Isu yang berkaitan dengan konflik pemanfaatan ruang terutama di kawasan pesisir dan laut masih sering kali terjadi. Ini disebabkan karena ruang tersebut masih dianggap bersifat open access.Â
Disamping itu, orientasi pendekatan pemanfaatan ruang yang masih mengedepankan mazhab developmentalism.
Kondisi inilah yang justru menjadi bumerang terhadap kerusakan lingkungan pesisir dan laut.Â
Sebenarnya pendekatan ini telah mendapat kritik tajam dari para pakar di dunia, terutama setelah adanya fakta terjadinya tekanan kuat terhadap kualitas sumber daya dan  lingkungan.
Konsep integrated coastal zone management semestinya menjadi acuan pemanfaatan ruang dan zonasi, dimana kompatibilitas antar multisektor harus terjaga dalam konteks ekoregion. Â
Perilaku "zero sum game" dalam konteks pemanfaatan sumber daya dan lingkungan akab memberikan dampak buruk dan eksesnya bisa bersifat multidimensi.
Beragam ekses eksternalitas saat ini kian terasa. Misalnya, tingkat abrasi di kawasan pesisir, land subsidence, sea level rise, kerusakan habitat dan ekosistem penyangga, telah secara nyata membawa kerugian yang tak terhitung secara ekonomi.Â
Perubahan iklim global, memang menjadi pemicu, tapi itu bukanlah faktor tunggal, karena sebenarnya aktivitas yang bersifat antriposentrislah yang menjadi akar penyebab utama.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip, Prof. Sutrisno Anggoro dalam sebuah kesempatan webinar mengatakan pentingnya menjaga prinsip "bijak" (Bijak sana dan bijak sini) dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Artinya ada "equity of dimension".Â
Oleh karenanya, Prof. Tris, juga menekankan pentingnya pendekatan *filantropi regulatif* dalam kebijakan perencanaan ruang.
Jika melihat fakta terhadap kasus kasus konflik pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut, hal yang paling mendasar adalah belum adanya kesamaan persepsi terhadap implementasi aturan yang berkaitan dengan tata ruang dan zonasi, terutama dilevel daerah.Â
Tumpang tindih kewenangan pada saat implementasi, juga disebabkan aturan masih bersifat sektoral, padahal aktivitas multisektoral berpotensi memberikan dampak yang sama terhadap sumber daya dan lingkungan pesisir dan laut.
Oleh karena itu, hal terpenting harus segera dibenahi adalah harmonisasi aturan antar otoritas kompeten di masing masing sektoral terkait, sehingga ada kesamaan persepsi dalam menterjemahkan dan mengimplementasikan pada tingkat operasional terutama di daerah.
Regulasi berkaitan dengan perencanaan ruang (RTRW dan RZWP3K) merupakan kunci untuk menjamin kompatibilitas aktivitas multisektor dan sebagai bagian penting dalam memberikan perlindungan terhadap sumber daya dan lingkungan.
RTRW dan RZWP3K harus memiliki landasan filosofi yakni pentingnya mendorong prinsip prinsip sustainable development terutama yang berkaitan dengan pre-cautionary principle (prinsip kehati-hatian).
Melihat fakta terkait kondisi wilayah pesisir pantai utara Jawa, memang tidak bisa menampikan bahwa perencanaan ruang masih seringkali belum mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.Â
Oleh karena itu, saat ini yang mendesak adalah bagaimana menyusun sebuah sistem informasi satu data berupa Peta Nasional Kerentanan Pesisir, Laut dan Pulau Pulau Kecil.Â
Tentu peta ini didasarkan pada kajian dan analisis komprehensif baik dari aspek kerentanan ekologis (ecological vulnerability) maupun sosial (social vulnerability)
Peta inilah yang bisa dijadikan acuan rekomendasi dalam penentuan strategi nasional pemanfaatan sumber daya di kawasan pesisir, laut dan pulau kecil berbasis mitigasi.Â
Utamanya peta ini bisa jadi pertimbangan penting dalam penyusunan maupun review terhadap regulasi perencanaan ruang, terutama perda RZWP3K.
***
Penulis adalah Sekjend Yayasan Pusaran KP
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H