Mohon tunggu...
Puja sari
Puja sari Mohon Tunggu... -

Friendly and I'm so humble

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Juga Punya Cinta

26 Januari 2015   20:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:20 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kesempurnaan yang selalu menjadi impian setiap orang, begitupun perasaan. Banyak kisah yang tertuang dalam skenario bertema cinta, semua manusia memiliki cinta. Aku sering mempertanyakan tentang keadlian pada cinta. Katanya cinta adalah anugerah dari Tuhan, tapi banyak orang merasa tersakiti olehnya. Ibuku misalnya. Dua tahun yang lalu ayah menikahi seorang janda yang rentang usianya terlampau dekat dengan kakakku. Kami semua kecewa dengan sikap ayah dan akhirnya semua berujung pada perpisahan antara ayah dan ibu.
Dampak dari kisah cinta ayah dan ibu berakibat pada anaknya. Kakakku batal menikah karena pihak keluarga dari pasangannya tidak menginginkan anaknya menikah dengan laki-laki dari keluarga yang tidak utuh, hal yang sama terjadi padaku. Kami merasa kecewa berulang kali. Memang tidak ada yang salah dengan cinta, yang salah adalah ego manusianya. Aku berusaha berlapang dada, dan memetik pelajaran dari semua masalah yang tengah dihadapi keluargaku.
Ibaratkan lagu yang berlirik “sakitnya tuh di sini di dalam hatiku”, hanya membuatku tersenyum mendengarnya. Tak semua yang kita rencankan itu adalah berujung kebaikan, sesungguhnya hanya Allah Yang Maha Esa yang selalu memberikan rencana terbaik untuk kita. Allah telah menyadarkanku ketika aku berada dalam titik paling rendah dalam hidupku. Minuman beralkohol, rokok, dan dunia malam membayangiku saat itu. Tapi Allah begitu menyayangiku, disaat seperti itu aku tak memiliki uang sama sekali kecuali untuk makan. Aku tidak mungkin merasa kenyang dengan membeli minuman ratusan ribu bertuliskan 65% Alcohol. Bodohnya aku kalau melakukan itu. Pelarianku hanya menyendiri di kamar. Hingga aku temukan sebuah buku yang tulisannya menyadarkanku. “Bukanlah kekayaan itu adalah banyaknya harta tapi kekayaan yang hakiki itu adalah ketenangan jiwa.”
Jiwaku akan tenang ketika aku mendekatkan diri pada Tuhanku, hidupku akan senang kalau aku pandai bersyukur. Karena kesuksesan itu bukan kunci kebahagiaan, tapi kebahagiaanlah kunci kesuksesan. Kini, aku dapat menerima kenyataan hidup, aku banyak belajar dari keluarga pasanganku yang baru. Allah memberiku lebih dari yang aku duga. Aku melepaskan seseorang yang aku cintai demi menjunjung harga diri keluarganya, katanya. Beruntungnya aku mendapatkan yang lebih baik dari itu.
Keluargakulah cerimnan hidupku, setidaknya aku bisa belajar memperbaiki kehidupanku. Jika hanya kecewa yang aku tanam, yakinlah tak akan berbuah kebahagiaan. Karena seberapa besar pun rasa kecewaku pada orangtuaku tak akan bisa membalas kebaikan mereka padaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun