Mohon tunggu...
Aulia Ilmi
Aulia Ilmi Mohon Tunggu... Wiraswasta - With GOD all things are possible

Life is journey

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Senja di Atas Roda

28 Oktober 2022   00:42 Diperbarui: 28 Oktober 2022   00:47 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan sepanjang siang itu menyisakan senja yang indah. Matahari mulai sibuk berkemas menuju peraduan, menyisakan semburat jingga di tepian langit. Angin sepoi membawa kesejukan. Daun-daun menghempaskan sisa-sisa air yang bergelayut manja, seakan tak mau move on dari tempatnya berlabuh. Jalanan masih basah oleh jejak kenangan. Kemacetan di sana sini, roda dua dan roda empat berebut pulang, merindukan garasi nyaman di rumahnya.
Hiruk pikuk jagat tak dipedulikan oleh tiga sosok kaum Adam di atas moda pick up. Mereka duduk santai di bak belakang, tak peduli dengan himbauan raja lalu lintas tentang keselamatan diri. Mereka asyik bercengkrama setelah seharian bekerja.
Adalah Ucok, Joko dan Gede, tiga generasi berbeda dari tiga daerah di Indonesia.

"Capek kali aku hari ini", keluh Ucok dari Medan.
"Pijit enak itu bang", timpal Joko dari Semarang.
Gede dari Bali hanya tersenyum, penuh arti.
"Apa kau bocah, senyum mu tak enak kali ku lihat. Pasti otak kau sudah kotor pula", ujar Ucok.
"Engga bang, ampun", seloroh Gede, sambil menangkupkan dua tangannya khas orang Bali.
Lampu merah menghentikan laju pick up yang mereka tumpangi. Motor-motor berderet di belakang pick up mereka. Tampak sepasang muda mudi bertengger di atas motor sport merah keluaran terbaru dari merek motor ternama. Masih berpakaian seragam sekolah, si cewek yang memakai rok setinggi paha memeluk mesra cowoknya. Entah apa yang mereka perbincangkan, keduanya tampak tertawa bahagia, seakan dunia milik berdua. Tampak beberapa mata melirik iri mereka. Begitu juga ketiga kaum Adam di atas pick up. Joko yang kebetulan memakai kacamata hitam, lebih leluasa melihat kemesraan mereka.
"Ah, cinta anak muda", celetuk Joko.
"Wadidaw, jam segini masih di jalanan", timpal Gede.
"Hhh, mereka lagi menikmati keindahan hidup yang semu. Coba nanti mereka sudah lepas seragam dan terjun ke dunia nyata, barulah tahu apa itu hidup yang sebenarnya ", ujar Ucok terdengar bijak. Pria paruh baya yang sudah kenyang makan garam kehidupan.
"Bener bang. Sama kayak yang aku alami. Melihat mereka, aku jadi inget masa mudaku dulu. Dulu aku orangnya bucin ... ", ucap Joko.
"Apa itu bucin?", potong Ucok.
"Budak cinta bang. Itu lho, kayak Romeo Juliet kalau lagi jatuh cinta, apapun dilakuin demi cinta", jelas Gede.
"Jadi kau punya motor gede gitu? Rupanya anak orang kaya juga kau ini", Ucok bertanya menyelidik.
"Cewek ku bang yang kaya. Dulu aku cuma modal motor Vespa. Tapi di jamanku, itu motor antik yang nyentrik. Kebetulan Abah ku memang suka koleksi motor-motor jadul gitu. Alhamdulillah, yang nyantol malah gadis idola di sekolah. Lagian, tampangku kan ok punya juga bang, ya engga sih?", jelas Joko, genit, sambil melepas kacamatanya.
Kedua teman di kanan kirinya kontan melihatnya penuh selidik. Mata yang tajam, hidung mancung, rambut rapi terikat ala pendekar samurai Jepang, badan tinggi proporsional, plus seulas senyuman yang manis, memang menyisakan sisa-sisa ketampanan pada diri Joko.

Lampu berganti hijau, pick up mereka pun melaju kembali.
"Apa yang terjadi pada dirimu mas?", tanya Gede heran.
"Ya kayak kisah cinta dalam komik gitu deh. Dia anak orang kaya, aku orang biasa. Orang tuanya ga mau lah nerima aku. Kami pun backstreet. Nikah usia muda, ga bisa lanjut sekolah, ga ada modal usaha juga, jadinya ya begini ini lah. Memang tak seindah khayalan, tapi Alhamdulillah setidaknya kami punya cinta", jelasnya serius.
"Makan tuh cinta ... ", timpal Ucok pesimis.
"Beneran bang. Cinta yang bikin hidup lebih hidup. Lihat aku ini, kuli dekil. Beruntung istriku yang secantik bidadari itu mau sama aku. Dia lah satu-satunya penyemangatku, aku akan membuat dia bahagia. Kalau aku sukses nanti, tolong ingetin untuk tetap setia sama dia. Karena dia lebih memilihku di saat dunia meninggalkannya", ujar Joko sambil menatap kosong awan yang berarak menghias langit senja.
"Beruntunglah kau mas dapat belahan hati yang tepat. Sedikit sekali orang beruntung yang bisa menemukan cinta sejatinya", ujar Gede.

Lalu lintas kembali macet, pick up mereka mendadak melambat.
Di belakang mereka tampak sedan hitam mengkilap, di depannya bertengger simbol lambang perdamaian.  Kaca mobil sedikit gelap, tapi sorot matahari senja masih mampu menampilkan apa yang ada di dalamnya. Seraut wajah cantik layaknya boneka porselen dari negeri tirai bambu, rambut panjang lurus terurai, body aduhai seksi, berpakaian ala kadarnya, menggelayut mesra di lengan pria yang memegang kemudi di sebelahnya. Pria berbadan tambun. Rambut memutih bertebaran di atas kepalanya, di sekitar ruang kosong selebar lapangan basket.  Cincin emas bertahta berlian di beberapa jarinya mampu membuat silau ketiga pemuda di atas pick up.
Sepasang headset menghiasi kedua telinganya, sesekali mulutnya komat kamit seperti seorang dukun yang membaca mantra. Kemudian mantra pun disembur ... mulutnya dimonyongin, mencium rambut dan kening si gadis boneka. Si boneka pun semakin beringsut manja.
"Olala, tontonan apalagi ini?", Gede melongo. Setetes air liur turun dari mulutnya.
"Nah ini, bencana ... ", ujar Ucok sambil melepas topi jeraminya dan mengibaskan ke wajahnya layaknya cuaca mendadak jadi gerah karena panas.
"Kenapa bang?", Joko bertanya penuh selidik, heran dengan perubahan sikap Ucok yang tak biasa.
"Menurut kalian, mereka pasangan sah tidak?", tanya Ucok.
"Engga lah bang. Kayak langit dan bumi gitu bedanya. Itu cewek pantesnya jadi cucu, bukan jadi gandengan", Gede mencoba berkelakar.
"Yang jelas, hubungan mereka ga ada cinta sejati yang kayak aku punya", ujar Joko.
"Tuh dah. Cewek model begini yang bikin dunia berasa kiamat", geram Ucok.
"Ada apa sih bang, pengalaman pribadi?", tanya Joko.
"Mantan istriku. Jauh-jauh berlayar keliling dunia demi kasih kebahagiaan buat dia, dia malah selingkuh sama juragan tembakau di kampung. Gara-gara sering diajak nongkrong di luar sama mobil kuda jingkraknya. Dasar cewek matre!", ujar Ucok berapi-api.

Kemacetan terurai, pick up mereka pun melaju kembali.
"Trus bang, gimana akhirnya?", tanya Gede kepo.
"Ya ku cerai lah. Setelah setahun pulang berlayar, dia udah hamil 3 bulan, mana ada benihku di situ?", jawab Ucok.
"Alamak!" timpal Gede.
"Sabar ya bang". Joko berusaha membesarkan hati Ucok.
"Selesai urusan aku sama wanita. Biar aku fokus besarin anak semata wayangku aja", jelas Ucok.

Lagi, pick up mereka berhenti di lampu merah. Kendaraan roda dua pelan merayap di belakang pick up mereka. Tampak seorang ibu paruh baya menggendong anak  balitanya dan menggandeng bocah kecil di tangan satunya. Wajah mereka yang kusut dan pakaian compang camping mendandakan mereka dari perjalanan jauh. Tapi mereka tidak mengemis di perempatan jalan itu. Sepertinya dari kampung, mencoba peruntungan nasib di kota. Mereka menghampiri seorang polisi yang berdiri di depan pos sambil mengatur laju lalu lintas. Secarik kertas disodorkan, rupanya sang ibu menanyakan alamat. Malam sebentar lagi datang, entah mereka akan bermalam dimana.
Joko menyadari Gede sibuk menarik kerah baju untuk menyeka air mata yang mulai menetes.
"Kenapa kamu, Bli?", tanya Joko.
"Gapapa mas. Lihat Ibu itu inget Ibu ku", jawabnya sedih.
"Kirain kamu sedih lihat anak-anak itu", tukas Ucok.
"Iya juga, inget aku waktu kecil ... inget anakku", jawabnya malu-malu.
"Hah, kamu udah punya anak?", tanya Joko, terkejut.
"Lho, belum tau kah kau Jok, dia ini pecinta janda. Betul tak?", seloroh Ucok.
"Iya bang. Sri, pacarku, dia janda beranak satu", ujarnya tersipu.
"Kok bisa kamu kepincut janda, bli. Bukannya kota ini terkenal banyak gadis sebaya yang cantik eksotis?", tanya Joko heran.
"Ga tau ya mas. Gadis jaman now itu ribet. Gayanya selangit, hobinya nongki-nongkj, online shopping, joget-joget ga jelas, tapi otaknya kosong. Maunya toko serba ada, padahal aku kan SPBU mas, mulai dari nol", ujar Gede. "Mending sama janda beranak, paling engga, dia masih mikirin tanggung jawab buat anaknya. Dan aku suka wanita yang keibuan, yang tahu caranya menangani anak".

Lampu berganti hijau, pick up pun melaju kembali.
"Kamu pasti mengidolakan ibumu ya", tebak Ucok.
"Iya bang. Ibu sudah meninggal setahun yang lalu", jawab Gede.
"Ups, sorry. Maaf ya", ujar Ucok.
"Gapapa bang. Ibu ku dulu single parent, Bapak udah meninggal duluan. Tapi aku bandelnya minta ampun, sering kelahi. Setiap pulang babak belur, bukannya dikasihani, malah dimarahi. Aku pikir Ibu ga sayang sama aku, aku pun semakin bandel. Sampe akhirnya aku terlibat perkelahian antar sekolah. Aku dan lawanku sama-sama masuk rumah sakit. Lawanku ini anak orang kaya, untung mereka berbaik hati memaafkanku dan membayar biaya pengobatanku. Untuk menebus rasa bersalah, Ibu malah menawarkan diri untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah lawanku ini. Awalnya aku berontak, masa iya berdamai dengan musuh, pakai cara membabu lagi. Tapi karena ulahku itu, aku dikeluarkan dari sekolah dan tentu saja semakin menjadi beban ibuku. Tak ada pilihan lain, kami berdua pun akhirnya mengabdi pada keluarga kaya itu dan sampai sekarang aku bersahabat dengan anak mereka yang tadinya menjadi musuhku. Dari situ aku belajar memahami cara seorang ibu menyayangi anaknya. Bagiku, ibuku pahlawanku", terang Gede.
"Trus, apa kamu menemukan sosok ibumu di Sri?", tanya Joko.
"Ya, hampir mirip. Dia janda ditinggal mati. Dia pindah ke kota ini untuk bekerja demi anak semata wayangnya. Anaknya ditinggal di kampung bersama orang tuanya. Pernah sekali ketemu sama anaknya waktu aku diajak pulang ke kampungnya. Bandelnya minta ampun, sama kayak aku dulu", cerita Gede.
"Nah tuh udah nemu yang pas, ga usah lama-lama pacaran, ga baik. Nikahin aja", ujar Joko.
"Maunya gitu sih bang. Doain aja. Ini masih ngumpulin biaya buat nikah", ujar Gede.
"Kalian pada beruntung ya dapat cewek yang tepat", celetuk Ucok.
"Tenang bang, jangan patah semangat. Semoga segera dipertemukan. Abang itu sempurna di mata orang yang tepat", ujar Joko berfilsafat.

Sesaat mereka tenggelam dalam lamunan masing-masing. Hanya hitungan menit sebelum mereka tiba di tempat tujuan. Terpisah sesaat untuk kembali bersua esoknya. Lampu-lampu kota sudah mulai dinyalakan. Pendarnya menyinari setiap jalan yang mereka lalui.
"Gaes ... Kayaknya aku memang butuh tukang pijat deh", tiba-tiba Ucok berkata, memecahkan hening.
Serentak tawa mereka bergema di udara. Menerbangkan penat dan asa tiga sahabat di atas laju moda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun