Mohon tunggu...
Nia
Nia Mohon Tunggu... Lainnya - pekerja lepas

hanya mencoba menyibukkan diri

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sosok yang Ku Panggil Ibu

12 Juli 2024   11:15 Diperbarui: 12 Juli 2024   11:26 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sejak kecil, Ibu berkata bahwa perempuan adalah porosnya dalam rumah tangga. Jika ayah adalah kepala rumah tangga, maka Ibu adalah lehernya. Perempuan pemberani itu juga mengatakan untuk tidak takut melawan jika ada sesuatu yang salah. Jangan takut ditinggal hanya karna kamu merasa tak bisa hidup tanpanya. Pria tak seberarti itu jika dia berbuat salah. 

Seiring berjalannya waktu, Ibu tidak konsisen dengan perkataannya. Sepanjang aku hidup. Ibu memang tak pernah diam, selalu ada kalimat kasar yang keluar untukku atau Ayah. Ntah itu karna kesalahan kecil yangmerembet pada kami berdua. Pokoknya jika salah satu berbuat kesalahan. Maka, kami akan menjadi satu paket yang terkena sasaran Ibu. Kukira itu hal biasa. Hal lumrah yang dilakukan Ibu-Ibu di luaran sana. Bukankah rumah tidak tampak baik-baik saja kalo Ibu tidak mengomel?. Aku salah! lagi-lagi aku salah.

Kata kasar itu bahkan membayangiku. Orang bilang tidak boleh memarahi atau menegur orang lain saat makan. Tapi ibu melakukannya. Orang Bilang jangan memarahi anak didepan umum. Tapi Ibu melakukannya, bahkan tak segan memaki. Kata orang, pamali jika marah-marah di pagi hari, dan Ibu melakukannya. Hampir setiap pagi kalimat makian adalah hal pertama yang kudengar ketika membuka mata. 

Sedewasa ini, hmm maksudku sampai umurku 18 tahun. Aku menjadi biasa. Awalnya jika mood ku tidak baik, mungkin aku merasa sakit hati. Aku ingin mengamuk dan memberi penjelasan. tapi semakin kesini. rasanya penjelasan itu tidak ada gunannya. Bahkan, terkadang aku heran. Pantaskah aku disumpahi hanya karna masalah sepele yang bahkan aku saja tidak tahu dimana letaknya. Perkataan itu seakan-akan membuat aku anak paling tidak tau diri dan durhaka. Berkata seakan malu memiliki anak sepertiku. Saat itu tercetus bahkan disaat mood ku lagi paling buruk, di benakku "Bukankah aku yang tidak punya pilihan memilih orangtuaku. Itu keputusan kalian ketika memiliki anak, Kenapa justru aku yang salah?"

Kukira semua itu akan dialami setiap anak. jadi itu adalah hal biasa. Ternyata hanya aku, Hahaha lucu! 

Ibu juga berbohong dengan semua ajarannya tentang wanita padaku. Ibu tidak pernah pergi. Apapun kesalahan yang kami lakukan. Ibu tidak pernah pergi. dan aku bersyukur untuk itu.  Amat sangat Bersyukur 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun