Vladd Remote Control Boy © Hilman Hariwijaya
This story © Lazuardi
_________________
BAB 2
Perasaan Khusus
Semenjak Flo jadi temen deket Vladd, Vladd semakin bersemangat datang ke sekolah. Biasanya Vladd nggak pernah ambil pusing soal sekolahnya, karena untuk otak jenius seukuran Vladd, materi di sekolah emang nggak masuk hitungan. Tapi sekarang, Vladd kembali mengasah kemampuannya dibidang hitungan, maupun dalam ilmu komputernya. Hal itu sengaja dia lakuin supaya dia bisa punya bahan obrolan dengan Flo, anak baru yang menarik perhatiannya. Caper lah, istilahnya. Soalnya, selain komputer, usut punya usut ternyata Flo juga jago dibidang pelajaran, terutama ilmu pasti. Saking pinternya, meski baru dua bulan di sekolah Vladd, gadis itu udah jadi partner Vladd untuk mewakili olimpiade Matematika ke Jerman akhir tahun nanti. Jelas aja Vladd ngerasa nggak mau kalah. Tapi diem-diem, dia jadi tambah suka sama Flo.
“Flo, kamu aktif apa aja di internet?” tanya Vladd suatu ketika.
“Banyak. Selain blogging, saya juga web designer. Terus saya juga ngebuat beberapa game untuk hape. Memangnya kenapa?”
Mata Vladd berbinar. Game? Web designer? Rasanya Vladd bener-bener seneng bisa nemuin orang kayak Flo.
“Nggak, nggak papa. Saya cuma penasaran aja. Soalnya kalau saya perhatiin, kesibukan kamu di depan laptop selama istirahat banyak juga,” ucap Vladd yang berusaha menyembunyikan raut kekagumannya.
“Ooh,” sahut Flo pendek. “Kamu sendiri?”
“Hm...” Vladd menerawang. “Apa ya? Blogging, bikin game juga, dan hacking sesekali...”
“Nah looo!” Flo menudingnya dengan tatapan jahil diikuti tawa kecil. “Ketauan nih nakalnya!”
Vladd cuma bisa garuk-garuk kepala menahan malu, tersipu.
Bagi Vladd, Flo adalah temen yang asik, karena hanya dengan dia Vladd bisa banyak berdiskusi tentang hal-hal yang mungkin dianggap aneh atau nggak dipahami bagi kebanyakan orang. Selain otaknya yang encer dan kemampuannya dibidang komputer juga hebat, Flo juga orang yang paling santai dan nggak sombong. Meski agak misterius karena orangnya tidak mau terbuka soal pribadi dan gayanya yang agak mencolok (naik motor matic di sekolah Vladd termasuk kategori mencolok, soalnya rata-rata mereka kalau nggak pake bus sekolah, ya pake mobil mewah), Flo bisa bergaul dengan mudah, walaupun semuanya hanya ‘sebatas kenal’.
Ada satu yang menarik perhatian Vladd dari Flo. Biasanya di kalangan high class, banyak para siswa yang seolah merasa dirinya paling hebat karena ngerasa kaya walaupun itu duit milik bokap nyokapnya. Atau paling nggak, meskipun mereka nggak nyombong, pasti ada aja satu atau dua atribut yang menunjukkan kalau mereka adalah kalangan berada, entah dari gaya bicara, maupun sesuatu yang mereka pamerkan, dan Vladd nggak suka hal itu.
Dan Flo adalah orang yang nggak pernah bersikap seperti itu.
Keberadaan Flo menimbulkan berbagai respon di antara teman-teman Vladd. Contohnya saja, Yudiantara. Akibat terpilihnya Flo jadi kandidat kedua karena dianggap sama jeniusnya dengan Vladd, jelas-jelas Yudiantara cemburu. Dia kesel, murid baru itu kini sudah menggeser posisinya karena dia ngerasa lebih berhak untuk ngikutin olimpiade itu. Kejengkelannya semakin menumpuk, mengingat permasalahannya dengan Vladd yang dia anggap saingan aja belum selesai, sekarang udah ada saingan lain.
