Sejak diperkenalkannya konsep "Blue Economy" oleh Gunter Pauli melalui bukunya The Blue Economy: 10 years, 100 innovations, and 100 million jobs (2010). Buku yang sangat inspiratif ini mengilhami sebuah konsep yang seolah mengajak masyarakat global untuk mengubah paradigma bagaimana mengelola sumber daya alam secara optimal, arif dan berkelanjutan.
Gunter Pauli melalui konsep Blue Economy mencoba menawarkan solusi untuk menjawab tantangan bahwa sistem ekonomi dunia cenderung eksploitatif dan secara nyata telah merusak lingkungan. Ekspolitasi terhadap SDA ini telah melebihi kapasitas atau daya dukung yang ada.
Konsep blue economy sangat sejalan dan patut dijadikan dasar bagi pola pengelolan sektor kelautan dan perikanan yang saat ini kita akui masih belum optimal dan cenderung masih bersifat ekploitatif. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan biodiversity terbesar dunia sudah saatnya mandiri melalui optimalisasi pemanfaatan yang didasarkan pada pengelolaan  berkelanjutan.
Jika saja seorang Gunter Pauli dalam jangka waktu 10 tahun mampu mengelola SDA dengan menciptakan 100 inovasi dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 100 juta orang, bisa dibayangkan jika ini mampu diterapkan di Indonesia yang kaya SDA ini yaitu dengan memberdayakan segenap input yang ada baik teknologi, Sumber daya manusia, dan dukungan pembiayaan.
Bisnis akuakultur Indonesia saat ini mempunyai peran penting dalam pembangunan nasional, betapa tidak subsektor akuakultur saat ini diharapkan menjadi basis utama dalam membangun kemandirian dan ketahanan pangan nasional, sebagai penghela pertumbuhan ekonomi lokal, regional dan nasional, dan sebagai alternatif dalam memberikan porsi besar bagi peran pemberdayaan masyarakat.Â
Namun yang perlu diingat, bahwa bisnis akuakultur yang berkelanjutan tidak hanya mampu didorong oleh input teknologi semata, namun harus didasarkan pada pertimbangan efisiensi, keamanan pangan dan  nilai lestari (sustainablevalues). Setidaknya ada 3 pembelajaran yang didapat dari makna konsep blue economy ala Gunter pauli yang harus menjadi dasar bagi pengelolaan akuakultur berkelanjutan, antara lain:
Pertama, Kepedulian terhadap lingkungan (pro-enviroment), bahwa pengelolaan akuakultur yang berkelanjutan harus didasarkan pada prinsip keseimbangan (principle of harmony) dan nilai-nilai lestari (sustainable aquaculture) bagi ekosistem yang ada. Inilah sebenarnya yang menjadi dasar pengelolaan akuakultur berkelanjutan.
Beragam kemajuan inovasi teknologi akuakultur yang ada saat ini tidak akan mampu menjamin keberlanjutan jika tidak didasarkan pada prinsip ini. Input teknologi yang tidak terukur justru akan menjadi bumerang bagi keseimbangan ekosistem yang pada akhirnya akan memperburuk masa depan akuakultur.
Kedua, Efisiensi, bisnis akuakultur harus terukur secara ekonomis sehingga inovasi teknologi seyogyanya harus memberikan nilai lebih secara ekonomi. Pengembangan bisnis akuakultur secara terintegrasi (integrated aquaculture business) sudah seharusnya dijadikan model di sentral-sentral produksi sebagai upaya meningkatkan efesiensi dan daya saing, dan penciptaan ragam bisnis turunan lainnya (multiple cashflow) sehingga akan mampu memberikan kesempatan bagi penyerapan tenaga kerja.
Ketiga, bisnis akuakultur yang berkelanjutan harus menjamin minim limbah (zerowaste), bahkan limbah sedapat mungkin mampu dikelola untuk menciptakan inovasi bisnis turunan lain.Â
Bicara efisiensi dalam proses produksi akuakultur, maka tidak akan bisa lepas dari masalah issue pakan. Usaha akuakultur khususnya yang dikelola masyarakat harus dihadapkan pada kenyataan masih tingginya biaya produksi yang diakibatkan oleh tingginya harga pakan pabrikan (>60% cost produksi), penyebab utamanya adalah bahan baku pakan yang sampai saat ini masih impor. Padahal bahan baku lokal cukup melimpah di negeri ini, bayangkan hampir 70% tubuh ikan yang kita makan dibuang dengan sia-sia, padahal limbah tersebut sangat potensial untuk bahan baku tepung ikan.