Awan tipis itu mulai tersibak. Kembali menampakkan sebuah senyuman indah sang rembulan. Aku mulai menghisap rokok ke-2 ku.
"Hei, Bul! Gue serius sekarang. Lo beneran nggak bosan jadi bulan? Maksud gue lo terus berubah sama bentuk lo yang itu- itu aja siklusnya sama, teratur, terjadwal. Apa lo nggak mau request sama Tuhan buat berubah bentuk gitu?"
Kali ini gumpalan awan tebal kini menutup total senyum misterius itu.
"Okey...okey!!! Lo diciptain ama Tuhan tanpa emosi, tanpa nafsu, hanya ada ada rasa patuh dan hormat buat lo terus ibadah sama Tuhan. Tapi gue gimana, Bul?!"
Awan tebal masih saja menyembunyikan kecantikan senyum bulan diatas sana.
"Gue diciptain dengan emosi! Dengan nafsu! Dengan otak dan pikiran rumit ini! Gue pusing harus ini tapi nggak boleh itu! terus-terusan dapet tekanan sana sini! Dapet masalah ini-itu! Ditumpuk terus menerus! Gue capek, Su! Gue pingin nyerah! Gue pingin ngilang dari dunia ini!"
Agghhh! Aku kembali mengacak rambutku, membanting rokok keudara. Abunya berterbangan berwarna merah lantas menghilang. Angin yang tadinya terasa dingin kini terasa gerah.
Aku mendongak, awan tebal itu terus bergerak. Namun, dia sama sekali tidak mau menampakkan bulan itu padaku.
"Lo juga, Bul! Lo udah bosan denger cerita gue, heh?"
Sunyi, hanya ada suara klakson dan sirine ambulance dibawah sana.
"Bul, gue boleh nanya ke elo kan?"