Vladd Remote Control Boy © Hilman Hariwijaya
This story © Lazuardi
------------------------------
BAB 1
Anak Baru
Pagi ini Vladd kesiangan. Ia ketinggalan bus sekolah karena Bik Mar yang biasanya punya kewajiban membangunkannya di pagi hari lupa waktu karena keasikan berjoget dangdut saat masak. Alhasil, Vladd blingsatan saat berangkat sekolah dan lupa sarapan. Saat tahu ia ketinggalan bus, Mar dimarahi habis-habisan.
“Kamu ngapain aja sih Mar?! Gara-gara kamu telat bangunin saya ketinggalan bus sekolah nih!” ucap Vladd galak. Ia menyambar setangkup roti di meja makan dengan terburu-buru.
“Aduh, bibik minta maaf deh mas! Tadi bibi juga sibuk di dapur sambil dengerin lagu dangdut Mas. Lagian Mas Vladd juga biasanya kan pake alarm hape?”
Vladd mendengus sebel. Mau dangdut kek, mau keroncong kek, siapa peduli! Vladd keki berat.
“Tapi kan tetep aja kewajiban kamu untuk bangunin saya kalau saya telat!”
“Iya, sekali lagi saya minta maaf deh mas. Bibik cariin taksi ya? Johan kan nggak kerja selama Nyonya ke Jerman?” ucap Maryati dengan wajah bersalah.
“Alah, udah nggak usah deh, kelamaan! Saya nyupir sendiri aja!”
“Tapi mas, mas kan belum tujuh belas taun! Bisa disunat gaji saya kalau saya ngijinin mas Vladd nyupir ke sekolah!”
“Mangkanya jangan sampe mereka tau!” sergah Vladd cepat-cepat. Dengan dasi yang belum tersimpul rapi ia mengambil sebuah kunci mobil di kamar papi-maminya. Sementara itu Maryati yang masih merasa bersalah mengekori Vladd kemanapun ia pergi. Jadi kayak ekor.
“Tapi mas, ka–”
“Pokoknya tutup mulut!” ancamnya sembari menuding Maryati dengan galak. “Pokoknya kalau sekolah saya bermasalah karena keterlambatan ini, kamu tanggung jawab.”
“Aduh, mas, jangan dong! Kalo nyonya tahu dan gaji saya dipotong, saya mau bayar cicilan saya di Cinere pake apa?”
“Saya nggak peduli!” ketus Vladd sembari menekan tombol untuk membuka garasi otomatis rumahnya.
Sebenernya Maryati nggak bisa disalahin juga. Semalem, Vladd keasikan nonton film action Fast to Furious karena nggak ada kerjaan. Dasar anak nggak gaul, film yang sebenarnya udah terkenal cukup lama itu ia tonton dari sekuel satu sampai sekuel tujuh dalam satu malem (Vladd yah begini ini, kalau udah ngerasa satu film bagus, dan punya sekuel, biar sampe mata beraer dan ngantuk, dijabanin juga!) sehingga ia terlambat tidur. Ponsel yang biasanya melantunkan alarm untuk membangunkannya di pagi hari pun benar-benar mati total dan tak bisa me-recharge dirinya sendiri dengan tenaga surya (ponsel canggih milik Vladd bisa menyimpan dan men-charge dirinya sendiri saat ada sinar matahari) karena disimpan di bawah bantal. Kedua alasan itu adalah alasan sebenarnya kenapa Vladd telat sekolah. Tapi dasarnya aja Vladd nggak mau sadar diri, dia malah menumpahkan semua kesalahannya pada Maryati.
Dengan langkah setengah berlari Vladd menuju mobil Bugatti papi Eraisuli yang masih kinclong. Saat ia membuka butterfly door mobil tersebut dan menyalakan mesinnya, Vladd geram karena mobil tersebut tak bisa menyala. Pas di cek, ternyata parameter tank mobil berharga milyaran rupiah itu menunjukkan angka nol, yang berarti tank-nya kosong!
“Papi nih gimana sih, mobil bagus-bagus tanknya kosong!” runtuknya kesal. Dengan terburu-buru ia keluar dari mobil dengan wajah emosi. Gimana nggak kesel, lagi buru-buru, ternyata mobil yang diandelin untuk membawa Vladd ke sekolah malah nggak ada bensinnya! Ia menendang keras ban mobil mahal tersebut, lalu ricuh sendiri, loncat-loncat memegangi kakinya yang kesakitan. Kualat sih!
Dipandangnya deretan mobil milik mami-papinya yang jumlahnya belasan di dalam garasi itu. Kalau ia cek satu-satu untuk nyari mobil yang masih ada bensinnya, kelamaan! Vladd melempar kunci mobilnya ke arah Maryati dan memandang kearah sepeda gunungnya. Kempes!
Hari ini bener-bener hari sial buat Vladd!
“Mar, saya pergi pake bis kota aja! Nggak akan keburu nih!”
“Tapi Mas–”
Suara Maryati yang tadi akan keluar tiba-tiba menghilang karena Vladd segera menekan tombol mute pada remote ajaibnya ke arah Maryati. Remote yang bisa mengontrol manusia itu memang sudah cukup lama jadi barang sakti kesayangan Vladd, karena remote itu memang ia ciptakan sendiri. Maryati yang kaget suaranya hilang meski mulutnya masih bergerak-gerak panik sendiri, berusaha meneriaki Vladd yang berlari keluar rumah meski suaranya tak keluar. Vladd cengengesan melihat pemandangan tersebut, kemudian mempercepat larinya.
Di depan komplek perumahan Pondok Indah, Vladd terengah-engah kelelahan. Sekarang ia kebingungan sendiri melihat jam sudah menunjukkan pukul 07.15 pagi. Udah telah 20 menit!
“Wah, saya telat beneran...” keluh Vladd sembari membungkuk dengan menumpukan kedua tangannya di lutut, lemes. Siapa yang nggak lemes, pagi-pagi udah lari-lari dari rumah ke luar gerbang komplek yang jaraknya hampir 350 meter?
“Eh, kamu kenapa?” suara seorang perempuan mengagetkannya. Vladd mendongak, memandang seorang gadis yang mengenakan helm bieu tua dengan wajah njawani dan berkacamata menghentikan motornya tepat di dekat Vladd. Vladd nggak tahu, perempuan tersebut melihat nama sekolah di lengannya yang ternyata sama dengannya. “Kamu satu sekolahan sama saya juga ya? Ayok bareng!”
“Eh, beneran?” tanya Vladd nggak percaya, memandang lokasi sekolah di lengan baju gadis itu yang ternyata sama dengannya.
“Iya, udah ayok! Ntar telat!”
“Oh oke deh!” Vladd tersenyum girang, dan segera saja membonceng di belakang gadis itu. Pertolongan emang bisa dari mana aja!
***
Di sekolah, Vladd dan gadis yang sampe sekarang nggak dia kenal itu dipanggil ke ruang BK. Alasannya simpel; telat di hari Senin! Ibu Bertina selaku wali kelas Vladd juga ikut-ikutan mengomeli Vladd.
“Kamu itu tahu kan ini hari Senin? Sudah telat, penampilanmu kacau, seragam kamu acak-acakkan pula! Kamu ini niat sekolah nggak sih?” tanya Ibu Bertina dengan galak.
“Niat bu,” sahut Vladd sambil menunduk lesu. Ini nih yang memang dia takutin kalo terlambat ke sekolah. Diceramahi habis-habisan dengan topik yang itu-itu aja selama berjam-jam. Jujur, Vladd juga agak takut jika ia tidak bisa mengikuti jam pelajaran pertama, mengingat jam pertamanya adalah matematika, dan hari ini ulangan!
“Dan kamu Flo,” Ibu Bertina menuding gadis di sebelah Vladd, “kamu ini murid baru, kenapa di hari pertama saja sudah terlambat?”
“Motor saya tadi kempes bu,” jawab Flo pelan.
“Kamu kan bisa cek ban motor kamu pas hari Minggu sebelum berangkat ke sekolah! Segala sesuatunya harus dipersiapkan secara matang, apalagi hari Minggu kan libur! Harusnya kamu mengerti hal ini!”
“Iya bu, saya salah,” aku Flo dengan jujur.
Oh, jadi namanya Flo, batin Vladd sambil manggut-manggut kayak burung celepuk. Dia murid baru toh. Diam-diam Vladd berterima kasih juga pada murid baru yang baru dikenalnya hari ini. Perempuan yang ternyata berambut panjang dan berkucir itu memang terlihat tomboy (Vladd melihat dari caranya berjalan tadi yang keliatan sangat nggak feminim), tapi kayaknya dia baik.
“Ya sudah, sekarang ibu maafkan kalian karena ini pertama kalinya kalian terlambat. Tapi untuk selanjutnya, ibu nggak akan segan-segan menghukum kalian,” ucap Ibu Bertina dengan tegas.
“Makasih Bu,” ucap Vladd dan Flo berbarengan, mengambil kedua tas mereka yang tersimpan di kursi ruangan, kemudian berjalan ke kelas.
Menuju kelas, Vladd iseng memperhatikan Flo yang sedang membaca daftar mata pelajarannya yang baru diambil dari ruang TU. Dia heran, ngeliat salah satu ekskul yang diambil gadis itu sama dengannya, programming. Soalnya jarang-jarang ada anak yang ambil ekskul itu. Jelas aja jarang, karena anak-anak disana udah jelas ngambil ekskul yang lebih asik daripada perbahasaan komputer yang njelimet itu. Mereka lebih milih ekskul kayak golf, berkuda, tenis, fotografi, bela diri dan segala eskul yang dimiliki sekolah bertaraf dunia. Pokoknya seru deh! Maklum, espepenya juga ribuan dolar.
“Kamu ngambil eskul programming juga ya?”
“Iya lah, namanya juga udah hobi sehari-hari...” ucap Flo kalem dengan mata masih terarah pada kertas yang dipegangnya.
Vladd melebarkan matanya. Perbahasaan udah jadi hobi sehari-hari? Waw, jujur Vladd kagum. Jarang banget dia ngedenger perempuan hobi dengan komputer, perbahasaan, dan segala cyberworld yang biasa ia gandrungi. Soalnya selama dia kenal temen cewek, rata-rata mereka semua cewek yang nggak sealiran dengan Vladd. Contohnya kayak Marigold, si kembar Nanda dan Nandi, Su Yin, Bianca, tapi nggak ada yang punya selera kayak si Flo!
Vladd ngerasa dia bakalan cocok dengan temen cewek barunya ini.
“Misi Bu Jati, masih boleh masuk nggak bu?” izin Vladd setelah mengetuk pintu kelasnya.
Seluruh murid di kelas yang sedang mengerjalan ulangan itu menoleh ke arah meja. Yudiantara, Perry, dan James memandangnya tajam, sementara sisanya memandangnya dengan tatapan datar.
“Kalian nggak boleh masuk,” ucap Ibu Jati pelan sambil menguap. Guru yang tubuhnya mirip papan seluncur itu kembali fokus menatapi seisi ruangan dengan mengantuk.
Vladd tehenyak. Ini nih yang dia takutin! Beneran kejadian kan?!
Dari jauh, dilihatnya Yudiantara memberinya senyum sinis penuh kepuasan. Vladd Cuma bisa misuh-misuh dalem ati, berharap Bu Jati nggak keberatan ngasih susulan buat dia.
***
Menjelang jam pelajaran matematika berakhir, keduanya baru diizinkan masuk. Vladd baru tahu, ternyata mereka berdua juga sekelas. Orang-orang sekelas pada riuh merhatiin si murid baru, terutama Marigold dan si kembar Nanda-Nandi. Mereka sebel, soalnya semenjak mereka dateng, Vladd selalu keliatan ingin menempel dengan murid baru itu. Maklum, mereka bertiga sama-sama senang di dekat Vladd, terutama Marigold.
“Eh, Vladd! Kenapa sih dari tadi pagi sampe sekarang, kamu deket banget sama anak ini? Mar sampe dicuekin!” protes Marigold saat Vladd ikut-ikutan ngeliatin layar laptop Flo yang tampak hitam dengan sejumlah tulisan rumit. Kebetulan, Flo emang duduk nggak jauh dari kursi Vladd.
Vladd melongo. “Emangnya kenapa?”
“Ih, kamu itu nyebelin ya! Dasar cowok nggak peka!” Marigold misuh-misuh, kembali ke kursinya dengan mulut manyun.
Vladd mengerutkan kening, lalu memandang Flo.
“Menurut kamu, maksud dia dengan ‘nggak peka ‘ itu apa sih?” tanya Vladd polos.
“Mungkin kamu emang nggak peka dengan perasaannya?” sahut Flo kalem dengan mata masih tak beralih dari layar.
“Lho emang perasaan Marigold kenapa sih? Saya nggak ngerti.”
“Lho, mana saya tahu. Saya kan bukan Marigold,” sahut Flo lagi.
Vladd manyun sebel. Dia baru sadar, kayak gini ya rasanya dicuekin orang. Ternyata kebiasaannya untuk nyuekkin orang itu jelek, karena sekarang, dia ngerasain rasanya dicuekin. Eh, tapi sebelumnya, dia nggak pernah keki kok dicuekkin siapapun, terus kenapa sekarang dicuekkin Flo, dia malah makan ati?
“Oh ya, we never properly introducing each other,” ucap Flo sembari mengalihkan tubuhnya ke arah Vladd, mengulurkan tangan, “Saya Flo. Florent Nathania.”
Vladd kikuk.
“S-s-saya Vladd. Vladdimir Transylvanio. Panggil aja Vladdvanio,” katanya dengan pipi panas, menyambut uluran tangan Flo.
“Vladdvanio? Namamu lucu juga ya?” Flo terkekeh pelan. Saat itu Vladd bisa ngerasain, wajahnya makin panas.
Sesaat keduanya terdiam setelah keduanya selesai berjabat tangan.
“Ngomong-ngomong, perempuan tadi...” tiba-tiba Flo membuka mulut dengan suara pelan, “kayaknya dia suka kamu deh Vladd.”
“Hah, masa’ sih?” sahut Vladd tak percaya
“Ya, tebak-tebak buah manggis aja sih...” Flo tersenyum jahil, meski matanya kini kembali terpaku pada layar laptop. “Kalau salah ya...namanya juga nebak. Wajar kalau salah.”
“Hidih, ogah banget!” Vladd asli keki. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasa risih ngebayangin cewek kayak Marigold jadi pacarnya. Dikit-dikit harus anter belanja, setiap minggu harus ke salon, waduh...repot!
“Eh, ngomong-ngomong, kamu ambil eskul programming kan? Bareng sama saya dong?” tanya Vladd.
“Masa’ sih? Wah syukur deh. Saya ada temennya kalau gitu. Saya kira saya bakal susah punya temen disini karena saya anak baru, tapi ternyata dugaan saya meleset...” Flo tertawa kecil, merasa cukup antusias karena senang, di hari pertamanya ia sudah punya teman. Nggak kebayang deh kalau dia harus jadi alien penyendiri di sekolah barunya. Apalagi, di sekolah bertaraf internasional itu, ia jelas-jelas merasa asing karena latar belakangnya yang berbeda dibanding orang tua anak-anak lainnya yang rata-rata kalangan borjuis. Sekolah ini memang terkenal sekolah anak-anak orang kaya.
Dan bagi Vladd sendiri, entah mengapa, tiba-tiba aja dia merasa bahwa dia telah menemukan teman yang cocok untuknya.
***
Vladd jadi sering senyum senyum sendiri akhir-akhir ini. Beberapa kali Maryati menemui Vladd sedang senyum-senyum di balkon sambil ngelamunin sesuatu. Narsakip dan Lukijo pun melihat anak majikan mereka yang abege itu seringkali bersikap aneh. Dan tentu saja itu membuat para orblak (orang belakang) sering kasak-kusuk sendiri.
“Mar, kamu sadar nggak sih, akhir-akhir ini Mas Vladd jadi aneh?”
“Iya, iya. Saya sering ngeliat Mas Vladd ngelamun seharian di balkon sambil senyum-senyum. Kamu juga liat Zul?”
“Iyalah! Terus tadi pas saya lewat kamar Mas Vladd saya juga denger suaranya Mas Vladd nyanyi-nyanyi lagu apa gitu...lagu anak muda, nggak tahu ah judulnya. Liriknya bahasa inggris gitu. Padahal jangankan nyanyi, ngomong aja kalau butuh doang, ya kan?”
“Kira-kira kenapa ya?”
Bik Zuleha hanya menggeleng pelan.
Mereka wajar heran. Cowok cupu yang emang biasanya jarang keluar suara dan keluar rumah itu emang berubah 180 derajat. Gimana enggak? Hari ini Vladd riang banget, karena semenjak mengenal Flo, proyek game ‘Nino, Pangeran Tikus’-nya mengalami kemajuan. Dan tawaran itu tanpa sengaja ia dapat saat ia di kelas seminggu lalu.
“Vladd, kamu bilang, kamu pernah bikin game kan?”
“Iya pernah. Kenapa Flo?”
“Namanya ‘Nino sang Pangeran Tikus’ kan?”
Vladd terperangah kaget, nyengir. “Dari mana kamu tahu?”
“Aku pernah main. Dan game itu lucu! Aku suka Felicia-nya!”
“Kok suka Felicia? Kenapa nggak suka Nino aja?” ucap Vladd yang agak sedih karena Flo lebih milih Felicia (yang sebenernya terinspirasi dari kucing tetangga sebelah milik Sarah yang udah mati) ketimbang Nino (yang juga terinspirasi dari robot tikus kesayangannya yang merupakan hadiah Mami dari Jepang).
“Idih, saya kan suka kucing! Lagian mana ada orang ngefans sama tikus? Kalo hamster sih iya!” serga Flo sambil ketawa.
Mau nggak mau Vladd cengengesan. Bener juga sih.
“Tapi Vladd, kayaknya game kamu lebih seru kalau dibikin sepuluh sampai duapuluh level, dengan graphic yang lebih baik...”
“Iya sih, tapi belum bisa...”
“Kenapa?”
“Repot juga. Kalau kemampuan grafik sih emang udah saya pikirin, tapi sayang, saya kerja sendiri. Jadi terbatas banget.”
“Gimana kalau saya yang bantuin? Game kamu kan laku juga tuh di download di internet? Sayang kalau nggak di-upgrade!”
“Jadi kamu mau bantuin?” tanya Vladd dengan mata berbinar.
Flo mengangguk.
“Beneran nih?”
“Iya...beneran. Kamu kasih aja saya data mentahnya, ntar saya coba utak-utik.”
“Ah, thanks Floooo!!!”
Dan jadilah, sekarang game perdana Vladd itu dikerjakan oleh Flo dan dia. Vladd juga bakal nyantumin nama Flo di dalam gamenya kelak setelah game itu jadi.
Tapi, sebenernya perasaan senang Vladd bukan karena itu aja.
Vladd ngerasa tiap hari pertemanannya dengan Flo jadi makin akrab. Ke kantin bareng, ke perpus bareng, ngobrol juga bareng. Anehnya, hatinya selalu ketar-ketir saat Flo bersikap baik padanya, meskipun sikap baik itu memang sikap sewajarnya seorang teman. Tapi tetep aja, jantung Vladd selalu berpacu kencang, apalagi pas cewek itu mandang dia lembut pada suatu kesempatan atau tanpa sengaja pandangan mereka bersirobok. Duh, serasa panas dingin!
Meski Vladd sendiri nggak ngerti apa sebabnya, tapi yang jelas, dia jadi nggak bisa berhenti mikirin Flo.
Sayangnya, sikap anehnya yang mulai disadari oleh para orblak itu sampai juga ke telinga kedua orang tuanya. Dan saat mereka bertiga berkumpul untuk makan malam (jelas dengan pakaian yang serba rapi pokoknya), papi Eraisuli pun buka mulut.
“Vladd, papi denger, kata Mar sama yang lain, akhir-akhir ini kamu berubah. Berubah kenapa?”
“Maksud papi?” tanya Vladd sembari menyuap tumis asparagusnya.
“Mereka bilang, kamu sering senyum-senyum sendiri dan nyanyi nggak jelas. Sejak kapan kamu mulai suka nyanyi?”
Vladd ngerasa ditohok. Jadi para Mar cs pun udah nyadarin sikap Vladd yang aneh? Entah kenapa, pipi Vladd kerasa panas, malu. Bayangan Flo kembali melintas di otaknya, dan tanpa ia sadari, pipinya memerah.
“Lho, Vladd, kenapa pipi kamu jadi merah?” tanya Mami Smirnov yang mengerutkan dahi melihat anak satu-satunya merona. Sesaat mami papinya memandang Vladd dengan tatapan menaksir-naksir sebelum akhirnya Papi Eraisuli cekakakan.
“Ah, papi tahu niiiih!” Papi Eraisuli cengengesan. “Papi hafal sikap kayak gini!”
“Maksud papi?”
“Sekarang bilang, siapa, hm?” Papi Eraisuli memandang Vladd dengan tatapan menyelidik. “Anak mana yang lagi kamu taksir?”
“Hah, kamu serius Vladd?” Mami seolah akhirnya paham kemana arah obrolan Eraisuli, memandang Vladd dengan tatapan nggak percaya.
“Papi nih apa-apaan sih...” Vladd merasa pipinya semakin panas, meminum jus alpukatnya.
“Udahlah, jujur. Ngaku. Kamu lagi jatuh cinta sama seseorang kan?”
BURRRSH!
Vladd tersedak. Minuman yang tadi hampir ketelen nyemprot ke maminya yang tepat duduk di depannya. Jelas aja mami yang udah dandan cantik itu kini kotor dengan muncratan jus alpukat yang tadi diminum Vladd. Mami Smirnov yang udah dandan total karena malem ini mau ada pertemuan singkat dengan ibu-ibu sosialita di Kemang hanya bisa menggeram menahan marah.
“Maaf Mi, Vladd nggak sengaja!”
“Hhh...” Mami Smirnov menggeram jengkel, “kamu keterlaluan Vlaaaadddd!!!”
Meski demikian, kejadian konyol akibat tebakan Papi Eraisuli yang ngena ke hatinya itu diem-diem diresapin juga. Emang bener ya, kalau Vladd bersikap seperti itu, itu tandanya Vladd jatuh cinta?
Kalau memang iya, itu tandanya Flo adalah cinta pertama Vladd, dan ia senang, karena Vladd nggak salah jatuh cinta!
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H