Mohon tunggu...
Leil Fataya
Leil Fataya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@leilfataya, author of Kucing Hitam & Sebutir Berlian ( Leutika Prio 2012 ), Suatu Pagi di Kedai Kopi ( Red Carpet, 2013 )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Intermezzo, Pertengkaran Dua Novelis

3 Juli 2012   04:10 Diperbarui: 14 Maret 2019   15:00 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


***

Novelis itu duduk di sebuah balkon yang tepat menghadap bibir pantai Puerto Del Carmen. Tenang dan misterius. Sementara manusia di luar sana sibuk dengan kasino dan klub-klub malam, ia justru memilih untuk  mengetikkan berlembar-lembar naskah, sambil berusaha  menahan diri dari cuaca yang berangin. Begini kira-kira penggalan tulisannya:

“Juan menjadi begitu terobsesi dengan gugusan bintang. Ia memandang binokuler di sampingnya dengan muak.

Aku perlu sebuah teleskop canggih, pikirnya. 

Tapi begitu Juan sadar bahwa diperlukan sejumlah uang untuk membeli teleskop itu, maka ia terkejut sendiri ketika terlintas ide mengenai perampokan. 

Merampok!

Juan menyeringai.  Pernah suatu kali ia mendekam di penjara karena mencopet sebuah kamera dari sekumpulan turis-turis muda. Dan kini ia mesti melakukannya lagi?

Juan teringat sebuah rumah yang selalu kosong pada awal tahun. Penunggunya adalah seorang tua renta yang mungkin akan segera meninggal karena sakit jantung. 

Ini akan menjadi begitu mudah, gumam Juan.”

***

Novelis itu - sebut saja lelaki Pertama -  berhenti sejenak untuk membakar sebatang cerutu. Ia meraih kotak hitam  bertuliskan Cohiba Esplendido yang kemudian dilemparnya dengan kesal, karena sudah tak ada apa-apa lagi di dalamnya. Kotak cerutu itu menancap di sebuah istana pasir yang dibuat oleh anak- anak turis sesorean tadi.

Aku tak bisa menuliskan apapun tanpa cerutu, gerutunya. Ia menoleh ke arah belakang punggungnya dan mendapati poster Jose Echegaray, seorang peraih nobel sastra dari  Madrid, sedang tertawa mengejek. 

Kau memang tak begitu cerdas.tuding lelaki dalam poster.

Seketika lelaki pertama merasa perlu untuk mencari segelas anggur. Dia ingin menenangkan diri. Hari-hari terkahir ini amat sulit, gumamnya.

Penjualan bukunya tak semanis yang dibayangkan.

Namun kali ini entah mengapa ia memiliki keyakinan dan visi yang jelas. Seorang novelis hebat telah hadir dalam hidupnya. Dan novelis hebat itu bersedia menjadi semacam penulis pembantu untuk buku terbarunya!

***

Dalam rentang waktu yang tak lama, penulis pembantu itu, sebut saja lelaki Kedua, sedang berusaha meralat paragraf demi paragraf yang ditulis oleh lelaki Pertama tadi. Hal ini membuat lelaki Pertama sedikit kesal dan merasa terintimidasi. 

Kolaborasi adalah ide yang benar-benar buruk ! Pikir lelaki Pertama.

‘Mengapa ia mesti merampok?’ selidik lelaki Kedua dengan dahi mengerut.

‘Karena itu keahliannya.’

‘Satu-satunya? Tidak kan? Mengapa tak kau tuliskan saja, ia bekerja sebagai pemandu turis?’

‘Siapa yang mau beli novel seperti itu? Kau akan menciptakan plot yang hambar.’

‘Kata siapa? Justru ide ceritamu menggelikan.’

‘Kukira tidak.’

Lelaki Kedua membanting naskah yang baru saja dicetak sebagian. Dia menunjukkan raut masam.

‘Kau keras kepala. Apa yang harus kutuliskan setelah ini?’ 

‘Terserah.’

Lelaki Pertama mengedikkan bahu.

‘Mengapa kau tak membicarakannya lebih dulu? Kukira kau akan membuat cerita tentang seorang pemandu turis.’

‘Sudah kubilang, tidak ada yang mau membaca tulisan kerdil semacam itu.’

Lelaki Pertama membuang pandangan jauh-jauh. Diam-diam ia menyadari bahwa hal ini tak akan berhasil

‘Kupikir kita tidak memiliki ikatan kimiawi  untuk menyatukan gagasan.’ Ujar lelaki Pertama tiba-tiba.

‘Kupikir tidak. Ikatan kimiawi itu tidak terjadi karena kau terus menerus melakukan penyangkalan ! ’ sahut lelaki Kedua.

Lelaki Pertama ini menduga bahwa rekannya memang novelis hebat, namun mengundangnya untuk bekerjasama adalah sebuah kesalahan besar.

Lelaki Pertama terdiam.

‘ Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kau merasa gagal sebagai seorang pengarang. Penjualan bukumu benar-benar buruk, penerbitmu rugi besar dan hidupmu di ambang kehancuran.’ Tukas Lelaki Kedua.

Lelaki Pertama masih memilih untuk diam.

‘Aku datang untuk membantumu, namun kau malah merasa terintimidasi. Mungkin kau harus membiarkanku bertindak, untuk mengaturmu. Kau benar-benar ada di titik terendah dalam hidupmu.’ 

Lelaki Pertama sungguh-sungguh terdiam!

Jantungnya selalu berdegup kencang jika ada yang menyinggung tentang penjualan novelnya yang buruk. Mengapa dunia membiarkan itu terjadi? Dulu karya-karyanya adalah sebuah fenomena. 

Denyut jantungnya semakin terasa menyakitkan dan lelaki itu tahu, bahwa ia mesti melampiaskannya pada sesuatu. Apapun akan ia lakukan agar dunia berhenti mencelanya untuk sesaat.

Lantas lelaki itu tergerak untuk mengumpulkan novelnya satu demi satu dengan perasaan benci, menumpuk, lalu membakarnya…

***

Sementara dari jauh, tampak seseorang sedang mengamat-amati dan menuliskan sesuatu dalam sebuah berkas.

Seseorang ini mendiagnosa bahwa satu kepribadian dominan telah muncul dalam diri pasiennya. Kemajuan pasien dinilai sangat lamban dan ia memerlukan sesi terapi tambahan, demikian bunyi analisa terakhir dalam berkas itu.

Sebenarnya memang tidak ada pantai, tidak ada cerutu dan tidak ada novel.

Semuanya hanya kegilaan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun