Tepatnya tanggal 13 September 2007, PBB mendeklarasikan Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (The United Nations Declaration on the Rights of Indigeneous Peoples), tujuannya utamannya satu yakni memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak akses terhadap sumber daya yang ada.
Masyarakat adat memiliki hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, kuasai, atau gunakan dan hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki. Mereka juga berhak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang dapat berdampak pada hak mereka.
Seyogyannya ini menjadi pintu masuk bagi negara-negara di dunia tak terkecuali Indonesia untuk meratifikasi dalam bentuk payung hukum guna memberikan kepastian atau jaminan bagi eksistensi masyarakat adat. Sayangnya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat hingga saat ini masih mandeg sejak lama dan bukan lagi menjadi prioritas untuk menjadi pembahasan di Badan legislasi. Entah apa yang menjadikan ini semakin berlarut-larut. Padahal, ia sangat diperlukan sebagai landasan untuk menempatkan masyarakat adat sebagai subyek hukum sehingga setara dengan warga negara yang lain.
Eksistensi masyarakat adat bukan hanya dipandang dari aspek ekonomi, tapi jauh lebih dari itu, ada aspek historis yang melekat dan ini menjadi penting yang harus dijamin dalam setiap pengambilan kebijakan, terutama atas nama pembangunan. Dalam konteks negara, jauh sebelum negara ini berdiri, masyarakat adat telah ada secara turun temurun dan kemudian dengan sukarela melebur sebagai bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Aspek historis ini semestinya manjadi dasar bagaimana negara hadir untuk memberikan pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka. Masyarakat adat memiliki cara, pandangan hidup, pranata social yang juga harus dihargai dan dijamin. Barangkali, semestinya hukum positif itu juga digali dari kultur masyarakat adat.
Apa yang terjadi di Pulau Rempang, Kepualuan Riau, adalah tragedi yang sebenarnya bukan hanya terjadi di Pulau Rempang saja, tapi sudah bukan rahasia umum, dimana konflik agraria yang membenturkan masyarakat adat dengan kepetingan Pemerintah atas nama pembangunan dan investasi seringkali terjadi. Kepentingan masyarakat adat seringkali tergusur. Bentrok aparat dengan masyarakat adat, adalah bukti nyata dampak dari kebijakan yang otokratis birokratik dan mengabaikan peran partisipatif.Â
Pendekatan ini dalam implementasinya selalu menimbulkan konflik vertikal. Ruang penghidupan masyarakat adat seringkali juga menjadi sempit. Kebijakan relokasi tempat tinggal dan kompensasi yang dijanjikan, tidak semuanya berjalan mulus, tentu ini semata-mata pertimbangan mereka akan aspek historis yang bagi mereka wajib untuk dijaga. Tentu ini ironis, ditengah indeks demokrasi Indonesia yang sangat rendah dan ditengah gencarnya negara-negara di dunia mengkampanyekan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Amanat UUD 1945 Pasal 33 menjelaskan bahwa sumber daya alam (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung idalamnya) dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat[1]. Dari perspektif penulis, ada dua pemaknaan yang harus ditafsirkan secara luas, yaitu makna "dikuasai oleh negara" dan "kemakmuran rakyat". Merujuk pada pendapat Mahkamah Konstitusi bahwa pengertian "dikuasai oleh negara" haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya".
termasuk pula di dalamnya pengertian publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat[2].Â
Kesimpulannya, makna "dikuasai negara" tidak bisa diartikan secara sempit bahwa negara sendiri cq : Pemerintah yang langsung mengusahakan sumber daya alam. Dalam negara demokrasi Pancasila, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, dimana Pemerintah adalah penerima mandat kolektif dari rakyat untuk mengelola, mengurus, mengawasi pemanfaatan SDA bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Maka, sangat tidak mendasar (inkosntitusional), jika pemanfaatan SDA atas nama investasi tidak terlebih dahulu melibatkan peran partisipatif rakyat, termasuk didalamnya masyarakat adat. Masyarakat adat adalah subjek sekaligus objek dari tujuan konstitusi UUD 1945 Pasal 33 yaitu kemakmuran itu sendiri.
Disamping itu, Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang. Menurut Yance Arizona (2010), Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan konstitusional masyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat[3].
Menurut Mimin Dwi Hartono (2016), sebagaimana dikutip dari Geotimes, bahwa ada beberapa persoalan yang timbul dari ketentuan di dalam Konstitusi tersebut. Salah satunya ketentuan bahwa batasan pengakuan masyarakat adat yakni "diatur di dalam undang-undang". Hal ini menjadi persoalan utama karena sampai saat ini tidak ada undang-undang utama yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat sampai saat ini belum menjadi prioritas legislasi nasional[4].Â
Konflik vertikal di Pulau Rempang, Kepualauan Riau, sudah saatnya mengetuk pintu hati nurani wakil rakyat untuk memprioritaskan pembahasan RUU Masyarakat Adat dan segera ditetapkan menjadi Undang-Undang. Pertumbuhan ekonomi bukanlah tentang angka-angka makro, tapi lebih jauh dari itu bagaimana sari pati dampak pertumbuhan ekonomi tersebut tidak hanya dirasakan sentralistik oleh koorporasi dan oligarki, tapi oleh segenap rakyat Indonesia secara berkeadilan sebagai pemilik kedaulatan. Semoga masih memiliki kepedulian. #savemasyarakatadat
Â
Wallahua'lam Bishawab
Â
Penulis :
Sekjend Pusat Kajian dan Pemberdayaan Sumber Daya KP
Disclimer : Artikel ini merupakan pendapat pribadi
Sumber Rujukan :
[1] Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
[2] Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 002/PUU-I/2003
[3] Arizona, Yance. 2014. Konstitusionalisme Agraria. Yogyakarta : STPN Press.
[4] Mimin Dwi Hartono. 2016. Hari Internasional Masyarakat Adat Se-Dunia. Majalah Geotimes
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H