Mohon tunggu...
Aini Lutfiyah
Aini Lutfiyah Mohon Tunggu... lainnya -

Less is More

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan Harian May 6, 2010

8 Mei 2010   01:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:20 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dua peristiwa yang terjadi dan ini berkait erat dengan kehidupan saya secara pribadi. Pertama adalah membuat keputusan besar tentang dimana kartu tanda penduduk yang telah selesai masa berlaku pada tanggal 2 Mei 2010 kemarin dan peristiwa saya keracunan obat sakit diabetes yang seharusnya diperuntukkan bagi Ibu saya. Peristiwa pertama tentang tanda penduduk. Saya berniat tahun ini akan mengakhiri masa sendiri saya, menikah. Memang ada masalah karena belum ada teman pria yang melamar saya ke rumah. Berbekal yakin dan Bismillah bahwa Tuhan Maha Kuasa saya tidak ragu untuk membuat keputusan ini. Bismillah.... Niat ini ternyata berdampak pada keputusan dimana saya akan membuat kartu tanda penduduk. Sejak akhir April 2004 saya bekerja di daerah Kabupaten K, Jawa Tengah. Bukan daerah asing bagi saya karena Ibu saya juga berasal dari Kabupaten ini. Paman dan Bu Dhe saya ada di Kec. S, Kabupaten K. Saya yang memiliki KTP Kabupaten B sering kali menjadi masalah bagi pihak sekolah saat ada pendataan guru baik yang murni untuk pendataan atau ada kaitan dengan kebijakan pemberian tunjangan. Saya pun mau tidak mau berniat merubah domisili saya di kartu Tanda Penduduk. Saya berniat akan mengajukan permohonan pindah Kabupaten untuk urusan kerja. Ada dua pilihan, tertulis sebagai keponakan di dalam kartu keluarga keluarga Ibu dan otomatis saya akan mendapat KTP sebagai warga Kec. S atau saya mencontoh teman kos saya, sebut saja SDA dengan cara membuat kartu keluarga sendiri dengan menggunakan alamat kos sebagai tempat tinggal. Otomatis saya akan memiliki KTP dengan domisili kecamatan sama dengan sekolah saya. Ini tentu lebih enak bagi saya dan sekolah tapi bermasalah dengan keluarga saya karena logikanya di Kabupaten ini saya memiliki kerabat mengapa justru memutuskan untuk hidup sendiri dan terpisah dengan keluarga saya. Saya kembali teringat resolusi saya awal tahun ini, saya berniat akan menikah tahun ini. Bagaimana kira-kira proses pernikahan saya kalau saya memutuskan untuk pindah domisili ? Ada pelajaran dari SDA yang akan menikah akhir tahun ini dan teman kos lain yang telah menikah beberapa bulan lalu, Ia berasal dari Lampung, sebut saja ES. ES merubah domisili di KTP menjadi warga Kabupaten Bantul Yogyakarta. Otomatis Ia menikah di daerah itu. Urusan panjang sekali meski Ia tercatat sebagai keponakan dari paman dan banyak keluarga besar ayahnya yang tinggal di daerah Bantul. Ribet urusan surat-surat yang dibutuhkan sebagai syarat menikah belum lagi urusan segala keperluan untuk pesta pernikahan. Melihat permasalahan yang dihadapi ES kemungkinan besar akan saya hadapi juga kalau saya nekat memutuskan bergabung di keluarga besar Ibu saya Kec. S saya memutuskan tidak akan mengambil langkah yang telah diambil oleh ES. Memang itu keputusan terbaik untuk ES tapi menurut saya tidak terbaik untuk saya. Rencana kedua adalah mengikuti langkah yang diambil oleh SDA. Ia memutuskan untuk pindah domisili dan membuat kartu keluarga sendiri. Kalau menikah saya harus menikah di kos-kosan atau saya mengajukan surat pindah domisili lagi ke desa awal saya.. Ah, saya tidak mau terlalu merepotkan diri saya dan perangkat desa saya untuk membuat surat pindah dua kali dalam satu tahun. Rencana ini pun gugur. Saya memutuskan untuk  tetap menjadi warga di desa.Niat untuk hal apapun memang menjadi kunci dan itu telah membuat saya mengambil keputusan ini. Whatever will be... Hidup ini milik saya. Kodrat saya sebagai perempuan adalah sebagai partner suami dan mendidik anak-anak. Kerja, karier sama pentingnya dengan kehidupan pribadi saya tapi saya tidak akan menunda waktu lagi dengan memperpanjang masa sendiri saya berapapun uang yang yang akan diberikan pada saya. Peristiwa kedua adalah saya keracunan obat diabetes. Keluarga saya tinggal di desa, masih memiliki budaya komunal. Satu orang sakit maka para tetangga mengetahuinya dan biasanya mengusulkan obat yang sebelumnya pernah menyembuhkan seseorang dengan sakit yang sama. Begitu juga yang terjadi pada Ibu saya. Satu bulan ambruk, sekarang begitu telah sembuh dan dapat beraktivitas lagi sebagai guru taman kanak-kanak, usulan-usulan obat pun kami terima dan yang menarik perhatian kami sekeluarga dan karena tawaran itu bertubi-tubi kami terima tanpa bisa kami cegah. Kakak perempuanku membeli obat itu, sebut saja bermerk GC. Obatnya kecil, orang-orang yang kadar gulanya sampai 500 pun sembuh gara-gara obat itu. Luar biasa sekali ! Saya pernah cek gula darah tepatnya sepulang dari PLPG di kampus UNNES. Gula darah saya 154, seharusnya 150 saja kata Mba yang ada di apotik. Melihat obat GC yang mungil dan saya berada diantara percaya atau tidak percaya, saya ambil obat itu satu butir dan saya minum. Setelah itu saya tiduran untuk merasakan efek obat itu di tubuh saya. Saya memiliki teman anak apotik dan tidak pernah mengusulkan merk obat ini saat Ibu ambruk. Ah, siapa tahu teman apotik itu lupa atau memang menyuruh saya untuk membeli obat yang mahal saja biar obat itu laris. Jadi dia tidak pernah mau mengungkit-ungkit tentang obat hebat ini.... Saya tertidur tapi apa yang terjadi setelah saya terbangun ? Saya seperti Anggun di iklan salah satu produk susu. Tangan kiri dan dua kaki saya serasa tidak ada. Untuk membuka tutup kran saat akan mengambil air wudhu pun tidak bisa. Kaki saya seperti kurus sekali dan tidak bisa menyangga tubuh saya. Saya pun sholat sambil duduk dan saya tidur lagi. Saya tidak berdaya padahal susu pun sedang habis, saya belum beli lagi. Saya pun tidak membawa pulang susu sachet .Kakak dan Ibu panik, tapi sudahlah saya cuma butuh tidur. Toh, efek ini akan segera hilang. Benar saja setelah saya terbangun, tangan kiri dan kedua kaki saya pelan-pelan sudah bisa bergerak wajar dan berangsue pulih. Alhamdulillah..... Ibu pun sepertinya berpikir ulang untuk meminum obat itu setelah melihat reaksi obat itu di badan saya. Ah, ingin rasanya meminta maaf pada teman apotik saya di kos. Pantas saja ia tidak mengusulkan obat ini waktu Ibu ambruk dulu. Obat yang ia usulkan meski mahal memang lebih aman... Dua peristiwa yang saya pikir patut saya tulis untuk saya ambil pelajaran...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun