Tahun ajaran baru selalu berhasil membuat perutku mulas tiba-tiba, kau tahu, seperti ada kupu-kupu logam menari di perutmu! Meskipun berhasil masuk ke sekolah yang kuinginkan, namun aku adalah gadis yang tidak tahu bagaimana caranya memulai sesuatu. Perkenalan, maksudku. Dan rombongan gadis-gadis populer itu, bayangannya telah menghantui beberapa malam  ini. Terdengar bodoh, bukan ?Â
Aku pura-pura bersemangat menghabiskan sepiring nasi goreng dan telur mata sapi dengan selada timun. Mama curiga, karena dia tahu mengenaiku (yeah, ibu mana sih, yang tidak tahu mengenai anaknya?). Ia mulai menasihatiku panjang pendek mengenai betapa buruk ideku untuk menahan lapar hanya karena ingin terlihat kurus, setidaknya pada hari pertama sekolah.Â
Mama tahu tentang usahaku yang konyol, seperti berusaha memuntahkan apa yang telah aku makan, kau pernah dengar itu? Aku mencarinya di internet dan mendapatinya adalah sebuah kesalahan besar. Semacam penyakit kegilaan, kurasa. Aku tak begitu paham, namun yang pasti adalah aku harus tetap waras, untuk bisa bersekolah. Ini sedikit mengerikan jadinya.
‘Sudah kau siapkan semua  yang kau butuhkan  nanti?’ ujarnya dengan raut sedikit cemas. Wow, Ma, bukankah akulah yang seharusnya merasa cemas ? Ini hari terpenting dalam hidupku, atau tidak, terserahlah. Tapi aku mendapat intuisi bahwa hari ini akan terjadi sesuatu.Â
Aku berdoa semoga tidak ada kejadian yang memalukan, seperti, kacamata lensa supertebalku jatuh dan terinjak oleh salah seorang gadis populer lalu aku jadi setengah buta dibuatnya. Oh, seram!
Mama baru saja mengambil sesuatu dari kamar, dan kurasa itu pita. Ia berbicara tentang pita keberuntungan akhir-akhir ini yang dulu pernah dipakai untuk menghadiri uhm.. semacam pesta dansa begitulah, (prom night, mungkin?) dan artinya itu tahun 1970-an, dan kini merupakan kekonyolan jika pita itu melekat di rambutku yang ikal mengembang. Ma, tolong, jangan lakukan.
‘Mungkin kau tidak percaya, tapi ada yang magis dari pita istimewa ini.’ Ujar Mama antusias. Oh, ini agak menggelikan. Magis, katanya. Aku jadi teringat sihir, dukun dan semacamnya.
‘Tidak ma. Kau tahu kan, aku tidak suka macam-macam?’ Tentu saja aku suka macam-macam, tapi yang keren! Bagaimana jika Mama membelikanku sepasang sepatu yang lumayan? Itu lebih bagus dan akan menolong rasa percaya diriku melebihi pita konyol itu.
Mama memandangku kecewa, dan sesaat kemudian terdengar suara Papa memanggil dari teras, kencang sekali seakan-akan kami ini tuli.Â
‘Cepatlah, kau tak boleh terlambat. Ingat, duduk paling depan ya?’ Bisik mama sambil mengecupku. Hmm.. pertama, aku setuju bahwa aku benar-benar tak boleh terlambat semenit pun, tapi karena, bukannya aku ingin duduk paling depan. Kau salah, Ma. Aku kapok jadi gadis-gadis yang duduk di bangku depan. Mereka menganggap kami aneh, kau tahu Ma? Jika aku terlahir kembali, aku lebih memilih menjadi gadis yang populer daripada gadis yang duduk di barisan depan. Pintar, tapi kurang pergaulan.Â
Satu lagi, mengapa aku tidak mewarisi rambut halus dan warna kulitmu Ma? Sulit sekali bagi seorang gadis seusiaku, untuk berjalan menghadapi dunia dengan warna kulit gelap, rambut ikal mengembang dan tubuh yang kurang sempurna. Tiba-tiba aku merasa jengkel, lalu mencium pipi mama dan berpamitan alakadarnya. Sedan tua papa telah menunggu.
Papa menggeleng-gelengkan kepalanya. Begitupun aku. Sial sekali, si kakek mancung, begitu aku menyebut sedan tua papa yang sering terbatuk-batuk lalu mogok seenaknya itu.
Kini aku harus meninggalkan papa yang mengutak-atik si kakek mancung agar mesinnya menyala lagi (entah sampai berapa jam), dan menyetop angkutan umum untuk sampai ke sekolah baruku. Ini benar-benar runyam dan aku jelas akan terlambat!
Perjalanan dengan angkutan umum sedikit tidak menyenangkan. Aku berkeringat dan kutebak, kini rambutku semakin mengembang tak karuan. Seragam yang telah disetrika mama menjadi kusut, dan lupakan bangku belakang.Â
Karena tempat duduk yang biasanya kosong adalah di jajaran depan. Nah, aku telah bisa menebak masa depanku 3 tahun ke depan tanpa mendatangi tukang ramal. Jika kau pernah menonton serial televisi yang bintang utamanya gadis aneh, Â gendut, pintar, dan hanya memiliki sedikit teman ,yah, itulah aku !
Aku membutuhkan satu jam untuk sampai ke sekolah dengan rute memutar. Jika sedan tua papa tidak mogok, maka hanya dibutuhkan setengah jam saja. Sudah nasib. Kini aku mencari kelas yang telah ditentukan dengan langkah tergesa-gesa. Ada cermin yang barusan kulewati, dan menampilkan sosok gadis mengerikan dengan lensa tebal, kawat gigi dan rambut mengembang. Itu aku! (lagi-lagi).
Benar saja, semua bangku telah terisi kecuali di bagian depan. Tapi.. aku mengerutkan kening. Apa aku tidak salah lihat ? Seorang gadis yang duduk di meja yang masih kosong itu, bukanlah gadis yang jelek (Asal kau tahu ini meja yang muat untuk dua orang, jadi setiap anak memiliki teman duduknya masing-masing. Dan oh ya, teman dudukmu biasanya akan menentukan sejauh mana tingkat kepopuleranmu nanti. Lucu sekali bukan?)Â
Dia nyaris seperti bintang iklan, meskipun penampilannya sangat sederhana. Tidak ada jam tangan,aksesoris atau apalah. Roknya panjang (di sekolah ini, tiap gadis boleh memilih akan mengenakan rok panjang atau pendek), rambut sebahu, dan dari jarak lima langkah aku bisa melihat betapa halus rambutnya. Gadis iklan itu tersenyum kalem padaku. Hey, tebak apa, dia  bakal jadi teman sebangku yang keren!
‘Aku, Sita.’ ujarnya sambil menjabat tanganku pelan. ‘Yakin kau mau duduk di sini?’ lanjutnya.
‘Namaku May, dan aku tak melihat ada yang lebih baik dari ini.’ Sahutku bersemangat.
Dia tertawa kecil. Entah kenapa, sesuatu dalam pikiranku sangat menganggu. Kurasa gadis seperti Sita tidak akan lama berteman denganku. Sepertinya gadis itu akan mulai merengek minta dipindahkan ke bangku-bangku belakang di mana habitatnya (gadis-gadis populer) Â telah menunggu!
Tak kusangka Sita adalah gadis yang cantik dan pandai. Aku sedikit tak percaya ini. Dia sama pandainya denganku dalam pelajaran ilmu pasti, sosial, dan bahasa. Setidaknya, jam-jam pertama dia cukup mengagetkanku karena penguasaannya yang menakjubkan. Tuhan tidak adil, gerutuku. Tuhan menciptakan makhluk yang terlalu sempurna dan itu jelas tidak adil!
Istirahat pertama dan kedua, Sita tak ingin menemaniku ke kantin atau ke manapun. Dia membawa bekal yang kelihatannya sangat enak. Huh. Sudah kuduga, dia akan menolak dan berpikir seribu kali untuk menjadi temanku.Â
Jadi aku cepat-cepat meninggalkannya dengan perasaan kesal. Karena jelas-jelas tadi dia menyuruhku pergi sendiri. Sita berubah dalam waktu yang singkat, bahkan tak sampai sehari! Memang tak banyak sih, yang menyukaiku, tapi kurasa itu jahat sekali. Aku menyesal untuk berteman dengannya dan mulai memikirkan dengan siapa aku akan bertukar bangku.
Kantin sekolah ini luas  dan keren, menurutku. Gadis-gadis populer yang kubayangkan benar-benar ada. Yeah, itu pasti. Aku pernah sih, memimpikan sebuah sekolah yang semua anak muridnya bermasalah dengan penampilannya. Uhm.. maksudku, tidak ada anak yang tidak berjerawat, atau berkacamata, dan tidak ambil pusing mengenai gaya.Â
Anak-anak itu hanya memikirkan beasiswa apa yang harus mereka dapatkan, nilai-nilai yang harus mereka raih dan sebagainya. Lalu mereka menyadari bahwa aku adalah bagian penting dari mereka. Aku akan ‘terlihat’ untuk pertama kali dan seterusnya.Â
Aku agak gelisah mengenai pemikiran yang tidak mungkin itu, lalu menyadari bahwa sebentar lagi jam sekolah berakhir dan itu artinya aku bisa bercakap-cakap dengan beberapa gadis  untuk mengatur pertukaran teman duduk. Itupun kalau mereka mau.
Bel sekolah yang nyaring menandakan pembelajaran hari ini berakhir. Beberapa dari gadis-gadis populer telah tergesa pergi karena kudengar mereka merencanakan sesuatu. Semacam pesta perkenalan, begitulah, ada-ada saja. Tinggal kami berdua. Aku dan Sita (kuakui ini sedikit menjengkelkan). Mengapa dia tak juga beranjak sih, apakah Sita menungguku pergi?
‘Supir menungguku di depan sekolah.’ Cetusnya. Huh, supir? Sombong sekali. Lalu kenapa?
‘Aku naik angkutan umum. Payah, kan?’ Sekalian saja kubilang begitu, agar dia puas.
‘Baik kalau begitu, sampai ketemu besok, May.’ Katanya pelan lalu berdiri dan beranjak meninggalkanku. Tapi, tunggu. Ya ampun!
Aku menangis sendiri di kamar. Ketukan pintu mama tak kuhiraukan. Aku benar-benar merasa buruk hari ini.
Pertama, aku menuduh Tuhan tak adil, kemudian tanpa alasan yang jelas, aku menganggap Sita adalah gadis yang sombong dan harus dihindari. Padahal..
Aku sangat terkejut tatkala Sita berjalan meninggalkanku, tadi. Ia begitu susah melangkah dan terlihat memprihatinkan. Rupanya Sita memiliki kelainan di kakinya ! Oh tidak.. Rasanya tenggorokanku langsung tercekat dan dengan suara parau aku memanggilnya.Â
‘Sita..!’
Gadis yang kukira sombong itu menoleh ke arahku sambil tersenyum getir.
‘Aku hanya tak ingin membuatmu malu, May. Aku sungguh tak ingin jadi temanmu dan membuatmu malu.’ Itu yang dia bilang, lalu pergi terseok-seok meninggalkanku yang berdiri mematung.
Itu saja yang terjadi. Aku bahkan tak sanggup berusaha mencegahnya pergi atau bicara sepatahkatapun (minta maaf atau semacamnya) karena keterkejutanku.
Ya Tuhan. Apa yang telah kulakukan? Apa yang telah kupikirkan?Â
Sungguh. Aku merasa sangat jahat, bukan hanya hari ini. Namun tahun-tahun terakhir ini. Bukan hanya pada Sita, namun pada diriku sendiri. Aku sering memaki karunia Tuhan untukku tanpa menyadari bahwa di luar sana, banyak sekali yang lebih kekurangan.Â
Kupandangi sepasang kakiku yang sempurna, tanpa cacat. Jiwaku benar-benar kerdil ! Seandainya aku seperti Sita, mampukah aku melalui kehidupan ini?
Mama mengetuk pintu kamar untuk yang kesekian kali. Aku menghapus airmataku dan melangkah keluar kamar sambil berjanji. Janji yang harus kutepati sepanjang hidupku :
Untuk selalu bersyukur.
Sentul, Bogor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H