[caption id="attachment_209387" align="alignleft" width="300" caption="Kain-Kain Seragam Siap Dijahit(Dok.Pribadi)"][/caption]
Saya sempat tertawa saat membaca novel Maryamah Karpov karya Andrea Hirata mengenai Ayahnya yang begitu membanggakan seragam yang dipakai oleh puteranya saat kuliah sambil bekerja di Perancis. Tidak soal mengenai status dibalik seragam yang dipakai, yang penting telah memakai seragam.Ini adalah cerita mengenai Ayah yang sangat membanggakan seragam.
Ada cerita lain lagi mengenai seragam ini yaitu dalam kehidupan Richard Feynman, Fisikawan yang dapat menjelaskan penyebab meledaknya pesawat ulang-alik Challenger pada tanggal 28 januari 1986 dengan eksperimen sederhana. Ayah Feynman bekerja di perusahaan penjual baju seragam. Pada saat Feynman masih kecil Ia menunjukkan gambar Paus dan orang-orang yang membungkuk padanya. Baginya seseorang yang berseragam maupun yang tidak berseragam adalah manusia yang sama, yang membedakan hanyalah topi yang dikenakan. Ini adalah cerita mengenai Ayah yang tidak terlalu membanggakan seragam.
Bagi saya seorang Guru di Taman Kanak-Kanak yang dapat dikatakan masih konvensional, seragam juga memiliki cerita tersendiri dan saya pikir pasti penentu kebijakan masalah seragam ini tidak mau tahu dengan aktivitas seorang Guru Taman Kanak-Kanak yang dituntut untuk selalu gesit dan cekatan dalam menangani anak usia dini.
Bayangkan dalam satu pekan seragam kami disamakan dengan seragam tenaga kependidikan yang setiap hari menghadapi kertas-kertas padahal yang kami tangani adalah makhluk-makhluk Tuhan yang mungil dan selalu aktif. Kami mencoba berkreasi dengan menjahitkan kain yang ada dengan model celana panjang agak longgar dijamin akan mendapat teguran dari kantor Dinas.
Sesuai amanat dalam UUD 1945, mendidik setiap warga negara adalah kewajiban dari pemerintah. Kita bersyukur banyak yayasan dan juga persyarikatan yang kemudian ikut meringankan tanggung jawab pemerintah dalam upaya mencerdaskan putera-puteri bangsa. Sudah selayaknya juga kemudian pemerintah membuat kebijakan yang lebih lunak terutama masalah seragam Guru Taman Kanak-Kanak ini.
[caption id="attachment_209397" align="alignright" width="248" caption="Seragam Hari Senin(Dok.Pribadi)"][/caption]
TK-TK konvensional seperti TK tempat saya berkarya bagaikan langit dan bumi dengan TK Full Day School milik yayasan besar yang berani mengambil kebijakan sendiri dalam masalah apapun termasuk masalah seragam. TK konvensional tergolong penurut. Kebijakan apapun dari Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah selalu diterima dengan tangan terbuka, bahkan kebijakan putar balik kurikulum kami ayo saja. Dan saya yakin TK konvensional yang penuh keterbatasan inilah yang ada di setiap pelosok penjuru negeri ini.
Dengan mata-mata bersinar cemerlang penuh rasa ingin tahu yang menjadi asset negeri ini dari para peserta didik, keterbatasan fasilitas, honor Guru yang harus ditabung dulu selama 3 bulan baru dapat digunakan untuk membeli baju atau tas yang lumayan bagus, kami memiliki semangat yang sama dengan para Guru di TK-TK Full day School. Kami pun ingin dapat bergerak dengan gesit dalam memanfaatkan berbagai hasil alam yang ada di sekitar sekolah untuk pembelajaran. Kewajiban Guru Taman Kanak-Kanak untuk berseragam mengenakan rok sempit dan sepatu berhak rasanya tidak elok untuk kami kenakan saat belajar di kebun , sawah, atau tanah lapang. Namun sayangnya,sesuai jalur kebijakan yang ada, kami tidak bisa berubah tanpa adanya kebijakan baru yang mengizinkan kami untuk berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H