Sepekan yang lalu headline berita nasional mengangkat 2 (dua) isu terkait lingkungan. Pertama, tuntutan KPK atas terdakwa Gubernur Sulawesi Tenggara terkait penyalahgunaan pemberian izin di luar prosedur terhadap salah satu perusahaan tambang nikel. Jaksa KPK menutut terdakwa telah melakukan perbuatan yang menyebabkan kerusakan ekologis akibat aktivitas tambang di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara.
Dalam kasus ini, KPK mengungkapkan bahwa baru pertama kalinya memasukan kerusakan lingkungan sebagai kerugian negara, dan menuntut sang terdakwa dengan hukuman penjara selama 18 tahun, denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 2,7 milyar (KOMPAS.com). Tidak berhenti di situ, mestinya penegak hukum juga menjerat sang perusahaan dengan tuntutan serupa.
Saya tidak paham bagiamana metode KPK menghitung besaran nilai kerugian di atas. Namun kerusakan lingkungan tidak hanya dihitung berdasarkan nilai ekonomi langsung (direct use value), namun patut dipertimbangkan juga valuasi dampak ekonomi tidak langsung (in-direct use value) dan nilai kerugian berdasarkan penghitungan masa pemulihan (recovery). Tentunya nilainya akan sangat besar.
Pertanyaannya, kemudian apakah langkah KPK juga akan diikuti oleh keputusan di pengadilan? Saya berharap pengadilan mencetak sejarah tentang ini, sehingga jadi preseden baik agar isu-isu lingkungan mendapat fokus perhatian.
Melihat fenomena lingkungan global saat ini dengan ditandai fenomena jejak ekologis (ecological footprint) yang telah melebihi bio-capacity, maka bagi saya pribadi kasus-kasus lingkungan tergolong kejadian luar biasa. Kenapa luar biasa? Bisa dibayakngkan, jika SDA dan lingkungan rusak, maka tak ada jaminan bagi keberlangsungan hidup antar generasi bahkan makhluk hidup lain.
Beberapa kesempatan yang lalu, saya sempat menuliskan apa yang Prof. Aji Samekto (Guru Besar Ilmu Hukum Undip) sampaikan dalam pengantar kuliah tahun lalu, bahwa peradilan hukum di Indonesia sudah seharusnya menambah ruang untuk membentuk peradilan ad-hoc tindak pidana lingkungan.
Kemudian, saya teringat 8 tahun lalu saat terlibat dalam tim kajian untuk melakukan valuasi ekonomi dampak kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak Montara di Laut Timor.
Tragedi ini, berimbas pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Nelayan menjerit kehilangan mata pencaharian karena SD ikan anjlok; aktivitas budidaya rumput laut dan mutiara berhenti total, serta kerusakan parah tampak pada ekosistem padang lamun dan terumbu karang.Â
Isu kedua yang menjadi headline dalam sepekan ini yakni masalah pencemaran Citarum. DAS Citarum sepanjang 297 Km dan melintasi 12 kabupaten/kota di Jawa Barat memang telah menjadi bagian kehidupan mayoritas warga Jawa Barat.
Setidaknya 15 juta orang menggantungkan kondisi sosial ekonominya di sepanjang Citarum. Ironisnya, fungsi Citarum sebagai penopang kehidupan harus ternodai oleh sikap anthroposentris manusia yang berlebihan.
Bahkan World Bank menyatakan bahwa sungai Citarum merupakan terkotor di dunia. Sebuah predikat yang secara langsung menampar tatanan kultur masyarakat yang dahulu terkenal dengan kearifan lokalnya yang kental.