Mohon tunggu...
Lazuardi Ansori
Lazuardi Ansori Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir dan besar di Lamongan, kemudian belajar hidup di Sulawesi dan Papua...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

'Stand Up Comedy' Ganjar Pranowo dan Lucunya Kita

23 Mei 2014   17:48 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:12 1621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, beberapa waktu yang lalu melakukan ‘aksi’ di salah satu jembatan timbang yang ada di wilayah otoritasnya awalnya banyak menuai respon positif dari masyarakat. Perilaku korup ‘kecil-kecilan’ semacam yang ada di jembatan timbang adalah salah satu peristiwa korupsi yang sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Inspeksi dadakan Gubernur ini memberikan cambukan bagi para petugas yang setiap harinya dikabarkan sering menerima ‘amplop’ dari sopir yang melanggar aturan tentang tonase muatan.

Sebagai masyarakat yang sudah sering mendengar kabar bahwa banyak pungli yang dilakukan oleh petugas-petugas jembatan timbang, saya sendiri sebenarnya kaget dengan kagetnya Ganjar Pranowo. Saya teramat percaya bahwa politisi sekelas Pak Ganjar tidak pernah mengetahui adanya modus korupsi semacam ini. Tapi terlepas dari itu semua, saya percaya bahwa ‘aksi’ yang dilakukan oleh Pak Ganjar tetap penting dan perlu dilakukan, jika tidak ada seperti itu akan susah untuk merubah perilaku-perilaku koruptif yang ada di instansi-instansi pemerintah.

Meski ada yang menganggap bahwa peristiwa banting amplop oleh politisi asal PDIP tersebut hanya untuk mendongkrak popularitasnya, saya beranggapan bahwa itu masih dalam kategori wajar. Mengenai ‘program dongkrak popularitas’ saya tidak perlu terlalu jauh mendalami, akan tetapi saya menangkap bahwa peristiwa ini sebagai bentuk komunikasi kepada masyarakat bahwa ada pungutan liar di instansi pemerintah yang secara hukum itu tidak dibenarkan, dan mari bersama-sama punya tekad untuk menguranginya –jika tidak mampu menghapusnya dalam waktu yang singkat-.

Dukungan pada Pak Ganjar kala itu, baik yang tecermin dari pemberitaan-pemberitaan positif di media massa atau bahkan percakapan-percakapan di media sosial yang sebagian besar beratmosfir positif, menunjukkan bahwa rakyat senang dengan hal seperti ini.

Ini adalah salah satu tolok ukur kita bisa optimis bahwa masyarakat sebenarnya masih ingin ada pembenahan-pembenahan di sektor pemerintahan. Selama ini, masyarakat kita selalu disuguhi tontonan-tontonan negatif tentang perilaku koruptif aparatur pemerintah, kemudian karena itu teramat seringnya mereka lihat lantas dianggap hal yang wajar dan sepantasnya.

Coba tanya sopir-sopir truk yang kerjanya lintas kota dan lintas provinsi, mereka tidak kaget dengan adanya pungli di Jembatan Timbang. Bahkan mungkin sekarang mereka sudah pada level akan kaget ketika ada Jembatan Timbang yang tidak mau menerima pungli.

Hal yang tidak patut kini dianggap sangat wajar dan ketika menjalankan sesuatu yang seharusnya, akan dipandang sebagai sesuatu yang aneh. Ini kebiasaan yang sudah menjadi budaya (?) yang jika diteruskan bisa berbahaya.

----

Belakangan dikabarkan bahwa pungli-pungli yang dilakukan di Jembatan Timbang itu sendiri sebenarnya adalah untuk memenuhi target yang diberikan pemda untuk masuk ke kas PAD (Pendapatan Asli Daerah). Kabar ini kemudian bagi sebagian pihak digunakan untuk nyinyir terhadap Ganjar Pranowo.

Bagi saya pribadi, apa yang lakukan Pak Ganjar masih bisa diterima. Jika memang harus ada target PAD yang dibebankan kepada instrumen-instrumen pemerintahan, maka cara mendapatkannya tetap harus sesuai aturan dan hukum yang berlaku.

Hanya karena berdalih bahwa untuk penuhi target, mereka kemudian menabrak aturan-aturan baku. Ini bukan soal sakleknya aturan, ini hanya tentang bagaimana aturan itu sebenarnya ada untuk bisa digunakan sebagai instrumen dalam mengurangi penyelewengan-penyelewengan, dalam hal ini tentang aliran uang.

Saya mengambil contoh sederhana saja, Pemerhati transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno mengungkapkan bahwa Jembatan Timbang Subah ditarget menyetorkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekitar Rp 9 juta per hari. Jika dalam satu hari pemasukan di Jembatan Timbang lebih dari target, uangnya disimpan dalam amplop. Kegunaan uang itu untuk menutup kekurangan target pada hari berikutnya ketika jumlah truk yang masuk jembatan timbang sedikit.

Memang, jika petugas-petugas itu memberlakukan tilang maka uang tersebut bukan masuk ke PAD, namun kan Negara. Sehingga mereka menggunakan alasan itu, lantas memberlakukan denda, di mana denda itu mereka ‘kelola’ sendiri untuk kemudian disetorkan sesuai target yang diberikan untuk masuk ke PAD.

Pertanyaannya adalah: siapa yang berani menjamin uang itu, baik lebih atau kurang bisa dipertanggungjawabkan secara resmi dan bagaimana dengan akuntabilitasnya?

Mari sama-sama melihat itu sebagai uang rakyat, denda, atau tilang itu tujuannya sebagai ganjaran bagi mereka yang melanggar batas tonase, di mana jika itu terus dilakukan akan merusak jalan dan jalan-jalan yang rusak itu juga untuk rakyat serta dibangun dengan uang rakyat pula. Jika uang rakyat, dan jalan yang dibangun oleh uang rakyat dikelola secara tidak terbuka dan tidak jelas semacam itu, maka wajar jika kita anggap ini bukan aksi yang lucu.

Jika Pak Ganjar Pranowo menganggap aksinya di Jembatan Timbang itu sebagai Stand Up Comedy, maka kita sebagai masyarakat yang anggap aksi korupsi sebagai hal wajar itu sebenarnya jauh lebih lucu dan konyol. []

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun