Mohon tunggu...
Leil Fataya
Leil Fataya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@leilfataya, author of Kucing Hitam & Sebutir Berlian ( Leutika Prio 2012 ), Suatu Pagi di Kedai Kopi ( Red Carpet, 2013 )

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membunuh Nyamuk dan Semut, untuk Apa ?

13 November 2012   14:25 Diperbarui: 14 Maret 2019   15:42 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image: pinktentacle.com

Senja sudah lewat. Seperti biasa saya duduk bersila di atas alas sambil memujaNya. Tiada habis puja dan puji untukNya , 'Sang Penguasa Semesta'. Atau boleh juga menggunakan istilah Aristoteles jika suka, 'Sang Penggerak Yang Tak Tergerakkan' !  Bisa juga 'Yang Maha Esa' apabila  ingin menjiwai filosofiche grondslag Indonesia Raya.

Saya menyukai pendar cahaya yang redup saja, mungkin ditambah dengan wewangian dupa. Di luar sana, energi malam sedang tinggi-tingginya karena bulan penuh, saatnya anak-anak desa bermain di pelataran, dan hewan-hewan bersorot mata terang berkeliaran di jalan-jalan. 

Ini musim kering, di mana serangga bebas berbiak. Saya bisa melihat beberapa ekor nyamuk mengitari alas, juga barisan semut yang mendekati gelas kopi dan camilan di piring kecil. 

Karena tempat ini sedemikian hening, selain hanya ada irama jangkrik, tak ada apapun yang menganggu kecuali dengung nyamuk. Satu dua ekor mencoba hinggap di punggung tangan. Tidak ada yang terjadi kecuali melihat mereka kekenyangan. Setelah itu barulah saya tepis pelan-pelan.

Heran? Jangan. Mungkin yang harus diherankan adalah jika terlalu terburu buru membunuh ciptaanNya yang tidak menyenangkan untuk saya. Pikirkan saja, mengapa saya tidak menahan untuk berbelas kasih dengan makhluk. 

Maka saya akan membasmi, jika terpaksa. Karena apalah saya? Pernah saya bertanya sendiri dalam sebuah perenungan, semut dan nyamuk yang sering dipandang sebelah mata. Belum tentu saya lebih baik darinya. Sombong sekali saya, jika demi alasan remeh, lancang mengeksekusi ciptaanNya! 

Saya melihat barisan semut yang mengangkut remah-remah camilan, atau yang mati karena nekat masuk ke dalam gelas kopi yang panas. Biarkan saja mereka menuntaskan tugasnya sampai puas, barulah saya sisihkan beberapa dari pasukan mereka, untuk kemudian saya taruh piring kue ke tempat yang lebih tinggi.

Heran? Jangan. Yang mengherankan adalah , jika saya menganggap ruang bumi ini milik sendiri. Bukankah ini bumiNya? Alasan remeh seperti tak ingin kesenangan terganggu dengan makhluk lain, akan memperkaya sifat kikir dalam hati. 

Lalu saya melihat katak, musang, burung liar, kelelawar, silih berganti. Semuanya menjalankan hukum kodrat. Saya tak patut memusnahkannya, jika bukan karena alasan yang benar-benar tepat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun