuk memasuki sensasi simulator gerbong kereta api yang dibuat persis bergerak seperti jika kita menaiki kereta api jaman dahulu untuk kemudian berhenti di area food market dan pasar seni, Pasar Apung. Dan petualangan kami berakhir dengan menikmati sajian susu segar dan nasi khas Madura di tempat itu.
Â
[caption id="attachment_317363" align="aligncenter" width="300" caption="pusat seni dan kuliner, Pasar Apung Museum Angkut (dok.pri)"]
Secara umum pengalaman masuk ke dalam Museum Angkut meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi kami. Bagi saya pribadi, ini pertama kalinya saya berkesempatan memasuki sebuah museum yang selain menyajikan sisi sejarah alat dan mesin transportasi, juga menampilkan sisi entertain yang benar-benar bisa dinikmati secara maksimal (meski harus berdesakan dengan banyak orang). Sehingga tadinya kata ‘Museum’ yang terdengar angker dan membosankan bisa jadi satu kata yang merujuk pada satu tempat yang sangat menarik dan menyenangkan.Â
Â
Namun diantara banyak puji-pujian, ada satu hal yang menurut saya sangat mengganggu yaitu ketiadaan rambu-rambu. Sepanjang perjalanan menuju kota Batu tak satupun rambu-rambu yang bisa menjadi pandu kami menuju museum. GPS pun tak banyak membantu. Berhubung kami semua berasal dari luar kota, salah satu cara yang bisa kami gunakan untuk bisa tiba di sana adalah dengan banyak bertanya. Panduan arah mulai terbaca hanya pada saat mendekati lokasi. Sebagai satu tambahan lokasi tempat wisata baru, ada baiknya jika pihak pengelola mulai memasang tanda atau rambu atau papan iklan yang menunjukkan arah kemana pengendara harus menuju supaya sopir tak salah arah melulu.Â
Â
Satu tips, sebelum masuk ada baiknya makan dan minum secukupnya dulu, sebab di dalam lokasi kita tidak diijinkan membawa makanan dan minuman dari luar. Sedangkan pos penjualan minuman berada agak jauh di dalam (dekat spot theatre). Bagi mereka yang berkunjung saat sore hari ada baiknya membawa jaket atau minimal pasmina sebagai penghangat badan. Suhu udara di luar ruangan sangat dingin di jam-jam demikian.
Â
Singkat kata, perjalanan panjang menuju museum kemarin memang tak mengecewakan. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menuju lokasi dan keindahan yang bisa didapat benar-benar sepadan. Di tengah banyak kekurangan, segala kekurangan itu akhirnya hilang saat melihat hasil gambar dan pengalaman baru yang kami dapatkan. Selamat mengunjungi museum impian.
Â
Salam Kompasiana.
.
*semua gambar dari hape saya ;)
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H