Marigold lain lagi. Diem-diem dia jengkel, karena anak cowok yang biasanya bisa diisengin kini punya temen deket. Dia ngerasa, Flo mengambil Vladd, apalagi melihat Flo tampak dekat dengan Vladd karena mereka cocok, dan itu bikin Marigold sebel beneran. Dia nggak abis pikir, kenapa Vladd lebih milih temenan sama cewek kuper yang nggak ada cantik-cantiknya itu ketimbang dia yang merupakan model cantik? Marigold nggak tahu, selera Vladd bukan cewek yang cantik, tapi cewek yang nyambung!
James yang ngeliat peluang ini jelas seneng. Playboy cap kelinci yang masih pengen jalan sama Marigold itu nggak mau ngebuat kesempatan ini, apalagi semenjak Flo jadi dekat dengan Vladd, Marigold sangat jarang terlihat bersama Vladd. Berkali-kali ia berusaha mengambil hati Marigold, bahkan pada saat jam pelajaran kimia.
“Mar, malem ini kita jalan yuk? Kita mengenang masa-masa indah kita dulu...”
“Masa indah apa? Orang pertama kali kencan sama kamu aja saya malah disuruh dorong motor karena harleymu ngadat! Balik-balik langsung nyari tukang pijet nih saya!”
Vladd terkikik mendengarnya. Niatnya mau romantis malah ditolak mentah-mentah. Flo yang kebetulan satu kelompok dengan Nanda-Nandi ikut-ikutan senyam-senyum ngedengernya, termasuk Adrian dan Muhardito.
Ngeliat orang-orang termasuk Vladd senyum, James gerah juga, ngerasa terhina. Anehnya, dia malah melampiaskan kekesalannya pada Vladd. Ia memukul kepala Vladd pelan.
“Ngapain kamu ikut-ikutan senyum? Suka ya kalo saya dihina Marigold? Kamu ngajak ribut sama saya, heh?”
Vladd mengelus kepalanya yang agak sakit. Ngajak ribut? Yang ada juga James yang selalu cari ribut duluan. Dari abad Vladd masuk SMA sampe sekarang kelas XI (kelas 2 SMA) yang selalu micu ribut duluan ya James juga.
“Lho, perasaan yang lain juga ikut ketawa deh...bukan saya aja,” Vladd tiba-tiba memandang Nanda-Nandi, Muhardito dan Adrian yang memang tak jauh darinya.
“Alah, tetep aja, ketawa kamu yang paling keras. Kenapa, ngerasa udah berani sekarang? Dasar cupu!”
“Iya tuh, badan kurus aja pake ngetawain orang segala. Mana tukang ngecengin cewe orang lagi!” sambar Perry yang ikut memojokkan Vladd.
Perry ikut bicara. Wajarlah ia bicara, mengingat James juga salah satu teman satu kubunya selain Yudiantara, sama-sama pembenci Vladd.
“Maksud kamu apa Per ngomong gitu ke Vladd? Kalo ngomong jangan sembarangan! Mentang-mentang kuat, bisanya nginjek yang lemah!”
Marigold berusaha menarik keras Perry tapi Vladd berusaha memisahnya.
“Udah udah...”
“Ah nggak usah sok baik lo! Gara-gara lo disini mangkanya kita ribut, tau ga?” Perry menepis tangan yang tadi menyentuhya.
“Per jaga mulut lo!” Marigold makin panas.
“Udah Mar, udah...”
“Udah-udah! Kamu yang mulai semuanya, tau nggak?”
“Kok jadi saya?” James mengerutkan kening, bingung.
“Kalau nggak kamu mulai duluan marahin Vladd, mungkin nggak akan gini jadinya!”
“Lho, wajar dong saya marah! Dia berusaha ngambil kamu dari saya!”
“Hah, ngambil? Siapa yang berniat ngambil saya? Nggak ada tuh!” Marigold menggeleng kuat-kuat.
“Siapa lagi kalau bukan Vladd!” ucap James gemas.
“Vladd ngegaet saya?” Marigold tertawa ngakak, kemudian menggeleng, “Maaf ya James, Vladd nggak pernah berniat ngerebut saya dari kamu, tapi emang sayanya aja yang ngedeketin dia! Mending Mar deket-deket sama Vladd daripada sama playboy kayak kamu, bikin makan ati tau nggak?
James kaget, berasa kayak disamber geledek. Baik Perry maupun Yudiantara ikut-ikutan kaget ngedengernya.
“T-t-tapi kenapa Mar, kenapa? Kenapa kamu lebih milih deket-deket sama kutu kayak dia dibanding saya?” tanya James ekspresif, memegang dadanya seperti ia sedang melakukan casting untuk adegan sinteron remaja.
“Duh James, sejak kapan sih kamu jadi ekspresif gini? Jujur, males banget liatnya,” Marigold mengangkat bahu tak peduli dengan tatap ilfeel. “Udah lah, yang udah lewat yaudah! Basi!”
James menatap Marigold dengan tatapan nanar.
Kalian pasti nanya-nanya, kemana guru yang dibayar ribuan dolar dan berkewajiban membuat mereka kembali tertib? Ada, tenang aja. Guru bernama Pak Bangke (nama aslinya sih Bambang Eko, dasar aja anak-anak pada jail menyingkat namanya jadi Bangke) itu di tempatnya, tapi dalam keadaan tertidur pulas! Mungkin semalem dia asik nonton bola atau main PS4 terbarunya, nggak tahu deh, kalian tanya aja sendiri.
“Eh, eh...ini masih jam pelajaran...nggak enak sama Pak Bambang...” ucap Flo berusaha melerai. Ia merasa tak enak di tengah jam pelajaran para siswa malah sibuk bertengkar mulut seperti ini dan ia merasa harus menenangkan mereka.
“Alaaah, kamu nggak usah ikut-ikutan ngebelain Vladd! Kamu juga sebelas dua belas sama Vladd. Sama-sama kutu!” Yudiantara gerah, ikut bicara juga, membela James. Sedari tadi dia memang panas ingin buka mulut untuk menjatuhkan Vladd (karena ia memang selalu sirik sama otaknya Vladd tapi benci mengakui kejeniusannya), namun baru sekarang bisa melakukannya.
Flo ternganga tak percaya mendengar hinaan seperti itu. Jelas dia berang. Kutu? Dia disamain dengan kutu? Yudiantara nggak tahu, kemarahan Flo benar-benar udah sampe ubun-ubun. Tabung reaksi yang tadi dipegang Flo pecah akibat kepalan tangan Flo dan tangannya berdarah karena menggenggam pecahan beling. Bianca dan Su Yin terpekik kaget melihat darah yang menetes ke lantai. Mereka memandangi kejadian mengerikan itu dengan sorot takut-takut.
“Maksud kamu apa nyamain saya dan Vladd dengan kutu?”
“Ya lo itu! Kutu! Pengganggu! Risih gue liat kalian berdua!”
Vladd ngerasa nggak enak ngeliat Flo ribut-ribut apalagi saat namanya ikut-ikutan disebut. Ia ingin melerai, tapi bingung. Dikeluarkannya remote control sakti miliknya, memijit tombol peace ke arah mereka. Sayang, nggak berhasil. Pas dilihat indikator baterainya, Vladd menepuk jidatnya sendiri. Ia baru ingat, ternyata remotenya belum di-charge sejak kemarin pagi! Jelas aja remote itu low-batt.
Sial, batin Vladd. Kenapa pas dalam keadaan genting selaluuuu aja kayak gini?
Kepanikannya bertambah saat Flo mencengkram kerah Yudiantara.
“Kalau lo mau ribut, kita keluar sekarang,” ancam Flo tajam, membuat Vladd tak menyangka Flo akan melakukan hal seberani itu.
“Wets, wets, tenang, bro! Santai, santai...” Yudiantara merasa jiper ngeliat keseriuan Flo untuk mengajaknya berkelahi.
“Eh lo nggak usah sok jagoan ye? Lepasin Yudi!” Perry berusaha menarik tangan yang mencengkram kerah Yudiantara, tapi kalah tenaga sama Flo.
“Lo yang nggak usah jagoan! Udah tau temen lo salah, lo belain juga!” tangan kanan Flo menuding Perry diikuti tatapannya yang menusuk. “Atau lo mau gue ajak ke lapangan juga buat berantem, hah?”
Perry melongo. Hati kecilnya kaget, karena seumur hidup, baru kali ini di diancem sama cewek. Diem-diem dia salut juga sama keberanian murid baru ini.
Dan Vladd diikuti murid lainnya hanya bisa terbengong-bengong melihat kejadian itu.
“Kalo lo emang mau, setelah kita berantem, besok lo pake rok sama BH ke sekolah...”
Vladd menelan ludah, bergidik sendiri membayangkan Perry dan Yudiantara harus pake rok. Hih, bisa rusak matanya liat pemandangan najis kayak gitu.
“Oke, Flo, tenang-tenang. Lepasin Yudiantara. Kita minta maaf kalo perkataan kita nyinggung lo...” James yang sadar bahwa ancaman Flo itu serius menahan tangan Flo melakukan hal yang lebih dari itu karena urat-uratnya tampak mulai menyembul.
BRAKH!
Flo menghempas tubuh Yudiantara ke dinding dengan tenaga luar biasa. Terdengar tubuh Yudiantara terhantam keras diikuti suara Yudiantara yang mengaduh kesakitan. James dan Perry sontak membantu Yudiantara berdiri karena tubuhnya jatuh terduduk saking tak kuat menahan sakit.
“Gue bukan orang yang gampang maafin orang kalau boleh jujur...” jawab Flo dingin sembari berbalik.
Saat ia kembali ke mejanya, Bianca memandangnya khawatir.
“Flo, tanganmu harus diobatin dulu, robek kena beling tuh...”
“Saya nggak apa-apa.”
Vladd yang menyadari bahwa situasi sudah normal berjalan mendekati Flo. Gadis berambut pendek itu tampak mengabaikan luka di tangannya.
“Flo, kubawa kamu ke UKS.”
“Nggak usah Vladd. Ngerepotin,” Flo menggeleng tenang.
“Nggak bisa! Pokoknya kamu harus diobatin dulu!” Vladd menarik paksa tangan kanan Flo, membawanya ke UKS. Bianca dan Su Yin diam-diam menahan senyum saat mereka pergi.
“Percuma kalo kamu kasih betadin doang. Lukanya harus dijait,” ucap Flo kalem.
“Mangkanya saya ajak kesini!”
Vladd segera saja memanggil dokter sekolah. Dokter yang memang bekerja di bagian kesehatan sekolah itu segera saja menjahit luka sayatan di telapak tangan Flo.
“Lain kali hati-hati,” ucap dokter tersebut sembari membersihkan peralatannya.
“Terima kasih,” Vladd dan Flo berucap secara bersamaan.
Menjelang pulang sekolah, Vladd masih juga mengkhawatirkan keadaan Flo. Flo yang akan membeli makan siang dan membungkus bekal untuk makan malam dibuntuti Vladd sampai kantin, nanya ini itu.
“Flo, kamu nggak papa tuh kalau pulang-pulang tanganmu luka-luka begitu? Nggak dimarain ortu?”
“Siapa yang mau peduli?” sahut Flo cuek.
“Lho, ortumu dong!”
Flo mengibaskan tangannya. “Santai aja keleus. Ini udah biasa. Dulu bisa lebih parah dari ini.”
“Lebih parah?”
“Ah, panjang ceritanya!” Flo senyum, tapi kemudian teringat sesuatu. “Oya Vladd...”
“Ya?”
“Ngomong-ngomong, apa mereka sering ngelakuin itu ke kamu?”
“Maksud kamu?”
“Yudiantara, James dan Perry. Mereka suka ngebully kamu gitu ya?”
Vladd tersenyum masam. “Yah gitu deh. Biarin ajalah.”
“Kenapa nggak ngelawan?”
“Gimana caranya? Lagian juga saya males.”
“Terus itu, saya juga mau tanya, memangnya apa sih yang terjadi antara kamu, James dan Marigold? Saya yakin ada something nih sebelumnya.”
“Oh itu...” Vladd pun menceritakan semuanya. Tentang Marigold yang tiba-tiba jadi lengket dengan Vladd tanpa alasan, dan semenjak itu pulalah James mulai bersikap tak enak padanya karena dianggap mengambil Marigold darinya. Juga penyebab kenapa James, Perry dan Yudiantara jadi saling mendukung, dan ia jelaskan bahwa mereka semata-mata bersatu, karena sama-sama membenci Vladd. Termasuk semua hal yang pernah mereka lakukan pada Vladd demi membalas dendam rasa sakit hati mereka.
“Dan kamu nggak mau ngelawan mereka setelah apa yang mereka lakuin ke kamu?” tanya Flo kaget dengan tatapan tak percaya setelah mendengar semua cerita Vladd.
“Kan udah saya bilang, bisa apa saya?”
“Kalo itu terjadi sama saya, tu orang tiga udah balik patah tulang semua kali,” ucap Flo menahan amarah.
Vladd bengong, tiba-tiba ngerasa serem sendiri. Sadis amat ni cewek. Sebenernya ni anak siapa sih? Kok nggak ada takut-takutnya sama cowok? Apalagi pas tadi dia ngeliat Flo berhadapan sama Perry yang punya badan gede, dia cukup khawatir juga, tapi gadis itu malah nggak takut sama sekali!
Entah kenapa, perasaan kagum Vladd sama Flo semakin bertambah.
“Heran saya...” ucap Flo tiba-tiba sembari memesan sebuah nasi goreng dan kwe tiaw kuah dua porsi. “Kok bisa-bisanya ya kamu sabar nyikapin sikap mereka yang kelewatan?”
Vladd duduk di depan Flo, lalu mengangkat bahu tiba-tiba. “Saya pikir, diem lebih baik. Toh, sampai sekarang saya masih idup aja kan?”
“Nggak. Ada saatnya kamu melawan. Kamu nggak boleh terus-terusan diem saat mereka ngebully kamu kayak gitu.”
“Udahlah Flo... dendam itu nggak baik. Toh, kalau mereka bertingkah kelewatan dan saya ngadu sama papi saya soal mereka, semua bisa teratasi.”
“Heh, iya ya...” Flo tersenyum, yang tampaknya lebih terlihat seperti sebuah senyuman untuk dirinya sendiri.
Sesaat keduanya diem. Hening. Yang kedengeran cuma suara kesibukan di kantin dan percakapan para siswa yang belum pada pulang atau masih nongkrong di kantin karena ada kegiatan eskul. Saat pesanan Flo datang, Vladd melongo melihat pesanan Flo yang jumlahnya ada tiga bungkus-empat bungkus.
“Ngomong-ngomong, ngapain kamu beli makan banyak-banyak?” tanya Vladd lagi. “Buat kamu?”
“Ah nggak. Ini titipan. Kamu sendiri ngapain ke kantin terus nggak beli apa-apa?”
Vladd ngerasa ditohok. Pipinya kerasa panas lagi. Jelaslah dia nggak beli apa-apa, soalnya memang tadinya juga Vladd nggak punya niatan ke kantin kalau nggak karena ngekorin Flo. Vladd jadi malu sendiri.
“Eh, ayo sini saya bawain. Mau ke parkiran kan?” tanya Vladd berusaha mengalihkan perhatian sembari mengambil bungkusan plastik dari tangan Flo. Flo Cuma mengangguk, nyengir ngeliat Vladd yang kini telah berjalan lebih dulu di depannya.
Sesaat setelah sampai di parkiran, Vladd mengembalikan bungkusan itu pada Flo
“Yaudah Vladd, saya pulang dulu ya...” ucap Flo sambil menerima bungkusan plastik dari Vladd.
“Lha, emang kamu bisa nyetir motor dengan tangan begitu? Kenapa nggak pake bus sekolah aja?!” Vladd memberi alternatif. Sejujurnya dia memang khawatir banget sama Flo.
“I’m fine, Vladdvanio. See ya later,” Flo memakai helmnya, dan seperti tak terganggu dengan luka jahitan di tangannya, ia mengendarai motornya, meninggalkan Vladd yang termenung memandang kepergiannya.
***
Semenjak kejadian itu Vladd jadi makin penasaran sama Flo. Gadis aneh yang baru dikenalnya selama sebulan itu memang misterius di mata Vladd. Anaknya nggak keliatan hidup ngejet-set walau keliatannya orang berada. Terus, nggak seperti cewek kaya pada umumnya yang cenderung manja, Flo emang mandiri, kelewat mandiri malah. Beberapa kali Vladd ngeliat Flo ngerjain piket seorang diri untuk geser-geser meja atau barang-barang berat. Dia nggak pernah ketergantungan sama cowok, walaupun kerjaan yang dilakuinnya emang porsi cowok. Pokoknya beda dari cewek gedongan umumnya deh. Ditambah lagi sama sikap beraninya terhadap cowok! Vladd yakin, gadis itu pasti punya bela diri atau ilmu tenaga dalem yang luar biasa mangkanya dia pede ngadepin cowok, bahkan termasuk Perry yang ia takuti!
“I, kamu bisa bantuin saya nggak?” tanya Vladd di telpon saat malam hari, menelpon Sapi’i, sahabat baiknya.
“Bantuin apa Vladd? Selama saya bisa sih, saya bantu!” sahut Sapi’i dari seberang.
“Saya mau nyari alamat temen saya, tapi kamu kan tahu saya nggak hafal daerah-daerah di Jakarta. Entar temenin saya ya?”
“Siap deh. Kapan?”
“Besok aja gimana? Kebetulan besok tanggal merah.”
“Oke. Jam berapa?”
“Nanti saya kabarin lagi deh lewat SMS.”
“Siplah.”
Tut. Telpon dimatikan.
Vladd kini menatap salah satu layar komputernya yang jadi central kelima LED miliknya, mengetik sesuatu. Wajahnya terlihat serius dan sesekali terdengar suara ‘beep’ karena yang ia cari tak ditemukan. Beberapa kali ia mencoba, usahanya tetap gagal.
Alamat Flo nggak bisa ditemukan.
Wajah Vladd suntuk seketika. Semalaman ia berkutat di depan layar, tapi mencari alamat Flo nggak semudah dugaannya. Segala hal yang berkaitan dengan data pribadi Flo diproteksi ketat. Sampai jam menunjukkan pukul satu dini hari, Vladd akhirnya kelelahan, dan ia pun tertidur di mejanya.
Keesokan harinya, Sapi’i datang, mengetuk pintu Vladd. Vladd yang masih beler karena bangun siang ngeremote pintu supaya kebuka. Sapi’i duduk di pinggir ranjang Vladd.
“Gimana, jadi kita pergi?”
Vladd menggosok hidungnya, suntuk. “Gimana mau pergi, alamatnya aja nggak ketemu!”
“Hah, jadi kamu ngajak-ngajak saya pergi tapi kamunya sendiri nggak tahu mau kemana? Parah banget kamu Vladd!” Sapi’i menggeleng-geleng. “Emang kamu mau kemana sih?”
“Mau ke rumah temen,” sahut Vladd. “Tapi nggak tahu alamatnya. Pas dicari lewat internet, nggak dapet-dapet juga. Data pribadinya di-protect semua.”
“Hah, maksudnya protek itu apa?” tanya Sapi’i polos.
“Maksudnya dilindungi. Jadi pas mau dibuka, ada sesuatu yang mengunci dari dalam. Semaleman saya berusaha ngejebol barrier itu, tapi gagal.”
“Tunggu bentar. Sebenernya yang mau kamu datengin itu siapa sih?”
“Temen sekolah. Saya mau dateng ke rumahnya.”
“Lha kenapa nggak tanya langsung aja alamat rumahnya dimana? Pake acara nyari lewat internet segala!”
“Nggak semudah itu!” Vladd melempar Sapi’i pake bantal. “Dia nggak boleh tahu kalau saya nyari alamat dia!”
“Emangnya kenapa?”
“Soalnya saya mau diem-diem nyari tahu soal dia!”
“Ha, aneh!” Sapi’i mengerutkan kening. “Jadi ceritanya kamu mau main detektif-detektifan nih?! Emang siapa sih, kayaknya penting banget?”
“Kan tadi dah dibilangin, temen saya!”
“Iya, maksud saya cewek atau cowok?”
Vladd tertohok, dan segera saja menetralkan perasaannya. Wajah Flo yang melintas di benaknya bikin jantungnya main kendang lagi. “Ah pokoknya nggak usah tahu!”
Sapi’i melihat raut Vladd yang berubah. Pipi sobat kentelnya itu keliatan merona. Seketika Sapi’i tersenyum paham.
“Kayaknya saya tahu temen yang mau kamu cari ini...” Sapi’i tersenyum misterius. “Dia pasti cewek kan?”
Vladd kesedak ludahnya sendiri. Dia melotot natap Sapi’i. “Dari mana kamu tahu?”
“Ah, jadi bener tebakan saya? Astaga, Vladd! Siapa yang kamu taksir nih? Cerita-cerita sama sayaaa!”
Vladd merasa dicurangi. Kenapa tiba-tiba semua orang jadi mendadal bisa meramal begini sih? Heran deh! Perasaan Vladd nggak pernah bilang dia suka seseorang, tapi kenapa Sapi’i, Papi Eraisuli bisa menebaknya dengan mudah? Vladd jadi dilema. Mau bilang ‘nggak’, tebakan Sapi’i telak banget. Mau bilang ‘iya’, takut Sapi’i ember dan keceplosan sama orblak.
Dia jadi serba salah.
“Vladd, ayo cerita!! Kasih tahu, siapa!”
“Sssh, udah ah, nggak usah berisik. Saya nggak perlu kasih tahu siapa, toh kamunya juga nggak kenal.”
“Tapi kan, nanti kalau kamu dapet alamatnya, kamu pasti nyari saya, soalnya kamu kan nggak tahu dengan pasti daerah Jakarta?” Sapi’i tersenyum penuh kemenangan. “Cerita sekarang atau nanti? Heeeee?”
Omongan Sapi’i bener juga. Suka atau nggak, suatu saat Sapi’i pasti tau juga. Akhirnya dia pasrah, terus ngebetulin posisi duduknya supaya bisa adep-adepan sama Sapi’i.
“Oke, saya kasih tau, tapi jangan bilang siapa-siapa ya?” suara Vladd terdengar memelan.
“Iya, beres lah itu Vladd. Siapa?”
“Bener nih?”
“Sumpah mateeeeeng dah Vladd. Nggak percayaan banget sih kamu sama saya?”
“Iya deh, iya. Yaudah,” Vladd menghela nafas panjang, kemudian buka mulut lagi, “namanya Flo. Dia anak baru di kelas saya.”
“Oooh. Kok kamu bisa suka sama dia? Orangnya cantik ya?”
Vladd tercenung sejenak, mengingat-ingat wajah Flo, menggeleng-geleng kecil, “sebenernya sih biasa aja. Tapi Flo cuma satu-satunya orang yang saya rasa paling nyambung dan cocok saya ajak ngobrol. Jadi saya ngerasa betah aja deket lama-lama sama dia.”
“Oooh...” Sapi’i mengangguk paham. “Terus kamu mau nembak dia?”
“Nembak itu apa?” tanya Vladd polos.
Sapi’i tepok jidat. Sejenius-jeniusnya Vladd, Vladd emang nol besar soal percintaan, tapi dia nggak nyangka aja, ternyata sobatnya sebego ini.
“Gini Vladd. Maksud saya ‘nembak’ itu, kamu nyatain perasaan, dan meminta jawaban dari dia. Kalau dia nerima pernyataan kamu, itu tandanya dia jadi pacar kamu, tapi kalau nggak, ya...itu tandanya kamu ditolak.”
“Emang harus banget ya pake nyatain perasaan cinta gitu?”
“Ya haruslah!”
“Masa’ sih? Bukannya hal yang nggak terdeskripsi kayak perasaan itu bagusnya tersampaikan lewat sikap ya? Bukan lewat pernyataan?” tanya Vladd, yang tiba-tiba teringat dengan salah satu artikel tentang percintaan yang pernah dibacanya lewat internet.
“Hadeuh...cewek itu ingin semuanya gamblang Vladd! Paham?!”
“Tunggu bentar. Kamu nasihatin saya kayak ahli begini, emang kamu pernah pacaran sama cewek?” tanya Vladd dengan tatapan bingung.
Sapi’i berasa ditohok. “Ya belum sih, tapi ka–.”
“Yaudah kalau gitu nggak usah belaga nasihatin saya, Pi’iiii!!!” sebuah sendal melayang diikuti suara Sapi’i yang ketawa sambil ngabur keluar kamar.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H