Hari ini seorang pendana akan datang.Â
Menurut kabar yang tersiar, pendana ini adalah seorang pengusaha wanita yang kaya raya. Tuhan belum mengaruniakan anak kepadanya, dan saat ini yang hendak dilakukannya adalah mengadopsi seorang anak yang terbaik dari Rumah Yatim Piatu tersebut.
Sesuai tradisi, setiap kalinya pendana datang ke Rumah Yatim Piatu, maka anak-anak yang berdiam di rumah tersebut akan menampilkan kemampuan dan bakat mereka masing-masing. Entah itu melukis, bernyanyi, menari, berbahasa asing, berpuisi, dan banyak lainnya.Â
Pendana biasanya akan terkagum-kagum, dan mengucurkan uang yang lumayan bagi mereka untuk membeli bahan makanan, pakaian, dan membayar gaji para pengurus. Kegiatan ini akan bertambah meriah, jika pendana tersebut ternyata bermaksud untuk mengadopsi salah satu dari anak-anak yatim piatu.
***
Wanita pendana itu datang.
Musik Samba mengalun dan gadis-gadis kecil menarikannya dengan riang gembira. Seorang anak lelaki membacakan sajak yang ditulisnya sendiri. Sajak yang berjudul Los Abrazos Rotos atau Pelukan-Pelukan yang Hancur, dan itu benar-benar menggetarkan.Â
Seseorang lainnya mengajak wanita pendana itu berbicara dengan dua bahasa, Inggris dan Latin, dan oh! tampaknya tak ada yang lebih mengagumkan dari kecerdasan anak itu. Kemudian seseorang lagi mempersembahkan suara emasnya, di panggung yang sangat  sederhana. Anak itu menyanyikan lagu De Colores dengan begitu merdunya.Â
Seolah di Rumah Yatim Piatu ini menjadi ajang perlombaan mendapatkan orangtua baru, terlihat sekali betapa anak-anak itu sangat berharap untuk diadopsi. Bukankah kebahagiaan yang komplit baru terasa nyata setelah manusia melihat dunia? Anak-anak itu telah lama bersabar menunggu dunianya (di luar Rumah Yatim Piatu, tentu saja), dan berdoa pada Tuhan untuk berbaik hati mengirimkan ayah dan ibu baru bagi mereka.
***
Para pengurus Rumah Yatim Piatu tersenyum senang, tatkala terlihat raut gembira si wanita pendana yang tampaknya sebentar lagi akan menemukan seorang anak untuk diadopsi.
Wanita pendana itu tampak sedang mencoba mengajak berbicara beberapa anak yang benar-benar berbakat, tampan dan cantik tentu saja, namun setelahnya wanita pendana tersebut menghampiri para pengurus Rumah Yatim Piatu dengan keraguan.
‘Kurasa aku belum menemukan sosok anak yang ingin kuadopsi.’
Ujar pendana dengan sorot mata kecewa. Ucapannya barusan membuat para pengurus terperanjat. Mereka sempat berpikir bahwa sang pendana ini terlalu pemilih dan perfeksionis.
‘Mereka yang terbaik, nyonya. Apa alasan yang bisa anda kemukakan untuk penggagalan ini?’
Wanita pendana itu benar-benar merasa bersalah. Ia bermaksud untuk mengganti semua biaya yang keluar, serta menyumbang lebih banyak lagi.
‘Ah, nyonya, maafkan kami. Seharusnya kami tidak perlu bertanya. Semua keputusan ada di tangan pengadopsi.’
Para pengurus kemudian menawarkan jamuan makan siang untuk sang pendana…
***
Siang itu, di meja makan kayu eboni yang panjang dengan kursi-kursi berhadapan, terhidang jamuan makan siang yang luar biasa lezat. Hal ini mengundang komentar dan pujian dari sang pendana.
‘Bahan baku masakan ini hanya sederhana. Namun, ini diolah oleh tangan ajaib yang menjadikannya hidangan istimewa. Siapa yang memasaknya?’
Para pengurus terkejut. Bukan oleh pujian itu, melainkan pertanyaannya.
Tidak ada seorang pun yang menjawab, namun selesai jamuan, mereka, para pengurus dan pendana itu menuju dapur yang terletak agak jauh dari ruang utama, melewati lorong-lorong kamar yang gelap.
***
Gadis kecil, bermata bulat dengan rambut dianyam oleh pita-pita putih, duduk di depan tungku perapian sambil mengaduk sup yang meruapkan aroma lezat.
Para pengurus itu saling memandang, ketika sang pendana menghampiri Lara, gadis kecil itu dan membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang.
‘Kau hanya memasak untuk teman-teman dan pengurus Panti Asuhan, namun mengapa itu terasa sedemikian lezat, seolah kau sedang memasak untuk seorang raja?’
Lara menggeleng perlahan sambil mengembangkan senyum manis. Ia menjawab,
‘Aku memasak untuk Tuhan!’
Jawaban itu membuat sang pendana tercengang.
‘Bukankah Tuhan tidak makan, kau tahu itu, nak?’
Lara tersenyum lagi.
‘Tapi Tuhan melihat bahwa aku memperlakukan masakanku sepenuh hati, Tuhan melihat tetesan keringatku, Tuhan tahu kesungguhan hatiku, dan yang terpenting adalah.. Tuhan telah memberiku bakat untuk memasak sehingga aku harus mempersembahkan olahan bakat itu lagi kepadaNya!’
Sang pendana amat terharu. Ia segera berbalik badan untuk menghampiri para pengurus , bermaksud untuk mengadopsi Lara menjadi anaknya.
Namun tak disangka, betapa terkejutnya sang pendana, tatkala mendapati ruangan itu telah penuh sesak oleh anak-anak yatim piatu dan juga pengurus yang berseru sambil menangis terisak.
‘Jangan ambil Lara, ia adalah berkah dari Tuhan untuk kami…!’
Sang pendana terpaku pada tempatnya berdiri tanpa mengucap sepatah katapun. Seumur hidupnya, ia belum pernah menemukan sosok manusia yang begitu dicintai oleh sekelilingnya, hingga mereka menyembunyikan keberadaan manusia tersebut layaknya harta yang berharga. Sang pendana pun akhirnya pulang tanpa mengadopsi siapapun.Â
Namun, ia membawa sebuah petuah berharga dari seorang gadis kecil yang akan selalu direkam dalam benaknya.
Apapun itu, lakukanlah yang terbaik untuk Tuhan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H