Apa artinya mencintai orang lain? Tidak jarang kita bertanya hal tersebut pada diri sendiri. Namun apa kita benar-benar tahu apa arti cinta yang sebenarnya dan perasaan aslinya?
Dalam artikel ini saya akan membahas hubungan antara cinta dan pemikiran John Armstrong. Sebelumnya mari berkenalan dengan John Armstrong. Ia adalah seorang penulis dan filsuf Inggris yang lahir pada tahun 1966. Ia lahir di Glasgow dan mengenyam pendidikan di Oxford dan London, kemudian memimpin program studi filsafat di University of London's School of Advanced Study. Armstrong adalah filsuf yang tinggal di Melbourne Business School dan seorang penasihat senior wakil rektor Melbourne University hingga tahun 2014. Kini ia tinggal di Hobart, Australia. Salah satu karya yang ia tulis berjudul “Kata Cinta”. Disini Armstrong menuliskan perspektif menarik tentang masalah cinta yang pada akhirnya terasa lebih pribadi daripada filosofis.
Cinta merupakan salah satu tema yang sering dipakai banyak orang untuk menulis di sosial media ketika mencoba memahami kehidupan kita. Namun kita menjadi semakin bingung merenungkannya. Banyak orang berkata jika cinta itu sangat erat kaitannya dengan kebahagiaan, padahal dalam hal percintaan justru kekasih hati yang paling mungkin tersakiti, atau malah kita yang disakiti. Lantas, mengapa cinta sangat sulit untuk ditemukan terlebih dipertahankan? Bukankah cinta adalah sesuatu yang kita semua inginkan?
Cinta adalah salah suatu cita-cita umat manusia yang persisten dan dijunjung tinggi, namun sulit untuk mengatakan dengan pasti apa hubungannya (jika ada) dengan kehidupan nyata. Ada sebuah mitos Yunani kuno dari cerita Aristophanes yang kemudian diceritakan kembali oleh Plato dimana pada awalnya setiap manusia memiliki dua wajah, dua punggung, empat tangan, dan empat kaki. Makhluk kembar ini memiliki tiga jenis kelamin, yaitu laki-laki, perempuan dan hemaprodit. Karena kekuatannya mereka menjadi sombong dan menyerang para dewa.
Akhirnya Zeus muak dan membelah mereka menjadi dua. “Jika ini tidak membuat mereka diam, aku akan membelah mereka menjadi dua lagi: mereka bisa melompat dengan satu kaki.” Dari mitos tersebut diyakini bahwa cinta adalah sebuah kerinduan setiap belahan untuk menemukan pasangan aslinya dan mengembalikan wujud aslinya menjadi satu kesatuan. Jika benar demikian, maka ada “orang yang tepat” bagi setiap orang di muka bumi ini.
Salah satu masalah lainnya adalah kita mempercayai bahwa ada satu orang di luar sana “yang tepat” ditakdirkan untuk kita (seperti yang diinginkan Plato). Dan apabila kita dapat menemukan orang tersebut maka masalah kita akan selesai. Hal ini ditentang Armstrong dengan masam, karena hal tersebut adalah mitos. Analogi cinta ini justru merubah cinta menjadi sebuah perburuan harta karun. Jika terdapat suatu hal yang salah dengan cinta, maka itu dikarenakan kita berhubungan dengan orang yang salah.
Woody Allen dalam Husbands and Wives, mengatakan “Spencer sedang mencari seorang perempuan yang tertarik dengan golf, obat-obatan organik, seks di luar ruangan dan musik Bach” Ironisnya dari lelucon ini hanyalah mimpi narsistik belaka. Spencer tidak sedang mencari perempuan untuk dirinya sendiri, melainkan membuat sosok kreasi sendiri yang memiliki ciri-ciri yang ditentukan berdasarkan kebutuhannya. Skema semacam ini yang awalnya berniat untuk mengatasi problematika cinta justru malah menjauhkan kita dari cinta. Tidak hanya itu, hal ini juga membuat kita tidak pernah puas karena daftar kebutuhan yang kita inginkan akan selalu membuat ruang bagi keinginan dan kebutuhan yang baru. “Orang yang tepat” telah dispesifikasi secara detail maka dari itu tidak akan pernah ada kecocokan yang terpuaskan. Ini artinya pencarian kecocokan yang sempurna bukanlah cara terhormat untuk mencintai.
Pencarian cinta seperti ini merupakan hal yang rapuh. Kehendak baik dapat lenyap hanya karena ketidakcocokan akan selera dan aspirasi sesuai dengan kepentingan masing-masing. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi pada kita ketika kita menemukan pasangan kita yang sempurna, karena sejatinya tidak ada yang sempurna dan cinta harus diperoleh serta diupayakan. Jika terjadi kecocokan cinta, hal tersebut merupakan sebuah prestasi, bukan prasyarat cinta.
Lantas bila kita sudah berhenti mencari “orang yang tepat” bagaimana kita bisa mempertahankan cinta? Untuk menjawab hal ini Armstrong menyebutkan bahwa untuk dapat bertahan cinta diperlukan adanya keterbukaan dalam suatu hubungan. Tidak hanya itu, diperlukan juga sebuah penerimaan atas cinta yang sewaktu-waktu dapat berubah dan berkembang. Maka dari itu dalam suatu hubungan cinta tidak ada kecocokan yang sempurna dan kita harus mengakomodasi beberapa tingkat ketidakcocokan.
"Ketika kita mencoba untuk mencintai, kita sebenarnya tidak mencoba melakukan satu usaha; sebaliknya, kita mencoba melakukan berbagai hal yang berbeda, dan terkadang tidak terlalu cocok, secara bersamaan."
Berdasarkan pemahaman Plato maupun Armstrong sejatinya tidak ada hal yang saklek mengenai makna cinta. Hal ini bukan karena cinta itu digambarkan seperti Tuhan yang misterius dan subtil hingga tidak dapat terlukiskan oleh kata-kata. Namun hal ini dikarenakan cinta merupakan hal yang tematis. Terlepas entah kepercayaan mana yang ingin kita anut mengenai makna cinta, kita harus tetap konsisten. Hal ini dalam artian bila ada memercayai jika ada “orang yang tepat” maka carilah hingga dapat. Jika anda memercayai bahwa cinta itu diupayakan karena sejatinya tidak ada orang yang benar-benar sempurna maka temukanlah pasangan yang setidaknya kadang-kadang cukup simpatik dan cukup tertarik serta pengertian asalkan mereka tidak sedang mengalami hari yang sulit.