Mohon tunggu...
Aini Lutfiyah
Aini Lutfiyah Mohon Tunggu... lainnya -

Less is More

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ocean of Love – Namaku Berlin

7 Mei 2010   05:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:21 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“ Jangan lupa pakai penutup kepala, ya.” Beberapa kali Mustapha berpesan itu setiap kali ia mengatakan niatnya untuk mengajakku ke Taman Kanak-Kanak tempat ia mengajar. Tidak masalah buatku. Aku ke Yogyakarta ini membawa beberapa penutup kepala. Sengaja aku memakai penutup kepala menggunakan syal berbentuk segitiga dan aku ikat di bawah dagu.

“ Cantik”. Komentar Mustapha.

“ Thank you…” Kataku sambil mencium pipi Mustapha, kena..

“ Ann, tidak boleh…..” Mustapha agak menjauh.

“….Ayo berangkat.” Sambungnya. Tangannya menggandeng tanganku. Sampai di samping mobil Mustapha kembali menatapku. Perlahan ia mengecup keningku.

“ Kalau kening boleh, ya?” Pertanyaanku lebih bernada protes. Tadi aku sempat tidak enak hati saat mencium pipinya.

“ Tidak boleh juga…” Sahut Mustapha sambil cepat-cepat mengajakku masuk. Kepalanya menunduk.

Mobil melaju ke arah utara Yogyakarta. Agak masuk juga letak sekolah tempat Mustapha mengajar, mungkin termasuk sekolah alam. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Mustapha mengajar musik setelah anak-anak mandi sekitar jam 10.30.

“Kak Mustaphaaaaaa……..!” Anak-anak berlarian menuju kami yang baru saja parkir. Wah, penggemar Mustapha disini banyak sekali, anak-anak itu…

“ Kak, itu siapa ?” Tanya salah satu anak menunjuk ke arahku yang masih tercengang dengan tingkah anak-anak itu.

“ Itu Kakak Ann, calon istri Kak Mustapha.”

“ Ahaa, girl friend? Hihihiii….” Anak itu menggandeng tanganku. Ia masih tertawa terkikik. Tiba-tiba ia menarik tanganku memintaku untuk berjongkok.

“ Namaku Berlin, aku suka musik.” Matanya seperti tersenyum.

“ Nama yang bagus.” Kataku sambil aku usap kedua pipinya. Mustapha yang sudah sampai di halaman sekolah melambaikan tangannya ke arah aku dan Berlin.

Tiba-tiba daridalam sebuah ruangan seorang anak perempuan berlari ke arah Mustapha yang tengah bermain dengan anak-anak di ayunan. Anak itu dikejar oleh dua orang guru. Beberapa guru yang melihatnya menutup wajah mereka.

“ Cindy, pakai baju dulu…..” Teriak guru yang mengejar anak itu. Anak itu terus berlari ke arah Mustapha. Ya, benar anak itu masih belum memakai pakaian satupun. Talc belepotan di tubuh dan wajahnya. Anak-anak di dekat Mustapha ia dorong lalu ia naik ke pangkuan Mustapha. Mustapha terlihat agak gugup entah karena ulah anak itu atau karena tatapan dari para guru yang tadi menutup wajah mereka.

“ Itu Cindy, ayahnya dokter seperti ayahku. “ Kata Berlin.

“….Beberapa teman perempuanku di kelas musik ingin menikah dengan Kak Mustapha kalau sudah besar, padahal kan Kak Mustapha Cuma satu, hihiihiii….Kalau temanku Fernando tidak mau potong rambut. Rambutnya Fernando panjang sebahu. Ia ingin seperti Kak Mustapha.” Lanjut Berlin. Tangannya masih erat menggandeng tanganku.

“ Oh ya ?” Cuma itu yang keluar dari bibirku. Berlin mengangguk-angguk.

Kami berjalan sambil masih terus memperhatikan Cindy. Aku lihat akhirnya guru-guru itu menyerah memakaikan pakaian Cindy di pangkuan Mustapha karena Cindy tetap tidak mau turun dan justrumemeluk kepala Mustapha sambil menjerit-jerit. Mustapha ikut membujuk namun tidak cukup membantu.

Aku diperkenalkan Mustapha pada guru-guru yang ada disitu. Mereka semua ramah. Mereka mempersilahkan aku untuk menunggu Mustapha di gazebo atau boleh juga di perpustakaan. Aku memilih ke perpustakaan karena dekat dengan kelas musik Mustapha.

Di perpustakaan ada beberapa guru disitu…..Oh, bukan mereka para mahasiswi Sekolah Guru TK. Mungkin mereka sedang mencari bahan-bahan kuliah atau daftar pustaka untuk tugas-tugas mereka. Beberapa dari mereka mencuri-curi pandang ke arahku. Aku buka album besar di dekat rak buku.Emm, foto-foto perpisahan, kegiatan-kegiatan anak, dan kegiatan para mahasiswi sekolah guru TK. Ada gambar Mustapha tengah mengiringi para mahasiswi bernyanyi, bibir Mustapha tersenyum. Aku letakkan kedua jariku ke bibir lalu aku sentuhkan ke bibir Mustapha di gambar itu. Ada suara terkekeh dari kerumunan para mahasiswi itu. Ah, biar saja….

Aku menuju ke arah rak buku besar. Kelihatannya buku-buku di rak itu satu judul, Toto Chan. Jumlahnya banyak sekali.

“ Itu bacaan wajib guru-guru di TK ini’. Jawab penjaga perpustakaan. Pantas saja jumlahnya tidak seperti buku-buku lain. Raknya pun disendirikan.

“ Bawa saja”. Penjaga perpustakaan itu menolak kartu identitasku yang aku sodorkan padanya.

“ Iya, bawa saja”. Katanya lagi meyakinkanku.

“ Kalau hilang atau tidak aku kembalikan, bagaimana ?”

“ Heheeheee, Mustapha Alchemy biar menggantinya. Itu kalau ia mau menggantinya, heheee..”Aku mengangguk-angguk pura-pura paham padahal aku bertambah bingung dengan penjelasannya.

Dari jendela kelas musik aku melihat Mustapha dikerumuni anak-anak. Beberapa nada terdengar fals karena anak-anak itu ikut memencet tuts-tuts yang Mustapha mainkan. Berlin tampak berdiri di sisi Mustapha, ia siap menyanyi namun teman-temannya tidak mau berkompromi. Guru-guru pendamping ikut sibuk menenangkan anak-anak itu. Cindy……Ah, anak itu sibuk membelai-belai rambut Mustapha.Mungkin ia yang melepas tali rambut Mustapha.

Kelas berhasil dikuasai. Berlin menyanyi matanya bersinar seakan-akan sedang berbincang dengan seseorang. Ia menyanyi lagu twinkle-twinkle little star. Aku minta izin untuk ikut masuk ke dalam kelas dan duduk di kursi belakang. Mustapha tersenyum ke arahku. Berlin selesai menyanyi. Ada bunyi nada berbeda, Mustapha menyelipkan intro lagu Endless Love sebelum anak-anak menyanyikan Anak Gembala. Para guru di kelas itu melirik ke arahku. Aku menunduk.

Pulang dari TK, Mustapha mengajakku ke Kampus Seni di selatan Yogyakarta. Para mahasiswa-mahasiswi di situ tampak eksentrik.

“ Dari cara berpakaiannya, bisa ketahuan mereka kuliah di jurusan apa…” Kata Mustapha.

“ Kok bisa ?” Tanyaku heran

“ Bisa aja.” Jawab Mustapha singkat. Aku nyengir…

“ Kita ke Rektorat.”

“ Memangnya kamu akan bertemu Rektor kampus ini ?”

“ Studio radio kampus ada di gedung Rektorat lantai 3. Aku ada perlu dengan temanku, Danny.”

Aku mengikuti langkah Mustapha menuju lift. Lantai 3 Rektorat cukup ramai. Aku dikenalkan dengan yang ada disitu. Ada Bella, Eva, Seth, Barqui, Hans Erdogan….Aku tidak bisa menghafal nama-nama mereka semua.

Mustapha tampak berbincang akrab dengan Danny. Sementara aku ditemani ngobrol Hans Erdogan. Beberapa kali Hans meminta maaf untuk membuka sms, kakanya akan berkunjung ke Yogyakarta bulan ini.

“ Ann, sudah ?” mustapha menghampiri aku dan Hans.

“ Iya, ayo Hans….Thanks sudah ditemani”. Aku menepuk punggung tangan Hans.

“ Iya Kak, sama-sama..” Hans tersenyum. Kali ini ia mengangkat ponselnya, kakanya menelpon.

“ Ngobrol apa tadi dengan Hans, kaya’nya seru banget…” Tanya Mustapha sambil kami menuju ke tempat parkir.

“ Dia baru saja ambil cetakan foto. Fotonya bagus-bagus. Ada foto ia waktu masih kecil di desa, juga ada foto-foto pementasan dia. Aku suka foto Hans yang memakai kain merah putih dengan seekor elang di tangan “. Mustapha terlihat setuju dengan ucapanku.

“ Kenal Danny, dimana ?” Tanyaku ketika kami sudah on the way.

“ Saat acara pameran lukisan di Lembaga Indonesia – Perancis. Temanku yang pelukis ternyata teman dia. Danny juga kuliah sambil kerja. Ia jadi penyiar tapi ngga di radioku..”

“ Lha, terus tadi nemuin dia urusan apa ?”

“ Urusan pria…..”

‘ Halah…..” Mustapha tergelak mendengar ucapanku terakhir.

‘ Eh, Ann. Danny sudah menikah lho..”

“ Masih kuliah sudah menikah ?”

“ Ya, istrinya anak jurusan Seni Tari.. kamu pengen ngga?”

“ Maksudmu kamu mau mengajakku menikah ?”

‘ Cuma tanya, mau ngga?”

“ Mau.” Jawabku pelan, serius. Mustapha justru tertawa keras.

‘ Iya, someday kita menikah !” Janji Mustapha.

“ Kenapa tanya sekarang ?”

“ Mau tahu reaksimu saja. Tadi di sekolah kamu akrab banget dengan Berlin”.

‘ Berlin anak yang cerdas “.

“ Berlin memang istimewa. Guru lain juga berpendapat demikian”.

‘ Kalau kita menikah, punya anak. Akan aku beri nama Berlin…” Kataku disambut tawa Mustapha. Kali ini tawanya pelan sambil ia memegang tanganku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun