Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kemacetan dan Aglomerasi Ekonomi Wilayah

23 Juni 2018   16:42 Diperbarui: 25 Juni 2018   14:09 3081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum saya membahas lebih lanjut opini saya terkait isu ini, terlebih dahulu saya ingin sampaikan bahwa opini saya mengambil sudut pandang dengan mengambil dasar pada teori pusat pertumbuhan (growth center/growth pole) dan pembangunan wilayah (spatial development). Jika anda punya sudut pandang lain itu bagian dari keragaman berfikir yang wajib saya hargai.

Fenomena kemacetan saat arus mudik dan dan arus balik lebaran kembali menjadi permasalahan kronis dan terus berulang seolah menjadi agenda rutin tahunan. Padahal kita tahu Pemerintah sebenarnya telah berupaya membangun infrastruktur jalan tol utamanya lintas Jawa. Jalan tol menjadi bagian upaya Pemerintah untuk meningkatkan efesiensi dan tentunya Pemerintah berharap akan memicu multiplier efek bagi pergerakan ekonomi. Namun faktanya hal ini belum terjadi. Masalah kemacetan arus mudik nyatanya masih terjadi.

Hipotesa yang berkembang, bahwa mungkin infrastruktur tol diikuti pula oleh peningkatan jumlah kendaraan bermotor, karena bersamaan itu tingkat preferensi masyarakat untuk membeli kendaraanpun meningkat. Inilah kenapa, pembangunan infrastruktur jalan diperkotaan tak memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan tingkat kemacetan. Hipotesis di atas sangat mungkin bisa diterima. Namun, saya ingin melihat dari variabel lain yakni spatial develompent. Saya ingin mempersempit masalah pada case study fenomena Jakarta sebagai magnet pusat pertumbuhan ekonomi nasional.

Jakarta sebagai ibu kota negara sekaligus sebagai pusat kegiatan ekonomi/bisnis, dan pendidikan masih menjadi magnet bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia untuk mempertaruhkan nasibnya. Ibaratnya Jakarta adalah gula yang pasti akan menarik perhatian semut untuk menikmatinya. Anggapan Jakarta sebagai kota yang mampu memperbaiki kehidupan ekonomi telah memicu mobilitas publik dari luar kota Jakarta. Bayangkan dari  10,37 juta penduduk yang ada di Jakarta (sumber BPS, 2018), sebagian besar didalamnya justru didominasi oleh penduduk pendatang.

Singkatnya mereka berani mempertaruhkan nasibnya untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Saya ambil frasa "mempertaruhkan nasib" karena faktanya tak seluruhnya apa yang dia inginkan jadi kenyataan, ditambah lagi, jika ditelaah ternyata dari sekian juta pendatang tersebut adalah un-skill labour dengan tingkat Pendidikan yang rendah. Maka tak heran masalah sosial akibat urbanisasi menambah runyam permasalah Jakarta yang nota bene memiliki tata ruang yang buruk, ditambah daya dukung yang telah jenuh.

Ada hal yang menarik, sebagaimana dikutip dari sebuah media, ternyata jumlah masyarakat yang melakukan arus balik lebaran justru lebih banyak dibanding arus mudik. Ini menjadi fakta, bahwa para pemudik telah membawa serta yang lainnya untuk diajak mengadu nasib di Jakarta. Barangkali hal ini terus terjadi sepanjang tahun. Silahkan dihitung berapa penambahan jumlah perantau di Jakarta tiap tahunnya. 

Kita tidak bisa menyalahkan para perantau di Jakarta, karena memang faktanya demikian bahwa Jakarta seolah dipoles untuk terus jadi magnet ekonomi. Bayangkan porsi  APBD   DKI Jakarta bisa lebih dari 10 kali lipat kota kota besar lainnya di Indonesia. Disisi lain investasi dan kegiatan ekonomi/bisnis masih terus terfokus digenjot pada wilayah Jabodetabek. Inilah yang memicu aglomerasi ekonomi  yang terlalu besar di Jakarta.

Lalu bagaimana mengurai masalah ini? Satu hal yang perlu jadi fokus yakni distribusi aglomerasi ekonomi dan pembangunan wilayah secara merata di setiap daerah. Dalam teori growth pole, daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi akan memiliki daya tarik bagi terwujudnya pergerakan ekonomi. Namun, apakah itu benar benar terjadi? Pada kondisi tertentu penerepan teori ini justru dilakukan salah arah, sehingga memunculkan masalah baru utamanya mobilisasi publik dari daerah sekitarnya yang memicu permasalah baru lainnya yakni sosial dan tata ruang.

Lalu bagaimana seharusnya? Dalam konteks pembangunan kawasan, aglomerasi ekonomi harus dibangung dalam lingkup lebih kecil yakni Kabupaten/Kota. Distribusi pusat pertumbuhan ekonomi harus diciptakan secara merata di setiap daerah melalui optimalisasi potensi ekonomi daerah.

Ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia memang masih tergolong tinggi. Jika saya ambil gambaran dengan merujuk pada data BPS tahun 2011 misalnya, rasio Produk Domsetik Regional Bruto (PDRB) per kapita rata-rata provinsi di Jawa masih lebih dari 300 persen PDRB per kapita rata-rata provinsi di Sulawesi, Nusa tenggara dan Maluku. Angka ini menunjukkan begitu lebarnya ketimpangan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Inilah yang memicu urbanisasi terus terjadi signifikan. Ketimpangan ini juga dipicu karena faktanya distribusi investasi sebagai pemicu PDRB juga masih lebar dan lebih dominan di Jawa, utamanya Jakarta.

Belum lagi jika kita bicara gini ratio yang juga masih lebar yakni dalam kisaran 0,393 pada tahun 2017. Disisi lain, tingkat kemiskinan juga masih tergolong tinggi walaupun ada tren penurunan disbanding tahun sebelumnya. Distribusi tingkat kemiskinan tersebut masih dominan terkonsentrasi di wilayah perdesan, padahal desa adalah basis sumberdaya yang mestinya memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun