Mohon tunggu...
Aini Lutfiyah
Aini Lutfiyah Mohon Tunggu... lainnya -

Less is More

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Laskar Pelangi 2-Edensor : Ketika Hidup Harus Datar dan Terus Mengalir

10 Januari 2014   16:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:57 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13893479101960224713

[caption id="attachment_315032" align="alignleft" width="300" caption="Sorbonne (image :www.muvila.com)"][/caption] Saya harus memilih satu dari dua film ketika akan menontonnya.Laskar Pelangi 2 Edensor atau 99 Cahaya di langit Eropa. Tiga sahabat saya memilih 99 Cahaya dan masuklah saya sendirian. Sudah membaca bahwa film tersebut datar saja tanpa klimaks-antiklimaks tapi bukankah seperti itu pula novel laskar pelangi? Novel bertutur, menurut saya. Apalagi di novel Maryamah Karpov. Akan sangat bagus kalau dibuat film animasi lengkap dengan para bajak laut, ha ha...maaf. Kesan saya, tidak salah..memang datar. Konflik sangat minim karena yang ada adalah konflik dalam rumah antara Arai dan Ikal ketika hubungan Ikal dan Katya membawa dampak buruk pada nilai Ikal. Sangat Indonesia karena nilai menjadi tolok ukur kesuksesan akademis namun jika itu pun berimbas pada hal yang lain tentu itu tidak seharusnya. Tidak ada perseteruan antara si gadis USA dan British, tidak ada pula perjalanan yang berakhir di Spanyol ketika Ikal dan Arai merasa harus mengibarkan bendera merah putih untuk kemenangan mereka menjelajah Eropa sebagai bakpacker. Hal yang ada adalah Katya yang manis dan penuh perjuangan menyesuaikan dengan Ikal yang ia cintai.Tidak ada kata wow! dari segi teknis sebuah film karena film itu adalah lanjutan mimpi dan saya pun tinggal melanjutkan untuk menikmatinya. Mimpi yang membawa inspirasi tentu saja. Hanya saja sangat beruntung Lukman Sardi masih ada di film ini. Selesai menikmati Laskar Pelangi, saya kembali ke loket untuk bisa menonton 99 Cahaya di Langit Eropa. Lumayan masih ada tempat duduk dan saya sudah terlambat 30 menit. Jika sebelumnya saya diajak bermimpi ke Perancis, disitu saya dibangunkan untuk mengingat kembali buku pelajaran sejarah peradaban Islam. Hal yang saya cari memang tidak ada disitu, namun masih ada kata-kata yang sampai detik ini kuat dalam ingatan saya yaitu All you can eat, pay as you wish. Kapan kita disini bisa mengerem apa yang kita sukai dan inginkan dan ketika jujur sudah terinternalisasi dalam hidup kita sehari-hari.Dimanapun. Kapan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun