Mohon tunggu...
Leil Fataya
Leil Fataya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@leilfataya, author of Kucing Hitam & Sebutir Berlian ( Leutika Prio 2012 ), Suatu Pagi di Kedai Kopi ( Red Carpet, 2013 )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Bersamamu di Jetz, Tanpa Uang

5 Juni 2013   08:07 Diperbarui: 14 Maret 2019   15:27 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pusat pertokoan Jetz masih lengang, ketika aku masuk melalui pintu kaca besar bergagang logam mengkilap - ( kayaknya sih, belum ada sidik jari sebelumku di gagang itu) tapi semua  gerai sudah dibuka. Ya, ini kan jam 10. Sebuah gerai tak boleh melanggar peraturan seenaknya atau mereka akan terkena sanksi. 

Aku melewati sebuah koridor dengan dinding bermotif kepingan mozaik, dan ketika aku merunduk, ternyata kakiku sedang menginjak urat-urat ubin kayu yang  berteriak : "Hey, ada seorang wanita dengan alas kaki butut melintasi kita, kawan!" Melangkah perlahan adalah pilihanku. 

Bukan karena ingin membunuh waktu. (Ha.. Waktu tak perlu dibunuh, ingat itu, manisku. Dia yang akan membuatmu terbunuh pada akhirnya. ) Juga tidak untuk gerai-gerai baju yang bertuliskan 'korting gila-gilaan',  tapi harganya tetap saja spektakuler untuk ukuran kantongku, atau 'jual rugi hanya untuk hari ini' , namun nyatanya sampai seminggu berlalu tulisan itu masih terpampang. Menggelikan. Udara Jetz sangat mahal untuk paru-paruku. Begitupun dengan harga kudapan-kudapannya yang bisa membeli sepotong piyama. 

Musiknya mewah dan asing, meski aku tahu, seorang pianis tampan sedang duduk di depan Steinway sambil memelototi  selembar kertas dengan banyak gambar kecambah. Lama-kelamaan iramanya menjadi terlalu klasik atau terlalu bermutu untukku. Aku tidak tahu mengapa. Namun, itulah kenyataan yang kurasakan. 

Hukuman. Itu yang sedang kuberikan untuk nafsuku. Kemarin secara terang-terangan, ia menginginkan kehidupan orang lain. Ia mencium bau uang. Kau kenal bau uang ? Baunya seperti anggur hijau yang baru saja diperas. Menggiurkan. Kukatakan padanya, hei nafsu, jika kau mulai merengek, maka aku akan menghajarmu tanpa ampun. Kau tahu siapa yang menjadi 'tuan' ? Tapi ia terus merengek, hingga urat syarafku tak pernah dibuatnya mengendor. 

Tadi pagi aku memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan , selama lima belas detik dikali empat, dan hasilnya di luar batas normal. Aku sedang dalam tekanan. Dan penyebabnya adalah nafsu. Maka di sinilah tempatmu sekarang, di Jetz, tanpa uang, lalu kaupikir apa yang bisa kau beli dengan begitu? Gelato, sorbet? Dengan rasa vanila bertabur serutan coklat yang tak tahu malu? Mimpi saja terus. Siang ini kau akan kuberi segelas air putih dengan sedikit jeruk nipis dan parutan pisang dingin dari kulkas. Sama saja buatmu. 

Aku berlalu dari gerai es krim Italia itu. Nafsuku merajuk, dan ingin dihibur oleh baju-baju diskon yang ..aku tahu bahwa sebenarnya tak ada diskon sungguhan. Itu cuma permainan harga. Tipuan licik. Aku mengatakan padanya, bahwa yang pantas kukenakan hanyalah sepotong baju murah dan sedikit kebesaran dari bazaar amal. Rasakan itu. 

Hidungku mencium bau Salmon panggang, lalu nafsuku mulai mengejekku karena nyatanya aku lapar sekali, tapi uang di kantongku hanya cukup untuk ongkos angkutan umum. Aku katakan padanya, Salmon panggang memang menggelitik, tapi ikan asin sudah lebih dari cukup. Sekarang aku yang mengejeknya. 

Seorang gadis melenggang dengan sepatu bertumit tinggi sekali, mungkin duapuluh sentimeter, yang bisa membuat tulang rusukmu patah jika kau terguling karenanya, dan nafsuku mulai mencemooh. Ia mengatakan bahwa aku sampai-sampai bisa merasakan dinginnya lantai marmer di Jetz, karena nekat memakai alas kaki yang datar dan tipis. 

Kukatakan kepadanya, bahwa aku akan membuatnya bertelanjang kaki sekalian jika ia tak menutup mulutnya. Nafsuku diam, setelah mengembik-embik seperti domba putus asa.  Mungkin dia mati kutu, atau mungkin dia mencari tahu cara lain agar ia terbebas dari penjara. Ia ingin menjadi tuanku. Dan aku tak akan membiarkannya. Aku tak akan membiarkan diriku menjadi budaknya. ---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun