Sandiwara yang hebat, baru kali ini aku melihat tontonan sekelas sinetron, live streaming pula. Layaknya ada jeda iklan, mereka pun tersadar dalam dunia nyata. Mereka kaget melihatku, barista aneh dengan pengepel dan kain lap.
"Aduh kak, maafkan kami ya. Jadi berantakan semua. Biar kami bantu bersihin ya kak", ujar Sinta tulus.
"Eh, ga usah. Udah tugasku kok", jawabku. "Beneran nih kak? Maaf ya", ucap si rambut pendek.
"Ratna", ucap si kacamata sambil mengulurkan tangan padaku.
"Jeni", ujar si rambut cepak".
"Sinta", cewek idaman ku pun ikut bersuara. "Eh, Tio", balasku tersipu, "maaf, tanganku kotor bawa kain lap".
"Oh iya gapapa kak. Berhubung kita udah ngrepotin kakak, kita sekalian pesen kopi deh", ujar Ratna.
"Begitu lebih baik. Kebetulan hari ini ada promo beli 3 hanya 50 ribu. Mau itu apa yang lain?", tawarku.
"Boleh deh ambil yang itu aja", ujar Jeni. Aku bergegas membersihkan tumpahan kopi dan membuat pesanan, sementara mereka duduk mengitari meja di bawah payung kanopi di luar. Jumat itu hatiku berbunga-bunga, karena aku satu langkah mendekatinya.
Rabu galau ... .
Hari ini aku off, tapi rencanaku berantakan. Jauh-jauh hari ku rencanakan untuk healing pergi ke taman bunga yang lagi viral di kota sebelah dan berkunjung ke tempat Paman. Tapi temen kost ku mendadak bilang butuh pinjeman motor untuk menjenguk saudaranya yang kecelakaan dan sedang dirawat di rumah sakit. Tiduran seharian di kost kayaknya bukan alternatif yang menyenangkan. Ah, lebih baik aku bawa novel dan kubaca di coffee shop ku. Sesekali datang sebagai tamu apa salahnya.
Sesampai di sana, aku heran melihat toko ku yang ramai. Rupanya ada rombongan wisata anak sekolah.
"Hi bro, rame ya? Masih bisa handle kan?", sapaku ke Candra.
"Santai aja, kan ada Daniel. Kamu jadi tamu aja hari ini, mau pesen apa?", tanyanya. "Latte aja deh", ucapku sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Semua meja terisi, hanya ada 1 kursi tersisa. Di meja luar di bawah payung kanopi. Ada seorang cewek sendirian menekuni laptopnya. Rambutnya yang dikucir kuda, bahkan dari belakang sini aku bisa tahu dia siapa. Sinta ... .
Ku beranikan diri menuju ke mejanya.
"Maaf, kursinya kosong?", tanyaku sok ramah.
"Eh iya ... Eh", dia terbengong melihatku, seakan tak tahu harus menjawab apa.
"Aku lagi off, hari ini sebagai tamu. Kalau kosong, boleh berbagi meja? Aku lihat ga ada kursi tersisa selain ini", ujarku panjang lebar.
"Oh, iya, silahkan", ujarnya masih setengah terbengong.
"Tenang aja, aku bawa novel, aku ga akan ganggu. Silahkan dilanjut tugasnya", jawabku.
"Terima kasih", ujarnya sambil tersenyum. Manis, semanis madu ... .
Aku tahu ini ga akan mudah, novel kesukaan di genggaman dan cewek cantik di depan mata, siapa yang akan kupilih?
Selembar dua lembar aku masih bisa mencoba berkonsentrasi membaca. Tapi lembar berikutnya aku bak gelap mata. Baris yang sama kubaca berulang-ulang, tapi tak juga kupahami alur ceritanya. Sementara isi kepalaku hanya dia. Rambut kuncir kuda itu sesekali tersibak tertiup angin. Sinar matahari yang menyembul di antara dedaunan dan menerpa wajahnya seakan membuat silau, dia begitu glowing mempesona. Kicau burung di atas dahan seakan ikut mengagumi kecantikannya. Jemari yang menari di atas keypad laptop layaknya harmoni, aroma tubuhnya yang harum mewangi bak minyak kasturi di negeri peri.
"Tumben sendiri", tanyaku keceplosan.
Dia menghentikan ketikannya, menatapku.
"Iya, lagi pengen sendiri aja", ujarnya sambil tersenyum.
"Oh, maaf, silahkan diteruskan", ucapku tulus.
Dia hanya tersenyum, sambil melanjutkan pekerjaannya.
Selembar dua lembar lagi ku berhasil fokus. Tapi lembar berikutnya benak ku melayang lagi ke dia. Seorang dewi secantik dia tak mungkin bisa sendiri. Dia laksana magnet, menyedot semua perhatian dunia. Aku melirik pengunjung yang lain di sekitar mejaku yang kebanyakan kaum Adam. Mereka memang masih ingusan, tapi aku tahu mata muda mereka yang jelalatan itu tak pernah lepas dari Sinta. Mendadak aku merasa seperti Sang Rama yang menjaga Dewi Sinta dari gangguan Rahwana di luar sana. Membayangkan itu membuat ku tersenyum-senyum sendiri. Aku, sang Rama? Kalau dia mah memang udah Sinta, dari namanya. Cowok kayak aku sepertinya ga layak bersanding dengannya, paling-paling jatuhnya jadi Hanoman, sang prajurit yang hanya ditugaskan untuk menjaga sang Puteri, bukan untuk memilikinya. Ah, duhai nasib ... .
Sinta menghentikan kembali ketikannya, melihatku tersenyum sendiri. Beruntung aku memegang novel, jadi aku bisa pura-pura tersenyum karena membaca cerita. Padahal ini novel tentang misteri pembunuhan. Nah lho, andai dia tahu ... .
"Sepertinya bukan asli sini ya, pendatang?", tanyaku lagi, keceplosan.
"Aduh, maaf, ga usah dijawab, aku ganggu lagi ya", lanjutku merasa bersalah".
"Iya, dari Aceh", ucapnya singkat sembari tersenyum.
Alamak, pantesan cantik. Bahkan mungkin dia blasteran, bukan asli Aceh.
"Ayahku Belanda, ibuku yang asli Aceh", ujarnya seakan bisa membaca pikiranku.
Hatiku mengkerut, seperti pungguk merindukan bulan. Di mataku, dia begitu sempurna.
"Maaf, kalau sekali lagi aku ganggu, kamu bisa menyuruhku pergi dari meja ini", ujarku menyesal.
"Its ok", ujarnya, masih dengan senyum madu nya.
Handphone ku berdering, kutaruh novelku di atas meja dan berdiri menjauh. Panggilan dari Mama.
"Siang Ma, iya gapapa. Ga jadi, motor dipake temen jenguk sodaranya. Ya besok-besok aja kalau dapat libur lagi. Ok Ma, love you", ujarku menutup telpon.
Ketika ku berpaling dan kembali ke meja, kulihat meja itu bersih. Sinta sudah membereskan laptopnya dan memasukkannya ke dalam tasnya.
"Eh, maaf, apa karena telponku?", tanyaku merasa bersalah.
"Bukan, emang udah selesai kok", senyumnya. Kali ini aku bisa melihat jelas lesung di sudut bibirnya, rupanya itu yang membuat senyumnya semanis madu, membiusku.
"Sudah mau pergi?", tanyaku was-was. "Ngabisin kopi dulu kali ya", jawabannya membuat hatiku meleleh.
"Boleh dong ngobrol", harapku cemas. "Yeah, tentu", jawabnya.
"Jadi, gimana cerita yang kemarin?", tanyaku kepo.
"The end alias tamat", ucapnya sambil mengangkat bahu.
"Gitu aja?", tanyaku menyelidik.
"Yah, gitu aja. No more drama", jawabnya enteng.
"Ga kapok?", kejarku.
"Biasa aja".
"Tapi tempat ini? Kamu ga trauma?"
"Ngapain?"
"Kali aja".
"Dia ga begitu istimewa buatku. Aku udah menduga bakal seperti ini. Aku sih yang salah, jatuh hati sama cowok yang ga setia".
"Jawabanmu enteng, khas cewek cantik", ujarku tanpa kusadari. Ingin kusumpal mulutku dengan kain pel.
"Maksudnya?", tanyanya serius.
"Eh, maksudku ... Kamu kan cantik, ga perlu takut sendiri. Pasti sudah banyak yang ngantri pengen jadi pacarmu"
"Kamu pikir pacaran ga perlu pake hati? Aku juga manusia lho, aku bisa sakit hati juga", ujarnya agak sewot.
Kamu bukan manusia, kamu seorang peri, teriak ku dalam hati.
"Eh, maaf ya klo aku salah omong".
Senyumnya kembali tersungging.
"Santai aja".
"Senyummu kayak kopi loreng"
Aduh, kenapa lagi bibir ini. Kayaknya besok aku harus pasang gembok dan grendel deh. Kenapa mendadak jadi ceriwis di hadapannya?
"Maksudnya?"
"Mengandung gula aren ... Ada manis-manisnya"
Rayuan murahan, hadew. Aku hanya bisa meringis seperti menahan sakit perut yang melilit.
Kali ini senyumnya agak lebar. Giginya yang tertata rapi berhias gingsul mendapat giliran memukauku.
"Aduh, maaf ya. Humor ala barista jomblo", ujarku sambil menggaruk kepala yang sebenarnya ga gatal.
"Kamu jago nge gombal rupanya"
"Engga sih. Cuma berlaku buat cewek macan sepertimu aja".
"Macan?"
"Manis cantik"
"Sekarang aku ga percaya kalau kamu masih jomblo. Dengan gombalanmu, aku yakin bakal banyak cewek yang antri jadi pacarmu".
"Khusus kamu, ga usah antri deh, beneran. Malah aku kasih coffe latte gratis sebagai bonus"
Dia tergelak, matanya menyipit. Ingin ku sembunyi dari pandangannya. Kenapa aku tiba-tiba lebay begini. Tidak, aku seorang barista. Rayuan ku bukan dari ucapan, tapi dari lukisan kopiku.
Dia berdiri, hendak beranjak pergi.
"Ada rencana ke sini lagi ga?"
"Belum tau ya. Kenapa emang?"
"Kalau mau tau rayuanku, lain kali klo aku yang jaga, aku buatin latte. Aku jago ngelukis, akan ku buatin lukisan spesial buatmu".
"Beneran?"
"Kalau boong kamu bisa masukkan komplain di kotak pelanggan itu. Karirku yang jadi jaminannya", ucapku mendadak serius.
"Ok deh, deal".
"Tapi kamu perlu tahu jadwalku, hubungi nopeku kalau kamu ada waktu ke sini lagi".
"Mmm ... Kedengeran seperti modus".
"Kebaca juga ya? Hehehe".
"Ok ga masalah, nih nopeku", dia mengulurkan hpnya. Dengan semangat 45 aku menyimpan nopenya di hp ku.
"Aku cabut dulu ya. Makasih udah nemenin ngobrol".
"Sama-sama". Hati-hati di jalan hatiku, pekikku dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H