Di dalam bangunan ala Belanda itu ternyata sudah penuh dengan anak-anak yang hendak dimasukkan di asrama yang sama denganku. Aku duduk di atas kotak kulit yang sarat dengan berpuluh potong baju di dalamnya.Â
Bapak sibuk mengepulkan asap rokok dari mulutnya, tak henti memandangiku yang asyik di atas kotak kulit itu. Sesakali nampak wajah bapak yang resah. Ah, bapak, tahukah isi hati ku saat ini? Bapak tega padaku, memisahkan aku dari kalian.Â
Tak lama kemudian, simbok datang membawa selembar kertas. Ku baca sebentar. Kertas itu berisi perjanjian antara simbok dan pihak asrama. dua ribu lima ratus atau dua puluh lima ribu rupiah, angka yang harus dibayar simbok setiap bulan untukku tinggal di asrama ini, tak jelas angka yang tertulis di kertas itu. Yang jelas terbaca hanya namaku di atasnya.
Kotak kulit itu beringsut berpindah ke dalam ruangan besar berjajar lemari-lemari besar pula di dalamnya. 42 adalah nomor ku. Semua barang harus berlabel ini bila tidak mau hilang. Lemari dengan nomor 42 berhasil ku temukan.Â
Ku buka kotak kulit itu dengan susah payah. Banyak mata memandang aneh padaku. Kenapa? Ah, ternyata tak ada yang membawa kotak kulit sepertiku.Â
Teman-temanku hanya berbekal tas kecil saja, sedang aku.. alamak, aku seperti mau transmigrasi bedol desa dengan membawa semua kekayaan yang dimilikinya.Â
Dengan mulai berlinang air mata, kukemas baju-baju dari dalam kotak kulit itu ke dalam lemari bernomor 42. Penuh sesak lemariku tak cukup untuk menampung seluruh isi kotak kulit yang kubawa dari rumah.Â
Tak peduli dengan ukuran lemariku, kumasukkan semua baju dan perlengakapan lain ke dalam lemari itu. Simbok dengan sabar merapikannya. Air mataku yang jatuh tak mengganggu kegiatan simbok sedikit pun. Tegar sekali ibuku ini. Anak bungsunya lepas dari pelukannya pun tak membuatnya bersedih sedikit pun.
Di asrama, aku mendapat perlengkapan tidur dan mandi. Mulai dari selimut, handuk, sabun, shampoo hingga pasta gigi. Bahkan beberapa pucuk pakaian pun disiapkan bagi anak yang tidak banyak membawa pakaian sehari-hari. Mungkin hanya aku yang berbekal pakaian hingga lemari jatahku ingin berteriak karen penuh sesak.
Udara mulai terasa dingin saat itu. Aku yang terbiasa tinggal di daerah panas, mulai menggigil tak tahan dengan dinginnya udara ini. Simbok memandikan tubuh mungilku di kamar mandi paling ujung dengan air yang dinginnya menggigit tulang.Â
Mungkin itulah terakhir kalinya simbok memandikanku. Malam ini, simbok dan bapak menginap di asrama. Aku tak mau lepas dari  pelukan simbok. Kupegang terus ujung kain panjangnya. Seakan-akan itu adalah tanda aku tak mau ditinggalkan sendiri di asrama ini. Esok paginya, simbok memelukku. Ku lihat air mata jatuh dari sudut matanya.