Saya kutip ulang pernyataan ini :
"To much schooling, but less education"
Kalimat yang mestinya kita bisa tangkap dan jadi kesadaran nasional bahwa faktanya ada  yang salah arah dengan sistem pendidikan nasional kita. Sekolah masih dianggap sebagai pemberhalaan untuk sekedar meraih strata akademik. Bahkan banyak diantara orang tua yang memasang target angka angka untuk setiap mata pelajaran utamanya.
"Berapa nilai matematikamu, fisikamu, biologimu, bahasa inggrismu.. bla.. bla.. bla.. ?"
Pertanyaan yang mungkin saja jadi semacam teror buat sang anak sendiri. Sudah di sekolah tertekan dengan seabrek mata pelajaran, tugas sekolah, eh, dirumah mereka juga tertekan dengan pola pikir orang tua yang fragmatis.
Pernakah terfikirkan untuk bertanya :
"Apakah kamu menikmati sekolahmu? Bagaimana dengan temen temenmu, apakah semua baik? Kebaikan apa yang dilakukan sepanjang hari ini?
Rasanya sangat jarang kita menanyakan hal demikian. Padahal pertanyaan sederhana ini akan merangsang anak untuk terbuka, merasa terlindungi, termotivasi untuk berbuat baik dan merangsang untuk belajar tentang lingkungan sosialnya.
Saya sungguh merasa miris, tercabik hati ini, saat menonton sebuah video yang viral di media sosial. Siswa sebuah sekolah menengah pertama di Jawa Timur dengan seenaknya memperlakukan gurunya bak seorang pesakitan. Diolok olok, dipegang baju dan lehernya, menyakitkan lagi siswa lainnya mengabadikannya dengan kamera tanpa merasa berdosa.
Ada apa gerangan dengan generasi anak bangsa ini?
Sudah sedemikian parah rupanya watak anak anak penerus bangsa ini. Bagi saya ini masalah besar, masalah paling mendasar bangsa ini yang tidak hanya selesai pada ranah hukum atau sekedar tanda tangan bukti damai. Bagi kedua belah pihak mungkin masalah selesai. Tapi bagi negara, ini jadi masalah karena menyangkut keberlanjutan negeri ini ke depan.