Nama wanita itu menggulung memoriku akan sebuah kebun, yang bertahun lalu sering kujelajahi bersama seorang gadis kecil berpipi ranum dan mata sebulat almond.
Hatiku melompat-lompat seperti tupai liar. Lalu aku mencoba tersenyum, hingga ia tak ragu bahwa aku ini masih waras atau tidak.
Kebun itu tidaklah spesial . Namun gadis kecil itulah yang menjadikan segala sesuatu menjadi istimewa. Dia dan segala keriangannya. Rok tutu dan tongkat peri adalah dia. Krayon dan balon adalah dia. Cokelat yang belepotan di pipinya. Bahkan kekesalannya akan PR perkalian.
Lantas, ingatan itu masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Setelah kupikir inilah hidupku, di ruangan dingin dan mengilap. Semua tak terkecuali serba modern, hingga aku yakin bahwa lalat pun akan mati jika terperangkap di sini. Setelah kuyakin bahwa pekerjaan ini akan sukses menjadikanku robot.
Nama wanita itu, tunggu...Ceri- apalah. Ceri, saja. Ceri...
Kebun ceri.
Gadis kecil itu tertawa di pelupuk mataku yang mulai menggenang di beberapa menit presentasi berlangsung. Sial, aku mencari segulung tisu tapi tak ada. Masa di ruangan sebeku ini tak ada tisu? Kukira semua orang akan flu, semua orang akan bersin, lalu mereka terbirit-birit mencari serbet makan atau kain baju.
Kebun ceri milik tetangga kami yang kaya. Mereka selalu mengizinkan kami untuk memetiknya, dan mungkin memanennya hingga satu karung, Â asalkan gadis kecil itu diizinkan bermain bersama mereka beberapa waktu di sore hari. Sepasang suami isteri tanpa anak di masa tua
Oh ya ,tentu. Aku meluluskan permintaan mereka, karena iba.
Lalu pesta barbeque itu, di kebun ceri di suatu senja . Gadis kecil dengan rok tutu dan tongkat peri berlari, terbahak, gembira mengejar liukan kupu-kupu putih..
Kerongkonganku terasa pedih. Ruangan ini terlalu beku dan wajah-wajah kaku yang kulihat menyembelih sebuah harapan untuk pulih.