Mohon tunggu...
Leil Fataya
Leil Fataya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@leilfataya, author of Kucing Hitam & Sebutir Berlian ( Leutika Prio 2012 ), Suatu Pagi di Kedai Kopi ( Red Carpet, 2013 )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Suatu Hari di Ladang Gandum

25 Juli 2012   02:48 Diperbarui: 14 Maret 2019   14:54 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Di usianya yang keempat puluh, Alvaro mendapati hidupnya sedemikian lesu dan hampa. Ia sering bercerita pada teman-temannya di penggilingan gandum tempatnya bekerja, bahwa sesungguhnya yang dia ingini semasa hidup belumlah tercapai..

---

‘Lantas mengapa kau bisa bekerja di tempat ini? Bukankan itu artinya kau menyia-nyiakan bakatmu?’ tanya salah seorang pekerja sambil menumpahkan sekarung biji gandum ke dalam mesin.

Alvaro terdiam. Tidak masalah baginya untuk menceritakan semuanya. Namun, apakah dengan begitu, lalu jalan hidupnya akan berubah? Tapi kemudian Alvaro memutuskan untuk bercerita, karena menurutnya berbagi sesuatu dengan seorang teman adalah hal yang baik, entah itu membawa perubahan atau tidak.

***

‘Aku lahir di desa Los Todos, jauh di pelosok Argentina. Ayahku adalah seorang pemain teater di Buenos Aires yang hanya pulang sebulan sekali untuk menjenguk keluarganya. Ibuku bekerja serabutan sepanjang hari dan ia terus menerus mengeluhkan hidup kami yang serba kekurangan. Maklum, ayah tak menghasilkan banyak uang dari panggungnya.

Masa kecil kulalui dengan sulit. Ibu telah mendidikku dengan keras. Ia menghendakiku bersekolah dengan tekun dan melarangku bermain drama, sebuah kegiatan yang amat kusukai. Menurutnya, menjadi seorang pemain drama adalah sebuah kesia-siaan belaka. Meski berat, namun akhirnya aku terbiasa untuk mengikuti perintah dan larangannya.  

Dan perlahan-lahan, aku benar-benar tumbuh menjadi manusia dewasa yang mengikuti perintah dan larangan begitu saja, serta mengabaikan ide dan intuisi. Aku bersekolah tinggi, namun akhirnya gagal mendapat pekerjaan yang layak.’

Alvaro jeda sejenak demi menyilakan Manuel, temannya, untuk menyela ceritanya.

‘Sudah kuduga kau adalah seorang pembelajar, namun kurasa kelemahanmu adalah tak pernah bisa mengambil keputusan. Apakah itu merupakan dampak dari pola pengasuhan yang kau jalani sewaktu kecil?’

Alvaro tersenyum getir. Ia telah lama menyadari bahwa untuk membuahkan keberhasilan dalam hidup, maka manusia mesti menanam keputusan-keputusan yang tepat. Sayangnya, ia tak terlatih untuk itu.

‘Kepandaian akademik saja tak menjamin kecemerlangan seseorang. Dibutuhkan berbagai senjata untuk memenangkan peperangan, bukan? Maka, aku akan menceritakan lagi, apa yang aku dapat dan apa yang aku lewatkan.’ Ujar Alvaro kepada temannya, Manuel, yang sedang mencermati setiap perkataannya.

‘Aku memiliki intuisi yang mengatakan bahwa tempatku adalah di panggung-panggung teater, mementaskan drama El Publico dan sebagainya. Namun malangnya, intuisi itu bisa terbunuh oleh karakter.’

Manuel mengernyitkan dahi dan bertanya, ‘ Karakter macam apa yang bisa membunuh intuisi?’

Alvaro memindahkan biji-biji gandum yang telah bersih, menuju ke mesin berikutnya. Lalu ia menjawab,

‘Karakter manusia yang memang dibiasakan untuk meremehkan pendapat-pendapat pribadinya.’

Manuel meringis dan berseru,

‘Kawan, aku masih tak mengerti! Siapa yang bertanggungjawab atas itu semua? Dan mungkinkah manusia memang terlahir dengan karakter semacam itu?’

Terdengar bunyi mesin penggilingan yang berderik-derik di antara perbincangan mereka setelah Alvaro menekan tombol nyala.

‘Setiap manusia terlahir dengan intuisi, hanya saja kemudian lingkunganlah yang bertanggungjawab atas pengajaran untuk mengikuti intuisi, menciptakan ide, mengemukakan pendapat dan sebagainya.’

Manuel teringat akan anak perempuannya, Luz, dan ia hendak menanyakan satu hal lagi pada temannya itu.

‘Sekarang aku paham mengapa kau ada di pertanian ini dan tidak menjadi seseorang yang bahagia. Kau telah lama mengabaikan ide, pendapat dan intuisimu. Nah, sekarang katakan padaku, apa yang menurutmu harus kuperbuat untuk kebahagiaan anakku?’

Alvaro tersenyum penuh makna. Ia menukas,

‘Bebaskan ia untuk menanam keputusan-keputusannya sendiri. Maka jika pohon keputusan itu berbuah, lihat hasilnya. Tugasmu hanya menjaga agar proses menanam itu berlangsung dengan baik, menunggu hasil dan memberikan saran yang terbaik. Itu saja.’

Manuel tertegun. 

Hari ini ia mendapatkan sebuah pelajaran berharga tentang kehidupan !!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun