Hari ini, 5 Juni adalah momen penting untuk kembali merefleksi atas segala pandangan dan sikap kita terhadap lingkungan hidup. Sebagai seorang yang memiliki backgraound lingkungan hidup, suara suara menuntut keadilan bagi terciptanya keseimbangan lingkungan, sudah sering saya suarakan baik di media maupun di ruang publik.
Saya merasa begitu gelisah. Ada kekhawatiran yang memuncak saat lingkungan dan sumber daya jadi objek eksploitasi tak terkendali kekuatan kapital. Beberapa bulan lalu saya telah mengupas ini lewat artikel saya " kapitalisme dan nasib bumi".
Sejak negara negara di dunia lewat deklarasi Stockholm 1972 menyepakati konsepsi sustainable development atas kesadaran bersama pentingnya melestarikan bumi sebagai "our common future", pasa faktanya prinsip dasar sustainable development itu pada implementasinya masih jauh menyimpang.
Kesadaran bersama yang sempat dibangun atas realita degradasi sumber daya alam dan lingkungan saat ini kembali pudar akibat tuntutan ekonomi. Memang betul, sifat manusiawi yang buruk dan paling dominan adalah rasa yang tak pernah puas.
Antroposentrisme nyata telah memenjarakan kesadaran itu menjadi kesimbongan yang tercermin dari mulai dominannya kapitalisme atas penguasaan sumber daya alam dan lingkungan.
Padangan dan sikap biosentrisme justru dianggap sebagai sesuatu yang menghambat pembangunan. Local wisdom juga diposisikan sebagai sikap yang tak sesuai jaman. Maka tak heran nilai nila moralnya kian luntur, bahkan rasanya Pemerintah acuh dengan lunturnya prinsip dasar ini.
Pandemi Mengembalikan Keseimbangan
Dalam konteks lingkungan hidup, ada sisi positif yang mesti kita ambil hikmahnya. Dari aspek spiritualitas, Tuhan berusaha menyentuh hati manusia untuk melakukan instropeksi terhadap pandangan dan sikap kita sejauhmana harmonisasi hubungan manusia dengan alam.
Saya adalah orang yang percaya dengan hal ini, bahwa Tuhan memang tengah memperlihatkan tanda alam.
Pandemi Covid-19 telah memicu negara negara di belahan dunia membatasi bahkan menghentikan segala aktivitas ekonomi melalui kebijakan lockdown.
Kebijakan lockdown telah menyebabkan ekonomi lumpuh akibat deindustrialisasi, mobilisasi publik termasuk kendaraan turun drastis, investasi dan eksploitasi sumber daya sempat terhenti sejak kebijakan ini berlaku.
Terjadi perubahan tatanan yang demikian signifikan, transformasi yang awalnya manusia sebagai subjek pengendali, dipaksa untuk tak berbuat apa apa dengan membatasi atau menghentikan aktivitasnya. Intinya kita dipaksa untuk hanya melihat fenomena alam ini. Â Memperbanyak dzikir sebagai upaya mengingat kuasa Tuhan.