Fase hidup selalu ada waktunya. Di saat sekarang seorang seperti aku dan atau mungkin kamu hidup dalam fase diantara mimpi dan kenyataan, antara kepastian dan keraguan dan atau diantara rasa untuk mencintai dan membenci. Ini bukan hanya soal kemungkinan-kemungkinan perasaan cinta semata, tetapi lebih kompleks dan kait-mengait satu dengan lainnya.
Sesewaktu aku membayangkan pagi dengan keberangkatan yang pasti dan rutin. Dan ketika senja tiba, kubawa cerita seharian dengan rekan kerja kepada kamu yang telah kutemukan. Biarkan tangan ini mampu berbagi dengan yang lain dalam usia ini. Dan kalau boleh bisa kurasakan letih tubuh akibat banyaknya kesibukan.
Selepas hari kemarin, aku ingin berlangkah dengan segala kelemahan dan kekuatan yang ada. Ada dalam diri. Biarkan aku yang kutunjukkan dan nyata, bukannya harapan mereka lain yang hadir di atas pundak kecil yang mesti dipikul. Itulah mengapa originalitas diri terasa penting. Supaya pergerakan terasa bebas nilai dan sebisa mungkin terhindar dari hal yang mengikat apalagi membebani.
Memang tak akan mudah. Serasa susah-susah gampang. Tak heran sampai langkah ini, aku dan mungkin juga kamu masih berlari di tempat yang sama seperti waktu kemarin. Padahal segala kemungkinan telah dicoba. Sebab mencoba adalah awal yang baik. Tapi sayangnya percobaan belumlah menemukan titik terang yang baik.
Fase sekarang adalah tentang keberanian memilih dan mengabaikan yang lain. Tentunya sebuah pilihan mengundang akibat yang tak bisa dihindari. Mau tidak mau, hanya ada satu yang bisa dipilih dari sekian yang ditawarkan. Inilah yang berat pada setiap orang. Memilih kehidupan yang menjanjikan dan meninggalkan kesenangan yang semu.
Kadang harus terpaksa mencari sesuatu yang tak stabil. Kedudukan ini tak bisa bertahan untuk sesuatu yang penting, masa depan misalnya. Tidur malamku selalu tak lelap. Selalu dipaksakan untuk terlelap demi menjalankan kewajiban tubuh. Bisa dikatakan tidur yang labil. Sebab apa, selalu berandai untuk harapan dan kenyataan yang sedang melanda hidup saat ini.
Dari kedalaman ada yang berbisik kalau diri sendirilah yang mesti bangun, melihat, meraba, mencoba dan memutuskan untuk kepastian. Tak ada di luar diri yang benar-benar murni menolongmu. Mereka hanyalah mendukung, mendukung dan sebatas mendukung. Entah dukungan dengan pujian, senyuman, hinaan, kritik, sentuhan, kata-kata dorongan, dan seterusnya. Itu hanya pendukung.
Adakah sesuatu yang salah kulakukan?
Ataukah biarlah tetap seperti ini dan aku atau juga kamu hidup dalam harapan dan kenyataan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI