Mohon tunggu...
Leil Fataya
Leil Fataya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@leilfataya, author of Kucing Hitam & Sebutir Berlian ( Leutika Prio 2012 ), Suatu Pagi di Kedai Kopi ( Red Carpet, 2013 )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Halte

29 Desember 2013   13:50 Diperbarui: 27 Februari 2019   15:36 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiba-tiba aku merasa jemu. Bus yang semestinya kutumpangi baru saja lewat sekian menit yang lalu, namun sialnya aku malah membeli kudapan aneh berwarna ungu yang rasanya seperti tanah. Oh ya, dan penjualnya tadi bahkan bertanya begini,  apakah kau membelinya untuk nenekmu ? 

‘Apa sih yang kau jual ini ? ‘ tanyaku sambil mengumpulkan keberanian untuk membatalkan pesanan. Kira-kira apa yang akan terjadi ya, kalau aku benar-benar bilang, hey, kembalikan uangku karena mendadak aku merasa mual.

Lelaki bertopi  William & Mary Club Baseball itu menyahut acuh tak acuh , ‘ beetroot ‘.

Sekarang aku menyesal. Oh, aku selalu begitu. Perhitunganku selalu kurang cermat, atau pengundian nasibku selalu kurang mujur. 

Gadis di sebelahku membaca National Geographic sampai-sampai keningnya berkerut atau kedua alisnya bertaut saking seriusnya. Dan kudengar tadi ia berseru ‘ demi Tuhan, ini biawak !’ Aku pun berharap bisa tenggelam dalam keasyikan membaca , tapi jelas bukan untuk biawak.

Aku mendongak ke langit dan mendapati awan yang menggantung seperti arak-arakan domba abu-abu kehitaman. Sebentar lagi hujan lebat, dan bus yang kumaksud entah datang berapa lama lagi. 

‘ Sudah gerimis. ‘ ujar seseorang di sebelah kiriku. Seorang wanita berperawakan gemuk dan memakai pakaian hangat berwarna kuning pucat. Rambutnya digelung begitu saja dan agak berantakan seolah baru datang dari daerah yang terkena badai. Aku sedikit heran karena tidak menyadari kehadirannya. Mungkin karena aku sibuk mengintip National Geographic dan curiga bahwa kemungkinan seluruh isi majalah itu hanya mengulas tentang biawak.

‘ Ehm, yah, begitulah.’ Sahutku berusaha bersikap ramah, namun suara yang keluar dari tenggorokanku terdengar parau seperti kaokan burung gagak. Wanita itu kemudian melirik ke arah kanan ( padahal aku tahu ia sebenarnya hendak mencuri pandang ke arahku yang sedang memakai setelan rajut berwarna hitam dan dilapis mantel hitam, kemudian akan lebih dramatis lagi kalau aku mengenakan topi kerucut milik penyihir. ) 

‘ Kadang-kadang umbi bit membuatku ingin muntah. ‘ semburnya tiba-tiba setelah melihat apa yang kumakan. 

Oh baik, aku harus ambil keputusan. Aku pernah mendengar tentang sanguin, dan saat ini aku sedikit alergi dengan orang-orang semacam itu. Kemudian aku teringat, bahwa tidak jauh dari sini ada sebuah halte lagi. Lalu aku berdiri, dan berjalan cepat di bawah gerimis. Beberapa puluh meter saja, aku menghibur diri. Daripada harus melayani ocehan wanita itu. 

Namun sesaat, gerimis berubah menjadi hujan yang amat lebat, seolah ada anak kecil yang mengguyurku dengan baskom berisi air es dari atap. 

Tak ada yang bisa kulakukan lagi selain kembali ke halte, dengan kostum basah kuyup, sambil menggenggam kudapan ungu yang sudah meleleh bercampur air hujan. Dari jauh, aku bisa melihat wanita sanguin itu menyeringai lebar, menyambutku.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun