Mohon tunggu...
Arif F Lazuardi
Arif F Lazuardi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

"De mens wikt, maar God beschikt." Pepatah dari Nederland ini terucap pula dalam naskah pidato nawaksara Bung Karno (menggunakan redaksi sedikit berbeda) yang bermakna, "Manusia berencana, tapi Tuhan yang menentukan." - pada makna itulah aku berjuang -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Wanita Telanjang

18 Agustus 2011   23:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:39 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mau apa kau setelah ini, membajak sawah, bercocok kebun, dan memasrahkan kulitmu yang langsat itu untuk disengat terik mentari? Cobalah kau ke kota, kau akan dapatkan semua yang kau inginkan,” ujar Slamet, teman sepermainanku waktu kecil.

“Dia dulu itu preman desa ndhuk, jangan mudah percaya dengan yang dikatakannya, hidup di kota itu penuh bahaya. Kejam. Nanti kau lupa dirimu, bahwa kau adalah gadis desa!” sergah Bapakku, agar tak pergi dari desa. Tapi aku bergeming, aku tetap bersikeras pergi ke kota, aku ingin segala harapan yang sudah kupendam lama-lama menjadi kenyataan. Aku, Anita, akan menjadi wanita yang sempurna dan membuat orang lain terpana melihatku.

****

Sinar mentari masih malu tersipu menunjukkan keelokannya, tapi waktu tak mau kompromi. Dengan sedikit paksaan embun yang mencair dan kicauan burung pipit di rimbun dedaunan. Sinar itu pun muncul juga, membawa kebahagiaan dan harapan bagi setiap orang.

Di atas buaian kasur yang menemaniku semalaman, aku ragu untuk membuka kelopak mata. Kalau bukan karena belaian lembut sinar mentari yang memaksa menerobos masuk lewat celah tirai jendela. Aku pasti masih terlelap, hingga tak sempat merasakan desiran angin pagi.

Tapi di hari itu, segalanya akan berubah. Aku tak lagi ragu untuk segera berjaga, karena hari itu adalah awal dari segala cita yang selama ini kupendam dalam. Kalau saja masih bermalasan, pupus sudah segala harapan, aku tak kan pernah mewujudkanya.

“Jadi anak itu harus terus bersemangat dalam mengejar harapan. Dengan bangun tidur sepagi mungkin, impian itu semakin dekat, semakin nyata di depanmu ndhuk,” begitulah nasihat Bapakku beberapa tahun silam, sebelum aku meninggalkan desa.

Hidup di tengah kota metropolitan tak seindah yang kubayangkan, apalagi bagi seorang gadis desa yang hanya memegang ijazah SMU. Untung saja, aku bertemu dengan orang baik di kota, Pak Bejo, begitu aku memanggilnya. Meskipun tidak separlente yang kubayangkan ketika di desa. Paling tidak, aku aman dari dinginnnya angin malam dan perihnya lambung yang seperti ditusuk pisau dari delapan penjuru mata angin.

Di kota, aku memulainya dari bawah, dengan hanya berbekal ijazah SMU dan parasku yang ayu. Aku bekerja di salah satu toko di tengah metropolitan sebagai sales promotion girl. Dan nasib baik sudi bertamu, tak lebih dari 8 bulan bekerja, Aku sudah dipromosikan oleh bos sebagai sekretaris di perusahaan yang menaungi toko tersebut. Sekretaris pribadi si bos tentunya.

“Anita, kamu memiliki bakat yang luar biasa. Tinggal dipoles sedikit saja. Kamu akan menjadi wanita yang sempurna,” begitu kiranya pujian si bos padaku. Kurang lebih empat bulan aku banyak menerima ilmu dari si bos. Dari kursus kecantikan, perawatan tubuh, perawatan wajah, hingga bagaimana menjadi sekretaris yang dapat menyenangkan si bos.

Aku memandang kalender yang tertempel di samping meja rias kamarku -oh tidak- lebih tepat disebut kamar Pak Bejo, yang saat ini aku tempati. Di kalender tersebut tertera tanggal 28 Pebruari yang dilingkari dengan coretan tinta merah, tanggal di mana, 20 tahun silam aku hadir di dunia, menambah corak warna di desa terpencil.

“Aku harus tampil beda hari ini. Sudah waktunya untuk membuat orang lain terpana melihat penampilanku,” ujarku dalam hati ketika berkaca sembari merapikan rambut yang acak-acakan akibat buaian kasur semalam.

Aku memutuskan untuk membuat kejutan pertama kali ini pada si bos. Karena aku merasa berhutang budi padanya. Kalaulah bukan karena si bos, maka aku tak akan menjadi Anita yang seperti sekarang ini.

Pak Bejo, yang usianya separuh usiaku lebih 5 tahun. Kaget bukan kepalang, melihat dandananku yang menor itu. Darah mudanya pun berdesir, seraya berdecak dan menelan ludah pelan-pelan ia bertanya padaku:

“Dik, ngapain kamu berdandan seperti itu?” Dengan senyum simpul aku menjawab. “Bos sudah terlalu baik sama Anita. Sudah saatnya sekarang Anita membuat dia bahagia, paling tidak dia senang melihat dandananku.”

Sesuai prediksi. Di kantorsi bos tersenyum-senyum sambil matanya jelalatan melihat dandananku. Tak sesenti pun ia lewatkan dari tubuhku, ia sisirkan pandangan dari atas ke bawah, hingga ia terhentak kaget ketika aku menyapanya.

“Pagi bos, kaget ya ngelihat Anita seperti ini. Sengaja saya berdandan seperti ini, biar si bos senang. Bos sudah terlalu banyak memberi perubahan pada Anita,” ujarku.

Tapi, niat baik gadis lugu dari desa tak setepuk tangan. Si bos mengira bahwa sudah saatnyalah, ia memetik buah hasil tanamannya sendiri. Sore itu si bos memasuki ruanganku. Dan tanpa disangka, tangan si bos langsung menjarahi tubuhku. Tersontak, aku melawan, tapi kuasa tak bersudi.

“Bukankah ini yang kamu inginkan Anita, aku sudah menunggu lama saat-saat ini,” ujar si bos seraya membuka paksa satu persatu baju yang kupakai.

Akhirnya malam pun tersedu. Bulan murung ditemani gelapnya awan yang memayungi kota. Bintang enggan untuk mengintip raungan angin yang menggelayut manja di ruangan sekretaris pribadi si bos. Aku tergolek lesu dengan baju acak-acakan. Aku bingung. Tak tahu lagi mana bahagia mana petaka. Mahkota yang selama ini kurawat, koyak begitu saja. Rasa benci menyelinap di dada. Aku benci si bos, kota, kecantikan, kebahagiaan.

Tapi aku ingat Pak Bejo. Dulu di kala aku susah, pak Bejo datang menjadi dewa penyelamat. Mungkin inilah saat yang tepat untuk mengadukan nasibku. Lantas, aku mulai bangun, memupuk semangat dan motivasi untuk mencari kebahagiaan yang sejati. Dengan semangat membara aku berjalan limpung ke rumah pak Bejo.

“Kenapa kamu dik? Apa yang terjadi sama dik Anita,” tanya pak Bejo sambil tergopoh-gopoh membantuku masuk ke dalam rumah. Di rumah pak Bejo, aku merasa lebih nyaman. Pak Bejo sudah kuanggap seperti ayah sendiri, walau pak Bejo tetap bersikeras untuk dianggap sebagai seorang kakak. Tapi, pautan usia antaraku dengannya, membuatku segan untuk menganggapnya kakak.

“Nggak ada apa-apa pak Bejo, semua baik-baik saja kok,” terangku sambil menahan isakan air mata. “Ah nggak mungkin, matamu yang merah itu, tak dapat menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Kau jangan ragu, ceritakanlah semua padaku, mungkin aku dapat membantumu.”

Aku sangat yakin sekali pak Bejo dapat membantuku bangkit kembali dari permasalahan ini. Setelah aku berkeluh kesah panjang lebar. Dengan dengusan nafas yang melengos panjang, pak Bejo pergi ke belakang rumah dan kembali ke hadapanku dengan membawa segelas air putih.

Sial, tak lama setelah kuminum air itu, aku merasa ditimpuk beban seberat 100 kg.

Aku pusing dan linglung, dan melihat seringai pak Bejo yang terpecah menjadi lima, tidak! enam wajah yang mengitari tubuhku. Dan aku mulai merasakan tangan pak Bejo, yang secara perlahan melucuti pakaianku, hingga pertahanan terakhir yang aku pakai. Lantas ia pun mulai menggelayuti tubuhku satu-persatu. Dari gundukkan daging yang kumiliki hingga lembah istimewa milikku. Dan aku tak mampu berbuat apa-apa, aku lemas, dan hanya mampu menangis dalam hati meratapi nasib ini.

“Dasar wanita lugu, coba kau tak melintas di hadapanku tadi pagi. Mungkin hal ini tak kan terjadi, sudah lama memang kusimpan dalam-dalam nafsuku, tapi kau yang mengundangnya terlebih dahulu,” celoteh pak Bejo ketika melemparkanku keluar dari mobil dan menelantarkan tubuhku di jalan.

Setelah sekian lama aku terbaring di jalan itu, perlahan kesadaranku mulai pulih. Dan aku semakin bingung, tak tahu lagi makna bahagia atau petaka. Lantas aku membenci semuanya, benci si bos, kota, kecantikan, kebahagiaan, juga pak Bejo. Tapi, aku adalah gadis desa, yang tak mudah patah arang. Aku akan cari kebahagiaan itu, walau sampai ke negeri orang. Maka, aku pun meneruskan kisah hidupku ke kota lain, agar aku mampu mewujudkan harapan yang tak kudapat di kota pertama aku singgah.

Di gerbang masuk menuju kota Tentram, aku mulai optimis, pasti setelah ini aku mendapatkan yang kuinginkan. Aku berjalan sendirian sepanjang jalan, di kanan kirinya dipagari pepohonan yang menjulang tinggi. Sesaat sebelum aku sampai di pintu gerbang kota tersebut. Lima pemuda bersepeda motor melintas di sampingku dan mengerem mendadak ketika melihat diriku berjalan sendirian dan tentu saja, aku masih berpakaian yang sama ketika tragedi si bos dan pak Bejo menimpa diriku.

“Bisakah aku meminta tolong pada kalian untuk mengantarku sampai di kota itu,” pintaku.

Lima pemuda itu pun cengengesan bukan kepalang, gayung pun menyambut dengan baik. Aku diboncengnya masuk ke dalam kota. Dan mampir di suatu gedung kosong. Di situlah tragedi menimpaku kembali. Lima pemuda menikmati tubuhku satu persatu sehari semalam. Dan aku, lagi-lagi tak mampu berbuat apa-apa. Setelah para pemuda puas akan nafsu hewannya, mereka meninggalkanku begitu saja di gedung tersebut.

Bukan main lemasnya aku saat itu, dan aku yakin bahwa bahagia saat ini tak ada bedanya dengan petaka. Kemudian sesosok pria berbadan tegap menghampiri dan menanyai apa yang terjadi. Ternyata dia seorang penegak hukum kota tersebut. Lantas, aku menceritakan semuanya dengan tersedu-sedu. Dalam hitungan jam, kelima pemuda tersebut ditangkap. Si polisi baik hati itu menyuruhku untuk membersihkan diri dan tinggal sementara di kantornya, sedang ia mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kelima pemuda tersebut.

“Ternyata pemuda-pemuda itu masih anak sekolahan, kau tenangkan saja dirimu, di kota ini akan kau dapatkan kebahagiaan dan keadilan,” hibur pak polisi sambil menyerahkan baju pengganti untukku.

Di ruang lain, tepatnya di sebelah ruangan yang kupakai untuk berbenah diri, aku mencuri dengar percakapan polisi dengan seorang yang tua. Aku intip sedikit dari celah pintu yang terbuka tak lebih dari 5 cm. Seorang laki-laki botak berjas dan berdasi putih berbicara santai dengan si polisi. Tak lama kemudian, pak tua tersebut mengeluarkan uang merah segepok dan menyerahkan pada pak polisi seraya berkata:

“Sudahlah kau urus semua, jangan sampai kejadian anakku ini menurunkan harkat martabatku di depan masyarakat kota Tentram. Dan kalau peristiwa ini berhasil kau lenyapkan tanpa seorang pun yang mengendusnya, terutama para wartawan. Jabatanmu akan kunaikkan.”

“Siap Pak,” timbal polisi tersebut gagah dengan menghormat.

Aku shock mendengar kalimat tersebut, aku terpaku di belakang pintu beberapa saat. Dan mulai sadar kembali ketika pak polisi masuk membuka pintu dan melihatku dalam posisi bingung. Aku terhenyak ketika melihat tatapan polisi pada diriku.

Oh, ternyata aku lupa belum berganti busana setelah mandi. Handuk putih melilit tubuhku dari dada hingga di atas paha. Di handuk bagian atas menyembul dua buah gundukan yang sering membuat kalap pria, sedang handuk bagian bawah menyajikan paha yang mulus langsat. Pak polisi pun lupa akan seragamnya. Dan dengan gerakan yang sangat cepat, handuk yang kupakai terlempar ke belakang. Lalu, kejadian itu pun terulang kembali, bahkan yang ini lebih dahsyat. Delapan jam penuh pak polisi menggerayahi tubuhku dan berkali-kali aku terkulai lemas. Setelah kejadian itu, aku benar yakin, bahwa kini bahagia adalah petaka.

Ketika sadar, aku sudah ada di tepi jalan ramai dengan memakai busana yang sama, tapi yang ini terkesan sekedar tempel saja. Karena memang, bukan aku yang memakainya sendiri. Aku merenung dalam, di tengah keputusasaan, aku melihat toko baju yang menjual beraneka busana muslimah. Dan melihat beberapa wanita berjilbab yang dengan anggun melintas di depan toko tersebut. Terpancar aura kebahagiaan dari wanita-wanita itu, lantas aku pun berpikir, mungkin dengan berbusana seperti itu, aku akan dapatkan kebahagiaan yang selama ini kucari. Aku rogoh saku di kantong baju, dan beruntung, aku masih menyimpan beberapa uang merah. Maka ku melangkah ke toko baju tersebut dan membeli beberapa helai baju muslimah dan seketika memakainya.

“Allahu akbar....Allahu akbar,” adzan menggema di seantero kota. Dan lamunanku terpecah begitu saja, sudah lama hatiku tak terpanggil dengan suara ini.

“Mohon maaf, masjid terdekat di mana mbak ya?”

“Di ujung jalan kota ini mbak,masjidnya besar kok, jama’ahnya juga banyak, pasti gampang nyarinya,” jawab penjaga toko ramah.

Seharian penuh aku habiskan curahan air mata di masjid itu. Menyesali segala kejadian yang menimpaku. Dan kini tumbuh harapan baru dalam benakku untuk menemukan kembali kebahagiaan yang selama ini kucari. Hingga tak terasa, para jama’ah sudah meninggalkan masjid tersebut. Tinggal diriku seorang yang masih menengadah di antara hening sepi.

“Mbak, mohon maaf, hari sudah sangat larut, apa tidak berkenan untuk kembali ke rumah?” tegur penjaga masjid dengan sangat halus.

“Ah, iya, saya akan segera kembali.”

“Kenapa mbak, kok tampaknya bingung?” Tampaknya, penjaga masjid yang masih muda itu membaca keraguan dalam diriku.

“Oh tidak, sebenarnya saya datang dari luar kota, dan belum memiliki tempat tinggal di kota ini. Bolehkah saya menghabiskan malam di masjid ini semalam saja?” pintaku mengharap.

“Oooh, kalau untuk urusan yang seperti ini, kami sudah antisipasi. Pengelola masjid sudah menyediakan ruangan untuk musafir seperti mbak. Mari, ikuti saya, mbak bisa berisitirahat di sana.”

Di tengah perjalanan menuju ruang para musafir. Aku menceritakan semua kejadian yang terjadi pada diriku. Aku yakin, bahwa pemuda yang ditemuinya saat ini, pastilah pemuda yang baik. Dan aku berharap, dari pemuda tersebut, aku mampu menemukan kebahagiaan yang kucari. Si pemuda pun mendengarkan dengan penuh haru, ketika sampai di depan pintu ruang musafir, ia berpesan padaku, “memang orang secantik mbak pasti banyak godaan, mungkin lain kali mbak yang harus berhati-hati dalam menjaga diri.”

Tengah malam, pemuda menghampiri lagi ruang musafir, yang kutempati beristirahat saat ini. Ia bermaksud untuk memberikan selimut, agar aku terhindar dari perihnya angin malam. Ketika sampai di depan pintu, pemuda tersebut mengetuk beberapa kali, tapi tak ada sahutan. Tak sabar ia pun membuka pintu itu sendiri yang kebetulan tidak terkunci. Betapa kagetnya sang pemuda, ketika melihat aku tidur hanya berpakaian dalam saja. Sedang baju muslimah yang baru kubeli tadi tergantung di dinding. Pemuda tersebut menghamparkan selimut di tubuhku. Aku sempat tersadar, tapi kubiarkan selimut tersebut melindungi tubuhku karena memang kedinginan. Tapi, aku mulai shock kembali ketika tahu bahwa ada orang lain di bawah selimut itu.

Bulan melenguh panjang, gemerlap bintang di angkasa tak lagi bercahaya. Awan mendung menggelayut di atas masjid. Aku hanya mampu membisu, membiarkan bahagia menjelma petaka.

Beberapa hari setelah tragedi di masjid itu. Aku sudah jenuh dengan kecantikan dan kebahagiaan. Maka kutinggalkan segala angan dengan menanggalkan seluruh pakaian yang membalut tubuhku. Aku tak mau lagi menjadi korban bahagia yang berbuah petaka. Aku abdikan seluruh keelokan tubuh yang kumiliki untuk orang banyak, terutama orang kota. Maka aku terus menari menelisik jejalanan kota, menawarkan keindahan tubuhku pada setiap orang yang melintas. Dan, kini aku sungguh bahagia, tanpa beban yang memasung diriku. Aku melihat banyak orang tertawa dan tersenyum melihatku menari di pelbagai trotoar jalan. Dan yang terpenting tak ada seorang pun yang menggerayahi kebebasanku. Lantas, aku mulai mengerti inilah kebahagiaan yang kucari selama ini. Yaitu membuat orang lain bahagia tanpa harus mengorbankan kebahagiaanku.

Dan aku mulai mantap dengan jalan ini, maka aku akan terus bertelanjang sepanjang hari di tengah kota. Agar mampu menjadi wanita yang sempurna dan membahagiakan orang lain. Apalagi setelah masyarakat memberiku gelar ‘mawar merekah’, lengkap sudahlah pencarian jati diri selama ini.

Sempat beberapa jeda aku mulai memikirkan kembali perkataan bapakku beberapa tahun silam. “Dia dulu itu preman desa ndhuk, jangan mudah percaya dengan yang dikatakannya, hidup di kota itu penuh bahaya, kejam, nanti kau akan lupa dirimu, bahwa kamu adalah gadis desa!”

Kalau saja aku mau mencerna kalimat itu dalam-dalam. Mungkin saat ini aku tidak akan menjadi ‘wanita telanjang’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun