Demoralisasi dalam kehidupan berdemokrasi seolah mengiringi siklus kehidupan bangsa ini. Fakta ini kian terang benderang khususnya selama 5 tahun terakhir kepemimpinan Jokowi.Demokratisasi, meritokrasi, social justice hanyalah bagian kecil kata kata gombal sebagai trik dalam berjualan pengaruh bagi publik. Padahal publik adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam konteks negara demokrasi. Publik adalah subjek, bukan semata objek yang selalu merasakan dampak dari kebijakan yang sarat kepentingan. Sayangnya bukan lagi kepentingan publik itu sendiri, tapi kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Rasanya bagi yang masih waras, ini sangat memuakan !
Demoralisasi juga mengangkangi hukum dan konstitusi, sebuah hal tabu dalam masyarakat Indonesia yang menjungjung kepribadian dan local wisdom. Etika dan moral semestinya menjadi sumber paling fundamental yang harus jadi dasar bagi penerapan hukum positif di Indonesia. Local wisdom yang semestinya digali sebagai sumber utama hukum di Indonesia, nampaknya tidak terjadi. Kita seolah kembali pada zaman pra sejarah, dimana yang lemah pasti akan jadi mangsa bagi yang kuat. Drama drama memuakan, jelas terlihat, kasak kusuk jual beli kepentingan. Maka ungkapan Rocky Gerung yang menyentil prilaku seperti ini bukanlah leader tapi hanyalah dealer, menjadi sangat relevan.
Jargon NKRI Harga Mati! hanyalah jargon. Padahal untuk memperkuat kedaulatan NKRI bukanlah mendahulukan sila ke-3 dari pancasila, tapi fokuslah dulu pada sila ke-2 dan ke-5. Ancaman perpecahan dan konflik tidak bisa serta merta diselesaikan dengan pendekatan security approach, tapi mesti dengan prosperity approach dan menyentuh aspek sosial kultural atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kebijakan populis dan instan demi sebuah legacy, terus menerus dilakukan seolah tak pernah berakhir. Nyaris seolah tidak ada blue print jelas dan terukur yang bisa diteruskan sebagai kebijakan yang berkesinambungan. Prinsip prinsip perencanaan tidak diperlukan lagi.
Program straregis nasional, yang mestinya mampu mengangkat kesejahteraan hajat hidup masyarakat, nyatanya malah sebaliknya. Masyarakat lokal bahkan adat tergusur, hanya untuk menggelar karpet merah para oligarki nan serakah. Mengeksploitasi tanpa menghargai hak azazi manusia dan alam. Prinsip sustainability hanya jargon untuk menutup nutupi. Aturan dikebiri atas nama efisiensi, namun faktanya hanya untuk memuluskan jalan investasi bagi para oligarki. UUD 1945 jelas secara eksplisit bahwa "Bumi dan Air dan Kekayaan Alam di Dalamnya Dikuasai oleh Negara dan Dipergunakan Sebesar-besarnya untuk Kemakmuran Rakyat". Tafsir Frasa ini diputarbalik bahwa seolah negaralah sebagai pemilik, padahal makna dikuasai bukanlah dalam konteks kepemilikan, tapi dalam konteks pengelolaan atas dasar mandat kolektif dari rakyat. Sungguh ironis, justru hak hak rakyat, terutama masyarakat adat tergusur karena PSN.
Orang orang waras dibuntuti bahkan dicaci, ruang-ruang diskusi, ruang akademik, ruang opini publik dicurigai dan digemboki. Demokrasi mati suri. Padahal demokrasi harus dituntun oleh tesis dan antitesis. Ini tak terjadi, karena oposisi dianggap sebagai penghambat demokrasi. Kekuasaan menterjemahkan ulang secara liar bahwa demokrasi itu harus teraglomerasi untuk jaga stabilisasi. Maka tak heran, selama satu dekade yang terjadi adalah otoritarianisme birokrasi. Jauh dari prinsip demokrasi pancasila yang selama ini digaung gaungkan.
Kampus kampus yang mestinya menciptakan generasi emas yang waras, justru terjebak dengan mengobral gelar kehormatan dari doktoral hingga guru besar. Padahal ini bisa mendown grade kualitas kampus di mata dunia. Ruang gelap kampus nampaknya mulai terbuka, bahwa semua hanyalah jual beli kepentingan.
Politisasi hampir disemua aspek kehidupan bernegara, bahkan kemiskinanpun rasanya dipolitisir. Frasa "Fakir Miskin dan Anak - anak Terlantar Dipelihara oleh Negara" diterjemahkan secara salah kaprah. Maka, tidak heran Fakir Miskin ini tetap ada dan jadi objek paling diburu oleh para politisi setiap memasuki tahun politik. Sayangnya lagi  golongan ini cenderung tidak ambil pusing dengan kehidupan bernegara, yang mereka fikirkan hanyalah urusat perut. Ironisnya lagi golongan ini mendominasi struktur penduduk kita saat ini.
Jika semua aspek multidimensi digerogoti sel sel yang tidak dibutuhkan secara tak terkendali, karena daya tahan yang menurun drastis, maka itulah yang memicu terjadinya cancer.
Satu jalan tunggal yang bisa memperbaikinya yakni tetap menjaga KEWARASAN, dengan begitu tubuh akan melakukan apoptosis secara terpogram, dimana sel yang tidak diperlukan lagi akan mati dengan sendirinya. Kewarasan akan menjadi alat kontrol yang efektif agar supaya negeri ini tidak digerogoti sel sel yang memicu cancer. Tapi, jika kewarasan masih mati suri, hanya Tuhan yang mampu membolak balikan hati. Semoga Pemerintahan mendatang mengevaluasi seluruh kebijakan yang diluar akal sehat dan kembali menempuh jalan yang benar.