Bicara potensi, berdasarkan peta sentra dan masterplan budidaya laut Indonesia, setidaknya ada 15 kawasan berbasis WPPN-RI yang bisa dikembangkan untuk budidaya lobster. Ada sekitar 1.516 hektar potensi lahan efektif untuk budidaya lobster.Â
Jika dalam 5 tahun ke depan, kita bisa manfaatkan rata-rata per tahun 40% dan kita mampu improve teknologi dengan menaikan SR hingga 70%, maka ada potensi produksi sebanyak 45.454 ton dengan nilai mencapai 15,90 trilyun rupiah di tahun 2024.Â
Adapun pembudidaya yang terlibat sebanyak 107.657 orang, dengan serapan tenaga kerja langsung dalam proses budidaya mencapai 215.313 orang. Taruhlah tahun 2020 ini, kita mampu manfaatkan sekitar 13% saja dari potensi efektif tersebut, maka akan ada potensi produksi 5.848 ton dengan nilai mencapai 2,04 trilyun rupiah.
Mencapai target-target kuantitatif tersebut memang tidak mudah, terlebih saat ini, Indonesia tengah didera krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, pun halnya kondisi ini tentu akan mpengaruhi minat investasi.Â
Bicara kebutuhan input produksi terutama benih dan prasarana KJA, maka untuk mencapai target hingga tahun 2024, setidaknya diperlukan benih lobster hingga 230 juta ekor per tahun, dengan kebutuhan KJA sebanyak 458.215 lubang KJA.Â
Setidaknya tahap awal di tahun 2020, Pemerintah mesti mengalokasikan benih lobster hingga 65 juta ekor, dengan jumlah lubang KJA mencapai 132.830 lubang. Butuh anggaran yang tidak terbilang sedikit, yakni mencapai 981 milyar rupiah untuk tahun 2020, jika prasarana KJA disupport dari anggaran Pemerintah maupun Investasi.
Enam Belas Pekerjaan Rumah yang Harus Tuntas
Pemerintah menargetkan dalam jangka waktu maksimal 3 tahun, industri budidaya lobster telah berkembang, dengan semua input sumber daya yang telah improve termasuk teknologi budidaya. Namun demikian, saya ingin memberikan catatan, bahwa setidaknya ada 16 PR yang harus diselesaikan dalam jangka waktu hingga 5 tahun ke depan.
Pertama. Zonasi. Melakukan pemetaan zona pemanfaatan untuk budidaya dan zona tangkap berdasarkan pendugaan stok (stock assesment) dan di wilayah perairan yang menjadi hot spot dan terjadi fenomena sink population.
Kedua. Daya dukung. Melakukan pemetaan kesesuaian lahan berbasis daya dukung perairan (assimilative & supportive carryng capacity) di setiap zona pemanfaatan budidaya. Hasil penghitungan kapasitas KJA dijadikan syarat untuk menentukan batasan ijin unit KJA yang akan dikembangkan.
Ketiga. Stock Assesment. Melakukan stock assesment secara berkala disetiap zona tangkap benih untuk melihat status kerentanan stock dan acuan pengaturan kuota tangkap. Kuota tangkap sebaiknya bersifat dinamis sesuai hasil pendugaan stok.